Sepanjang perjalanan kembali, Dazen menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan sumber keuangan Dante. Lagipula, siapa yang tidak suka mendengar cerita dari mana uang berasal ....
Dazen ingin mengangkat pembicaraan, tapi bingung harus memanggil dengan sebutan apa.
"Kau sedang menempuh pendidikan apa?" tanya Dazen kaku.
Sambil menyetir Dante menyipitkan matanya. "Apa tidak ada yang memberitahu cara memanggil orang yang lebih tua?"
"Aku serius, Kakak sedang menempuh pendidikan apa?"
Dante terkekeh geli. "Apa kau dengar tadi?"
Dazen bingung, menajamkan telinga. "dengar apa?"
"Dengar seseorang yang memanggilku Kakak!"
"Ck!" Saking kesalnya Dazen sampai memukul ringan laci dashboard yang di depannya. Membuat kekehan Dante, naik menjadi tawa.
"Aku belajar hukum. Jika cukup beruntung, aku ingin menjadi pengacara."
Mendengar jawaban serius itu, Dazen cukup terpanah. Juga tidak disangkanya, seseorang seperti Dante belajar Hukum.
"Kenapa ingin menjadi pengacara?"
Mengangkat kedua bahunya acuh, Dante menjawab yang sebenarnya menurut dia. "Itu karena wajahku, paling cocok menjadi pengacara."
Dazen memutar bola matanya kesal! menyesal telah bertanya.
"Bagaimana denganmu? apa kau benar-benar mendapatkan perundungan?" Dante bertanya to the point. Dia tidak punya pemikiran, untuk mempertimbangkan perasaan Dazen terlebih dahulu.
Ada cukup jeda, sebelum Dazen akhirnya mengangguk.
"Seperti apa?"
Mengusap lehernya beberapa kali, Dazen sedikit tidak nyaman. Tapi begitu dia menjawab, "Yah, verbal dan fisik! kadang makian, kadang pukulan." Ada getaran di ucapan Dazen, yang setengah mati coba dia tahan.
Mendengar itu, Dante mengangguk. Sejujurnya dia juga benci hal itu. Tapi sayang, yang keluar dari mulutnya asin seperti garam. Garam yang ditabur di atas luka.
"Caramu menceritakannya membuat itu terdengar buruk."
Dazen tertawa. Sungguh, Dante adalah orang paling tak berempati yang pernah dia ajak bicara. Dia tadinya hampir menangis karena mengingat perundungan yang dialami, tapi Dante malah mempertanyakan seberapa buruk hal itu. Sangat tak berperi kemanusiaan, pikir Dazen.
"Kenapa? kenapa bisa sampai dirundung?"
"Haahhh!" Dazen tersenyum kecut. Dia tidak bisa membayangkan, manusia minim empati seperti Dante menjadi pengacara. "Entah, apapun itu tidak ada yang bisa dijadikan alasan bukan!"
"Kau benar! Beberapa hal dalam hidup tidak bisa kita kendalikan. Tapi kau bisa belajar untuk memperjuangkan sesuatu untuk dirimu sendiri."
Dazen menatap Dante langsung pada matanya, mencoba mencari empati dimata pria itu. Tapi sayangnya, tidak terlihat. Hal ini membuat Dazen tertawa. Tawa yang sangat keras, sampai-sampai matanya panas.
Dante melihat, tapi memilih tetap diam!
"Kau tidak akan mengerti rasanya. Orang bilang, sulit untuk maju sendirian. Itu benar! tapi semakin sulit saat ada orang lain bersamamu. Kadangkala aku ingin melawan, tapi keberadaan Ibu sudah menghentikan banyak hal."
Dazen menunduk! "... bukannya aku mengatakan Ibu menahanku dari banyak hal! hanya saja, kondisinya yang tidak baik, membuatku harus berhati-hati untuk setiap keputusan. Aku takut kalau aku terluka, Ibu juga akan terluka! ... Pernah ada saat dimana, ayahku ada. Tapi bukannya membela, dia hanya menambah kecemasan bagiku."
Seolah tak mendengar, Dante menanggapi dengan cepat.
"Mm, tapi sekarang tidak lagi. Pergilah ke sekolah untuk belajar. Sebaik-baiknya homeschooling, akan lebih baik kalau pergi ke sekolah. Kalau kau tidak melawan rasa takutmu sekarang! kau akan menyimpan itu sampai selamanya."
Dazen menatap Dante dengan ketidakpercayaan. Tapi ada satu hal yang ditangkapnya, "apa kau pernah mengalami hal sepertiku?"
