Bab 7

"Dazen apa kau yakin?" tanya Josephine memastikan. Tidak jauh di depan mereka, ada Dante yang sedang bersandar sambil mengepulkan asap.

"Entah, tapi dia sendiri yang menyuruh. Jadi mari kita dengarkan maksudnya." Dazen menatap Sang Ibu mencoba mengirimkan keberanian, untuk mendekati putra sulungnya itu.

Dengan takut-takut, Josephine menggandeng lengan Dazen. Mereka melangkah kearah Dante, yang langsung disadari oleh pria itu.

"Kalian sudah disini? masuklah." Kali ini nada bicara Dante lebih pelan dan stabil. Membuat kedua orang yang mendengar, terkejut.

Tidak menunggu mereka melewati keterkejutan, Dante masuk terlebih dahulu dan menyalakan mobil.

Melihat tindakan yang diambil Dante, Josephine merasa senang luar biasa. "Ayo, kita masuk!" ajaknya pada Dazen dengan senyum sumringah.

Dazen sedikit kecut dengan perubahan Ibunya, namun begitu dia tetap senang untuk wanita itu.

BIP. BIP. BIP.

"A-ada apa nak?" tanya Josephine khawatir, tatkala Dante menekan klakson berulang. Saat ini Josephine memiliki banyak kekhawatiran dalam tindakan. Dia takut, akan membuat marah putranya itu.

Dante memiringkan spion tengah, mencari keberadaan Dazen dari cermin. Ketika akhirnya mata mereka bertemu, Dante memarahinya ... "apa kau pikir aku sopir? kemari dan datang duduk didepan!"

Dazen yang awalnya takut, dibuat rileks seketika. Ternyata hanya masalah ego, pikirnya.

Dengan patuh Dazen turun dan pindah ke kursi depan. Josephine yang melihat ini semua, tetiba menjadi emosional.

Melihat dua punggung putranya, dia tahu mereka akan akur suatu hari nanti. Mereka akan menjadi Kakak-adik selayaknya. 'Jika begini, aku bisa mati dengan tenang.' pikirnya.

Sementara berbeda dengan Josephine, Dante sedang berpikir keras. Entah apa yang akan dia jadikan alasan karena telah menahan mereka.

Dia telah bertindak menggunakan hati dan inilah akibatnya. Dia tidak tahu cara membereskan atau meluruskan, atau bahkan sekedar mengatakan.

Ehem. Dante terbatuk, sebelum mengangkat percakapan.

"Aku sudah mempertimbangkan hal ini! Dazen memberitahukan alasan kalian jauh-jauh kemari. Jadi untuk itu, aku akan membiarkan kalian tinggal sebentar. Hanya sebentar! entah kalian akan kembali atau pindah, itu terserah kalian."

Josephine tertegun. Bertanya-tanya kapan dan dimana Dazen bicara dengan Dante. Lalu apa saja yang mereka bicarakan?

'Apakah Dante tahu soal penyakitku?' pikir Josephine.

Dia tiba-tiba merasa tidak nyaman, takut Dante berpikir dia akan bergantung hidup padanya

"Baiklah, Ibu ... ibu akan mencari pekerjaan. Untuk membantu memenuhi kebutuhan kita."

"Ibuuuuu!!" Suara Dazen meninggi. Ibunya sedang berjuang melawan sakit, jadi bagaimana mungkin dia akan membiarkan wanita itu bekerja.

"Bukan Ibu. Tapi aku yang akan bekerja. Aku akan mengambil part time. Jadi berhenti mengatakan hal itu lagi."

Dante yang dari tadi hanya diam, fokus mendengar apa yang mereka bicarakan. Timbul sebuah pertanyaan dibenaknya, "Lalu bagaimana dengan sekolahmu, jika kau bekerja?"

"Dazen melakukan homeschooling. Ini sudah memasuki tahun keduanya belajar dari rumah." Jelas Josephine. Dia senang, sebab Dante mulai memperhatikan.

