“Terima kasih karena sudah mau berkumpul meski kalian masih belum pulih,” kata Luna menatap semua anggota keluarga Courn. “Ayahanda telah tiada, dan sebelum beliau tiada. Beliau pernah menunjukku sebagai calon penerus.”
“Cih, dia pasti ingin menobatkan dirinya sendiri jadi pemimpin. Dasar munafik!” kata Charles sinis.
“Oleh sebab itu, sebagai calon pemimpin. Aku menunjuk.. Kak Alester sebagai Pemimpin sementara.”
“Tuh kan, sudah kubilang-- tunggu, apa??” tanya Charles kaget, sama halnya dengan Alester.
“Maaf, Nona Luna. Tapi bukankah seharusnya Anda yang mendapatkan gelar sebagai pemimpin, kenapa Anda malah menyerahkan gelar itu pada Tuan Muda Alester?” tanya salah seorang Vampir.
Luna tersenyum. “Aku tau kalian semua pasti heran dengan keputusanku, tapi di sisi lain. Kalian pun tau kepribadianku, aku orang yang tidak suka dikekang dan aku lebih suka berpetualang. Lagipula, aku terlalu malas untuk mengerjakan dokumen-dokumen membosankan itu, aku berbeda dari Ayahanda. Aku lebih suka tantangan dan bisa saja. Aku kabur dan meninggalkan dokumen-dokumen penting begitu saja, selain itu. Aku tidak bisa menjadi pemimpin karena pendidikanku di akademi manusia belum selesai. Itu sebabnya aku memilih Kak Alester. Pertama, dia telah melakukan banyak pekerjaan sebagai calon pemimpin sebelumnya saat Ayahanda tidak ada, kalian pun tau kan, Kak Alester sangat baik dalam tugas ini. Selain itu, Kak Alester lebih paham tentang dokumen daripada aku dan Kak Alester pun telah lulus dari akademi, jadi menurut pendapatku. Kadidat terbaik untuk menggantikanku adalah Kak Alester,” jelasnya panjang lebar. “Kuharap kalian mengerti.” Dia tersenyum manis. “Aku bukanlah kadidat terbaik, meski beliau memilihku sebagai Calon pemimpin. Beliau melakukan itu semata-mata hanya karena kasihan, Beliau memang menganggapku sebagai Putrinya. Tapi anak-anaknya tetaplah Kak Alester dan Kak Charles.”
“Luna, apa maksudmu??” tanya Alester tak mengerti. “Kenapa kau selalu memanggil Ayahanda dengan sebutan beliau??”
“Kakak.” Luna tersenyum tipis, dia menyentuh dadanya. “Aku.. bukanlah adik kandung kalian.”
Charles dan Alester tampak terkejut, begitupun beberapa vampir yang ada di sana. Namun, beberapa dari mereka juga tampak saling menatap dan seolah tau identitas asli Luna.
“Tunggu, apa maksudmu? Kau bukan adik kami, lalu kau siapa??” tanya Charles angkat bicara.
“Luna, tolong! Ini sama sekali tidak lucu!”
“Kakak, aku senang selama ini kalian menganggapku sebagai adik. Tapi, inilah kenyataan yang sebenarnya, aku bukanlah adik kalian. Ayahku. Dibunuh oleh Ras Malaikat dan Ibuku, Arendelle Courn. Dibunuh oleh manusia sehari setelah melahirkanku. Ayahanda, alias pamanku. Berbaik hati dan merawatku seperti anaknya sendiri. Aku sangat senang memiliki kalian sebagai keluargaku.” Mata Luna memerah menahan tangis. “Luna senang.. kalian semua bisa menerimaku apa adanya, Luna..” Dia menunduk dan mengusap air matanya yang mengalir tanpa bisa ditahan.
Para vampir lain pun menunduk dan seolah merasakan kesedihan yang dialami Luna, bahkan Charles dan Alester pun masih belum pulih dari keterkejutannya.
“Luna.. kamu..”
Luna mendongak dan menatap ke asal suara, seorang wanita cantik berdiri di ambang pintu dengan ekspresi terkejut. Luna tersenyum manis. “Bibi Viona, bibi datang berkunjung?”
Wanita yang bernama lengkap Viona Courn itu menjatuhkan tasnya karena syok. “Bagaimana bisa, bagaimana bisa kau mengingatnya?? Bukankah seharusnya, Arandel menghapus ingatanmu..”
“Bibi, Ibunda memang menghapus ingatanku. Tapi karena suatu ketidaksengajaan, segel itu menghilang dan membuatku mengingat segalanya, aku ingat. Setiap kata yang diucapkan Ibunda, pelukannya yang hangat..” Air mata mengalir tanpa bisa ditahan. “Suaranya yang lembut.. dan.. dan..” Napas Luna menjadi tak beraturan, air matanya mengalir seperti air terjun. “Ibunda.. Ibunda..”