Dante tersenyum membenarkan. "Aku berjuang! sendirian. Mungkin sama seperti yang kau katakan, tidak terlalu sulit karena aku melewatinya sendirian. Waktu itu aku melawan. Entah, aku akan menghancurkan orang lain atau diriku ... kau benar! aku tidak takut, karena itu hanya tentang diriku."
Dante menatap remaja yang kini adalah adiknya itu.
"... pergilah ke sekolah. Jika kau punya ketidaknyamanan dalam dirimu saat ini, maka perbaiki itu hingga kau nyaman."
Tundukan Dazen semakin mendalam. Dia tidak memiliki ide yang sama dengan Dazen. Dia benci ketika orang lain menyuruhnya berubah, seolah dia tidak cukup sebagai dirinya sendiri.
"Apa yang kau maksud dengan ketidaknyamanan itu?"
Dante menatap Dazen langsung dimatanya, "Jadi kau tidak punya ketidaknyamanan? aku pikir, kau tidak nyaman dengan penampilanmu!"
Jleb. Tembakan kata Dante yang tanpa filter, membuat Dazen marah.
"Lalu kenapa? apa salahku jika menjadi diriku sendiri. Aku mencintai diriku apa adanya!" tekan Dazen.
Mendengar ini Dante terkekeh lagi, "Okey, tidak perlu marah. Tapi biar ku beritahu konsep mencintai diri sendiri, yang bisa membuat orang lain mencintaimu juga."
Dante diam tidak melanjutkan, membuat Dazen menatapnya. "Buaha! lihat dirimu! kau menunggu perkataanku kan?"
Ledekan Dante membuat Dazen sakit kepala. Dia mulai melihat kemalangan, tinggal bersama pria ini.
"... Oke! kali ini serius. Yang aku tahu, mencintai diri sendiri sama artinya dengan menjadi versi terbaik dirimu. Bukan hanya diam dan tidak berkembang, menggunakan alasan menerima diri sendiri. Ada kebenaran dalam pepatah itu! tapi itu tidak berlaku untuk semua aspek dalam hidup. Jadi pikirkan ...!"
Dazen termenung mencerna setiap perkataan Kakaknya. Dia sedikit asing dengan perasaan yang Dante berikan. Selain Ibunya, ini pertama kali dia mendengar nasihat dan mendapat dukungan seseorang.
Sementara Dazen jatuh dalam pemikirannya, mobil mereka sudah memasuki area basemen. Dari kejauhan, Dante melihat ada Lira yang masih menggunakan jas putih.
"Sepertinya dia baru pulang."
"Siapa?" tanya Dazen merespon.
"Lihat, aku akan menunjukkan kepadamu, hasil dari mencintai diri sendiri dengan menjadi versi terbaikmu."
Dazen mengernyit tak mengerti. Mengikuti arah tatapan Dante, melalui spion mobil ... "Dokter Lira?"
"Mm, lihat dan perhatikan!" Kata Dante dengan kedipan mata sebelum turun.
"Cih, dia benar-benar flamboyan." Ucap Dazen, saat mengingat kedipan mata Dante.
Meski sedikit jijik, dengan cepat Dazen mengikuti Kakaknya turun. Belum juga mendekat, wanita bernama Lira itu telah berlari ke arah Dante.
"Dan, aku membawakan yang ku janjikan kemarin!" Lira pun mengeluarkan sekotak obat yang terdiri dari obat kimia hingga obat-obatan herbal.
"Oh Bu Dokter! kau senang sekali merepotkan dirimu." Dante mengambil obat-obatan itu dan membuka dompet untuk mengeluarkan uang.
"Hey!! Apa yang kau lakukan?"
"Apalagi? tentu saja membayar. Tidak mungkin menerima semua ini secara gratis bukan?!"
Bug. Dante berpura-pura terkejut dengan tepukan itu. Dengan berkacak pinggang, Lira memarahi ...
"Kau ingin mempermalukanku yah?"
Dante menatap Lira seolah mengerti. "Baiklah. Maafkan aku. Aku akan menerima semua kebaikan Bu Dokter, dengan penuh terimakasih." Dante berucap sambil menundukan kepala seperti dalam film-film kerajaan. Anehnya, tingkah absursd Dante di sambut tawa oleh Lira.
Melihat hal ini, membuat Dazen mengernyit jengkel. "Penipu!" gumamnya pelan.
Dante yang mendengar hal itu, hanya mengangkat alis memamerkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Alfan
tetap semangat ya kak 🤗
2023-10-06
0