Sambil tetap fokus menyetir, Dante bertanya lagi. "Kenapa melakukan homeschooling?"

Dazen yang pendiam semakin terdiam. Hal ini adalah masalah yang sensitif baginya.

Namun begitu, Josephine tidak menahan apapun. Kalau bisa, dia ingin kedua Kakak-adik itu akan tahu semua, tentang satu sama lain.

"Dazen mengalami perundungan disekolah."

Alis Dante bertemu, tanpa rasa bersalah dia menatap Dazen yang duduk disampingnya. Menilai dari atas kebawah, secara dekat! "Ah, pantas saja." Ucap Dante tanpa rasa bersalah.

Dazen yang mendengar hal itu, tanpa sadar mengepal tangannya. Dia tahu penampilan adalah kelemahan terbesarnya, tapi bahka dia bisa apa?

Dante tertawa lagi, tidak menyembunyikan ejekan. "Lalu pekerjaan apa yang bisa kau lakukan?"

"Jangan khawatirkan itu. Aku pasti akan menemukan pekerjaan dan tidak membebanimu." ucap Dazen penuh tekad.

Mendengar hal itu, Dante tertawa lagi. Setidaknya dia tahu, Dazen adalah laki-laki dengan harga diri tinggi.

Tidak lama setelahnya, mereka pun sampai lagi ke Apartemen. Kali ini mereka tidak melewati lobi, melainkan turun di basemen.

Ketika keluar, Dazen dibuat sakit kepala lagi dengan barang bawaan kedua orang itu. Tapi mau tidak mau, dia terpaksa ikut membantu. Tapi yang paling mengganggu Dante, fakta bahwa mereka tidak memiliki koper.

'Ah, jika seorang wanita melihatku seperti ini! pesonaku akan langsung berkurang.' pikir Dante, yang menentang dua tas kusam besar.

"DANTE?"

Langkah kaki Dante, terhenti ... 'Oh, sial! kenapa sial sekali! entah siapa ini.' Dante merutuk dihatinya, namun tetap berbalik secara perlahan.

Wajah wanita itu, nampak asing namun familiar ...

"Lira? Oh, apa itu kau?" Dante melepas barang bawaan dan membuka kedua tangannya menyambut gadis itu.

Gadis cantik dengan rambut pendek sebahu itu, berlari dengan ceria, masuk kedalam pelukan Dante.

Josephine dibuat bingung, sementara Dazen memundurkan kepalanya refleks, karena heran.

Pelukan Dante hanya sebentar, dia kemudian memuji Lira dengan tatapan. "Astaga, lihat calon dokterku, sudah semakin cantik saja."

Lira tertawa malu dan menepuk dada Dante. Tapi tidak lama, gadis itu langsung menyadari kehadiran orang lain selain mereka. Memang tadi, saat melihat Dante, fokusnya hanya pada pria itu.

"Ah, Dan siapa?"

Mengerti arah pandang Lira, Dante menghela nafas tertahan sebelum mulai memperkenalkan.

"Em, Lira ini Ibuku dan ini Dazen ... adikku." Ada jeda lama bagi Dante sebelum mengatakan Dazen sebagai adiknya. Selain karena dia cuman adik tiri, tapi penampilan Dazen yang culun terlalu kontras dengannya.

Tapi Lira yang merupakan teman Dante dalam kursus musik sekaligus adik kelasnya, dibuat bingung. Setahu Lira, Dante tidak memiliki Ibu. Begitu juga saat sekolah menengah atas, saat itu Dante sudah tidak memiliki siapapun.

"Ta-taapi ...?" mengerti arah percakapan Lira, Dante segera merangkul gadis itu, lalu membawanya sedikit menjauh.

Josephine dan Dazen hanya bisa melihat dari kejauhan dengan tidak nyaman. Namun begitu, Josephine segera menyapu punggung Dazen.