Viona berjalan cepat ke arah Luna, dia memeluk sang keponakan dengan sangat erat seolah menyalurkan kekuatan. “Luna..” Viona ikut meneteskan air mata, dia memang tidak tau bagaimana kematian adik perempuannya itu. Tapi dilihat dari jejak darah di lantai, Viona tau. Arendelle, mati dengan sangat mengenaskan tepat sehari setelah dia melahirkan. “Jangan menangis, Luna. Atau Ibumu juga akan sedih.”
Bukannya berhenti, Luna malah semakin terisak. “Kenapa??” Tubuhnya menjadi lemah, setiap detail ingatan yang didapatkannya kembali membuatnya sangat tersiksa, melihat kematian sang Ibu dari celah lemari sungguh membuat Luna seolah hancur berkeping-keping. “Kenapa manusia begitu jahat?? Kenapa mereka bisa merebut nyawa dengan mudah??” tanyanya di sela tangisnya. “Mereka jahat, mereka membunuh Ibunda dengan kejam..” Luna sesegukan. “Mereka, mereka menyiksa ibunda dan membakarnya.. disinar matahari.”
Viona semakin memeluk Luna dengan erat, rasa sakit seolah menjalar di seluruh tubuhnya hanya dengan mendengar penjelasan dari sang keponakan. Viona jadi tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya Luna saat melihat kejadian itu secara langsung dan tidak bisa melupakannya sama sekali. “Luna, ini sudah takdir. Kita tidak bisa melakukan apapun.”
“Kenapa manusia begitu munafik??” Luna mulai meracau. “Manusia membunuh ibuku, lalu mengambil kekuatanku.. kenapa manusia harus sejahat itu??”
“Luna.. itu tidak benar, Luna. Tidak semua manusia jahat.” Viona berusaha mencoba menjelaskan dengan pelan-pelan.
“Itu hanyalah tipuan, Bibi.” Raut wajah Luna berubah datar, air matanya berhenti mengalir. “Mereka itu munafik! Kejam! Dan tidak tau diri! Bukankah seharusnya mereka dilenyapkan saja?”
Viona yang mendengar hal itu langsung melepas pelukannya dan menatap Luna yang memasang ekspresi dingin, mata merah darahnya tampak bercahaya seperti milik sang Ibu. Arandelle. “Luna.. kau, sadarlah Luna! Kau tidak boleh dikuasai oleh amarah!”
“Aku sudah cukup lelah untuk bersabar, Bibi.” Energi kegelapan menguar dari tubuh Luna tanpa bisa dihentikan, dia bangun dibantu oleh energi kegelapan yang pekat. “Manusia.. mati, mereka. Mati, mereka semua.. harus mati, tidak perduli siapapun. Mereka yang menggangguku. Pantas mati!” Luna kini mirip seperti boneka, dia menatap kosong ke depan. Kekuatan gelap keluar dari punggungnya dan membentuk sepasang sayap besar. “Tidak perduli siapapun, mereka mati. Mereka harus mati,” katanya terus menerus. Dia mulai mengepakkan sayapnya dan membuat kakinya tak lagi menyentuh lantai. “Hancurkan..hancurkan--”
Ucapan Luna langsung terhenti saat seseorang memeluknya dari belakang, pelukan itu terasa hangat seperti pelukan Ibunya dulu.
“Sudah cukup, Putriku.. jangan termakan oleh emosimu,” bisikan lembut nan menenangkan itu berhasil membuat Luna mendapatkan kesadarannya kembali, dia melirik ke belakang.
“Ibunda.. Aruni.”
“Kak Aruni,” kata Viona yang tampak kaget. “Kenapa kakak bisa di sini?”
Aruni Courn, istri Alverd Courn itu tampak membalik badan Luna dan mendekapnya dengan penuh kasih sayang. “Kamu tidak kehilangan apapun, Luna. Meskipun Kedua Ayahmu telah mati, tapi masih ada Ibunda, Ibunda Aruni akan terus menyayangimu menggantikan Ayah. Maaf, maaf karena Ibunda tidak pernah memberitahumu semuanya, Ibunda hanya tidak ingin kejadian ini terjadi. Ibunda tau, kamu pasti akan sangat marah saat tau Ibu dan Ayah kandungmu tiada. Tapi Ibunda juga yakin, Luna tidak akan terbawa emosi karena Luna itu.. kuat.”
(✯✯✧✯✯)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments