Bab 14

Josephine berniat bangun lebih lama hari ini, agar bisa menghindari pembicaraan mengenai pergi ke Dokter. Namun karena mengingat Dante, yang sangat menyukai makanannya, Josephine bangun lebih pagi dari biasanya. Konyol memang.

Dante sampai terbangun dari mimpi indahnya, tatkala mendengar suara panci yang jatuh.

"Astaga jam berapa ini?"

Dante mengucek matanya berulang kali, untuk memastikan tidak salah melihat.

"Jam empat? siapa yang membuat keributan di jam seperti ini?" Dante berdiri dan mengenakan kaosnya. Ala anak muda yang lain, dia senang tidur bertelanjang dada.

Sebenarnya Dante sudah memiliki firasat tentang siapa di dapur, namun begitu dia ingin memastikan.

Dia tidak tahu harus tertawa atau marah. Setelah menjatuhkan panci dan membuat keributan, tindakan Josephine jauh lebih lambat dan pelan, membuat Dante yang melihatnya merasa konyol.

"Apa ini? slow motion di udara?" Kekeh Dante.

Josephine tidak enak hati. Meskipun Dante anaknya, namun dia masih sangat malu untuk begitu bebas.

"Maafkan Ibu. Ibu pasti mengagetkanmu yah?"

Tidak berniat menyangkal, Dante mengangguk. Dia kemudian mendudukkan dirinya, sambil mengambil air di meja.

"Kenapa di dapur jam begini?"

Josephine semakin tak berdaya, entah jawaban apa yang harus diberikan.

Namun setelah mempertimbangkan begitu cepat, Josephine berpikir untuk membicarakan hal ini dengan Dante. Putra sulungnya ini lebih dewasa, diharapkan lebih mengerti dari pada sang adik.

"Dante ...," Josephine ikut mendudukkan dirinya di meja makan, berhadapan langsung dengan Dante.

Dante tetap diam, menunggu Josephine melanjutkan.

"Ibu tidak ingin ke Rumah Sakit! bukannya Ibu tidak menghargai keinginan kalian, atau berjuang untuk kehidupan Ibu. Tapi ... ini adalah penyakit yang sudah lama, dan sudah berada pada tingkatan akhir. Fakta bahwa Ibu, masih memiliki sedikit penampilan baik saat ini, juga membuat Ibu terkejut."

Josephine memaksakan senyum, sebelum melanjutkan. "... tapi Ibu tidak akan berbohong padamu. Ibu bisa merasakannya! bisa merasakan bahwa waktu Ibu tidak lama."

Mendengar hal itu, Dante diam. Namun bahasa tubuhnya tidak bohong, dia begitu tegang dari kepala sampai kaki.

"Dante, Ibu melakukan banyak kesalahan terhadapmu. Ibu berhutang segalanya padamu. Namun kau begitu baik, masih memilih memaafkan Ibu. Dante ... kau tahu, rasanya seperti, Ibu seharusnya sudah mati dari lama. Namun keinginan bertemu denganmu yang menahan Ibu."

Josephine tertunduk, matanya sudah sangat panas sekarang. "... Ibu hanya ingin fokus untuk kalian berdua. Tolong, tolong biarkan Ibu melakukan ini. Tolong, biarkan Ibu melakukan apa yang paling ingin Ibu lakukan dalam hidup. Jangan hentikan Ibu. Ibu mohon ...," setiap tetes air mata yang lolos dari Josephine, menyakiti hati Dante.

Sebelumnya dia berpikir, bahwa dia tidak terlalu terhubung secara emosional. Namun hari ini, dia tahu dia lebih dari terhubung. Karena selamanya, wanita ini adalah Ibunya.

Josephine terkejut dengan pelukan yang datang dari belakang. Mencium harum familiar itu, Josephine tahu itu putra bungsunya.

"Kenapa kau sudah bangun?"

Dazen tidak menjawab. Dia membenamkan wajahnya di pundak sang Ibu. Tidak ada yang lebih menyakitkan, daripada mendengar seorang Ibu memohon. Memohon hanya untuk bisa mengurus anak-anaknya.

Dante benar-benar runtuh dalam hatinya. Namun dia masih mempertahankan ketenangan di wajahnya.

"Kalau begitu aku akan memakai jasa pembantu, untuk nanti." Dante akhirnya membuka suara, yang menunjukkan persetujuannya.

Dazen masih sedikit tidak rela, tapi dia juga tahu kesempatan hiduo Ibunya sudah tidak lama. Mungkin benar, kebahagiaan di waktu akhir lebih berharga daripada perjuangan yang dipaksakan.

"Maaf, maafkan aku!" Dazen meminta maaf, entah untuk apa. Yang dia rasa, hanyalah perasaan tidak mampu sekarang.

Josephine mengelus tangan Dazen yang masih memeluknya. Kadangkala dia juga berpikir, akan semakin bahagia apabila Dante juga mau memeluknya. Namun begitu, dia tidak berani bertingkah tentu saja.

Ketiga orang itu akhirnya memasak bersama. Atau lebih tepatnya, Dazen yang memasak di bawah komando Ibunya, sementara Dante bagian menyiapkan rempah dan menonton.

"Masakan mu enak juga!" puji Dante.

"Ya, sangat enak. Tapi makanlah dengan perlahan, jangan sampai Kakak tersedak lagi."

Bayangan tersedak kemarin, membuat Dante kesal.

Apalagi jelas dilihatnya saat ini, Dazen sedang terkekeh dalam tundukannya.

"Kapan kau akan kembali mengurus berkas?"

Mendengar percakapan itu, Josephine menatap Dante dan Dazen. Kini keduanya sudah mulai berbicara secara pribadi, membuat bahagia Josephine.

"Dazen tidak akan kemana-mana! Ibu yang akan mengurusnya. Walaupun homeschooling, kau harus kembali belajar."

Dante mengangguk, setuju. "Ya, aku akan mencarikan perawat untuk Ibu juga."

"Tidak! tolong tidak usah repot Dante. Ibu masih bisa melakukan semuanya sendirian."

Dante tetap melanjutkan makannya dengan tenang, sebelum akhirnya bicara ..., "aku tidak bisa menerima, banyak penolakan!"

Kata-kata Dante, sangat jelas dia tidak ingin dibantah. Hal ini juga sejalan dengan Dazen, jadi dia tidak akan membela Ibunya kali ini.

•••

Siangnya, Dante mendapat telepon dari Yessie. Dia hanya bisa berterimakasih dan meminta maaf, karena Sang Ibu sudah menolak janji itu.

Mendengar hal itu, Yessie berinsiatif untuk datang menjenguk.

"Ehm, ini Yes ... aku sedang tidak di rumah sekarang." Dante berbohong. Saat ini dia tidak ingin mengenalkan siapapun pada keluarganya.

Bukan karena tidak ingin, tapi Dante memang sedikit tertutup dengan privasinya. Lain cerita kalau dengan Lira, saat itu dia tidak punya pilihan.

Mendengar jawaban itu, Yessie hanya bisa berpikir, mungkin lain kali. Begitulah panggilan telepon itu berakhir.

Sekali lagi, Dante kembali melihat pergolakan pasar saham sebelum mentransfer sejumlah uang untuk di investasikan disana.

Selesainya, Dante melangkah ke kamar tidur Dazen. Walaupun Dazen tidak jadi pergi mengurus berkas, tapi Dante masih memberikan uang kepada Josephine.

Begitu juga saat ini, dia pikir walaupun tidak banyak Dazen perlu memegang uangnya sendiri.

"Sweetie"

Bruk. Sebuah benda terlempar mengenai pintu.

"Swetiee apa kau sudah menerima uangnya?"

Klek, dengan cepat pintu terbuka.

"Wow, Swetiee ... kau sepertinya menyukai uang."

Harga diri Dazen tergores. Dia membuka pintu karena tidak mengerti dengan ucapan Dante mengenai uang. Setahunya, pria itu sudah memberikan uang kepada Ibu untuk mengurus berkas.

"Hentikan! Sweetie! Swetiee itu!"

Tanpa mendengarkan, Dante menerobos masuk dan duduk diatas tempat tidur.

Melihat tingkah Kakaknya, Dazen semakin kesal. Namun dia juga tidak berdaya.

"Aku sudah mengirimkan sejumlah uang! harusnya cukup menjadi peganganmu!"

Dazen sedikit terdiam, "tidak perlu melakukan hal itu. Aku hanya dirumah, tidak membutuhkan uang."

Mengabaikan, Dante malah menyuruh Dazen mengecek. Melihat deretan angka, Dazen semakin terkejut. Itu adalah jumlah yang paling banyak, yang pernah dimilikinya dalam hidup.

Dia kini semakin tidak berdaya. Selain hanya menumpang tinggal, kini dia juga bergantung pada Kakaknya secara ekonomi.

Panggilan ‘Sweetie’ tiba-tiba memenuhi pendengaran Dazen. "Aku akan pergi ke barbershop!" kata Dazen spontan.

Dante merasakan sakit perut mendengar hal itu. Dia bisa membayangkan apa yang dipikirkan Dazen saat ini. "Pergilah sendiri."

Drrttttt .... Drrrtttt ....

Panggilan masuk di ponsel Dazen, yang kebetulan berada di sebelah Dante.

"Wow, gadis cantik itu menelponmu lagi." kata Dante, melihat foto Sonia.

Dazen berdecak! "Dia menelpon ku untuk bertanya tentangmu."

Dante membulatkan matanya, namun sinar-sinar ejekan memenuhi dirinya. "Bukan salahku begitu menarik. Hahaha ...."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!