"Maafkan Kakakmu, soal kejadian di mobil. Kau harus membiasakan diri mulai sekarang. Memiliki seorang saudara bukan hanya memiliki orang lain untuk diandalkan, tapi juga memiliki seseorang yang akan siap bertengkar atau mengejekmu kapan saja ... tapi begitu, dia akan selalu menjadi yang pertama melindungimu."

"Tapi kami tidak memiliki hubungan seperti itu!" Tolak Dazen.

Josephine tersenyum lembut, "Kalian akan memiliki itu, cepat atau lambat."

Melihat pancaran mata Ibunya, Dazen hanya mengangguk paksa. Dia tidak yakin! apalagi jika melihat gelagat Dante dijauh sana, 'Pria itu pasti enggan, apalagi dengan penampilan kami!' pikir Dazen, yang sayangnya tepat sasaran.

Dante tahu, Lira adalah anak manja yang berasal dari keluarga kaya. Gadis itu cukup belagu sejak muda! dia tidak mau, Lira menghinanya karena mereka.

"Kau tahu Lira?! beberapa hal dalam hidup tidak bisa dikendalikan. Ibuku datang setelah sekian lama ... ada kekecewaan, tapi aku memilih tidak menambah luka, dengan melupakan masa lalu."

Melihat ketidaknyamanan Dante, Lira merasa kasihan. Berpikir Dante pasti bertarung melawan rasa sakit saat ini. Sebagai seorang wanita yang sudah lebih dewasa, Lira sendiri lebih rendah hati saat ini.

Dia kemudian menggenggam tangan Dante, mencoba menyalurkan ketenangan ..., "Dan, itu luar biasa! kau benar-benar pria yang baik. Aku kagum kepadamu." Kata Lira mantap.

Dante menatap gadis itu ragu-ragu. Dia sebenarnya ingin tertawa karena reaksi Lira terlalu cepat, seperti yang dia harapkan.

"Jangan terlalu tegang seperti itu." Lira menepuk punggung Dante dengan senyuman.

Sementara Dante yang tadinya tidak nyaman karena khawatir dengan penilaian Lira, segera menggenggam balik tangan Lira. "Astaga, gadis ini bukanlah gadis lagi ... tapi seorang wanita yang luar biasa."

Lira serasa terbang dibuat Dante. Tidak ada wanita yang tidak suka, ketika kepribadiannya di puji.

"Sudah! ayo kita kembali. Tidak baik membuat Ibumu menunggu."

Masih dalam rangkulan Dante, keduanya berbalik.

Dazen yang melihat hal ini, memiliki kerutan yang dalam. Dia tiba-tiba teringat, dengan wanita yang kalau tidak salah diingatnya, bernama Tere. Perlakuan Dante, juga sama lembutnya.

'Akh, mungkin itu keistimewaan pria tampan!' pikirnya.

"Halo Bibi ...," sapa Lira ramah. Dia juga mengulurkan tangannya.

Josephine menyambut uluran tangan itu dengan senyuman, "Halo!" Ada sedikit merasa ganjal di hati Josephine saat ini.

"Ibu, ini temanku Lira ..., Eh, tapi Lira kenapa kau disini?" tanya Dante, yang baru teringat.

"Oh, aku baru pindah kemari, karena melakukan program profesi disini."

Dante mengangguk mengerti, kalau begitu ayo naik bersama. Sementara Lira, langsung berinisiatif ...,

"Sini Bibi, biar aku bantu!" Tanpa menunggu persetujuan, Lira langsung mengambil tas bawaan Josephine. Selain karena ingin mencari muka pada Dante, Lira juga merasa wanita ini sedang sakit.

Sementara soal Dante, dia sudah menaruh hati pada pria itu sejak lama.

Josephine hanya bisa tertegun, melihat gadis itu membawa barangnya.

"Sudahlah, ayo Ibu." Ajak Dazen.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!