Untuk mengilangkan rasa keingintahuannya, Guna mengalihkan kakinya menuju dapur. Ketika ia hendak memanggil sang mama namun yang ia lihat bukan mamanya namun perempuan berhijab yang tengah memainkan spatulanya dengan serius tanpa menyadari bahwa di belakangnya ada Guna yang berdiri.
Tanpa menegur, Guna meninggalkan tempat itu dengan senyum tipisnya.
Setelah semua kumpul di meja makan dengan kehebohan Anita yang kesenangan karena dimasakin nasi goreng kesukaannya, perempuan itu tidak henti-hantinya memuji betapa enaknya makanan tersebut.
"Aduh, Pa. Ternyata selain cantik, calon menantu kita ini pinter memanjakan perut." Anita memuji Giana tapi matanya melirik ke arah Guna.
"Sama kayak, Mama. Benar-benar idaman, benarkan Gun?"
Yang ditanya malah mendelik ke arah sang papa dan mamanya.
Sedangkan Giana, hanya tertunduk malu karena pujian-pujian terlontar untuknya.
"Gi."
Giana mendongak, "Iya, Tante."
"Kenapa nggak makan?"
"Gi, makan nanti saja, Tante."
"Nggak boleh, harus makan sama-sama. Duduk! Sekalian mana Si Mbok, biasakan sebelum terlalu banyak aktifitas mengisi perut dulu."
"Si Mbok makan di belakang, Tante."
Anita beranjak, "Isshh, kebiasaan Si Mbok. Padahal sudah berapa kali dibilangin kalau makan sama-sama di sini saja."
Setelah semua sudah ada mereka menikmati sarapan dengan hikmat.
"Nanti kamu ke kantor, Guna?"
"Iya, Pa. Mau kemana lagi emang?"
"Nanti sekitar pukul 02:15 jemput Giana, kita ke suatu tempat!" ucap Angga.
"Kemana, Pa? Nggak bisa apa Giana pergi sendiri atau diantar supir?"
"Ngapain diantar supir, 'kan ada kamu!" seru Anita.
"Guna bukan supir, Ma."
"Yang bilang kamj supir, siapa?
"Terus apa sebutannya?"
"Suami!"
Mendengar ucapan Anita sontak Giana membelalakkan matanya, ia terkejut dengan mulut sang tante yang sefrontal itu.
"Tante, Giana bisa pergi sendiri. Tinggal bilang saja alamatnya dimana!" ucap Giana.
"Nggak boleh, apa gunanya Guna kalau begitu saja nggak bisa."
"Ma ......"
Belum selesai Guna menyanggah ucapan Anita, perempuan yang bergelar mama tersebut dengan cepat melambaikan tangannya.
"Tidak bisa dibantah, putusan sudah final!"
Guna mendengus kesal dengan keputusan sang mama.
"Gi sayang."
"Iya, Tante."
"Jangan lupa nanti, ya. Siap-siap, soalnya sekarang tante mau ikut Om mu ke kantor, kita ketemu di sana nanti siang."
"Iya, Tante."
Anita dan Angga saling menatap dan tersenyum penuh arti.
"Memang kita ke mana, sih?"
"Nanti, mama kasih alamatnya. Jangan cerewet jadi laki!" ucap Anita.
"Ya sudah. Guna mau berangkat dulu, lama-lama di sini pusing. Assalamualaikum!" pamit Guna lalu mencium tangan mama papanya, rutinitas yang sudah jadi kebiasaan walaupun sudah menjadi orang besar.
"Hati-hati! Nggak pamit dulu dengan calon istri sholehah?" goda Anita.
"Mama!"
Wajah Giana pun sudah merah bagaikan kepiting rebus karena malu mendengar ucapan-ucapan yang diproduksi oleh mulut sahabat mamanya tersebut.
'Huufff! Benar-benar mirip Mama tingkahnya, pantesan mereka sahabatan. Hampir semuanya sama,' batin Giana.
"Ya sudah. Tante, Giana mau masuk dulu, bantuin Si Mbok."
Anita mengangguk dan tersenyum, "Oke, calon menantu mama. Tapi jangan terlalu capek, ya."
"Iya, Tante."
Giana pun berlalu cepat-cepat dari situ karena ia tidak mau lagi mendengar kata-kata ajaib lagi dari mulut sang tante.
"Pa."
"Hm."
"Mereka cocok."
"Iya."
"Nanti kalau Tina dan Yoga sudah ada di sini, mama nggak mau tunda-tunda lagi membahas acara pernikahan mereka berdua, nggak usah acara tunangan segala."
"Papa juga maunya seperti itu, Ma."
"Ikhh! Papa memang tahu dan paham apa yang mama mau."
Mereka pun masuk ke kamarnya untuk bersiap-siap karena Angga pun ada meeting penting pagi ini yang nggak bisa diwakilkan oleh asistennya.
Sementara Guna yang sudah sampai di kantor, turun dari mobilnya dan menyerahkan kunci kepada petugas falet khusus mobilnya.
Biasa ia berjalan di lobi dengan wajah datar dengan tatapan dingin sehingga yang berada di situ hanya bisa menunduk hormat.
Widhya sang sekertaris sudah berdiri menyambutnya di lift mempersilahkan sang boss masuk.
"Semua sudah siap, Wid?"
"Sudah, Pak. Semua berkas yang dibutuhkan sudah saya simpan di mejanya Bapak."
"Oh, iya. Ini file arsip yang sudah terdata manual, tinggal disimpan dan gabungkan dengan yang lain."
Sejenak Widhya tercengang karena ucapan sang boss.
"Loh, kenapa Bapak yang mengerjakan? Ini 'kan tugasnya saya, Pak."
"Bukan saya."
Widhya semakin bingung dengan jawaban sang boss, namun ia nggak lagi bertanya. Karena ia tahu jika banyak bertanya membuat bossnya yang super duper dingin itu tidak suka.
Ting ...
Pintu lift terbuka.
Setelah sampai di mejanya, Widhya memeriksa file yang dikasih oleh sang boss tadi.
"Wah, rapi sekali. Tulisannya bagus, sangat teliti sekali."
"Katanya bukan boss yang mengerjakannya, terus kalau bukan dirinya, siapa ya? Pacar nggak mungkin boss kan anti perempuan, asisten baru bisa jadi, sih. Tapi biasanya sang boss kalau tentang perusahaan aku selalu tahu, atau jangan-jangan boss punya piaraan hantu?"
"Ihhh, mikir apa aku ini? Masa dijaman modern ini ada hantu, sih."
Widhya yang sedang asyik berbicara sendiri terkejut ketika suara interkom di mejanya meraung, siapa lagi yang memanggilnya kalau bukan si beruang kutub itu.
"Widhya, ke ruangan saya!"
"Meluncur, Pak."
Widhya pun segera beranjak.
Tok tok tok ...
Setelah ada jawaban Widhya masuk.
"Wid, selain rapat pagi ini, hari ini ada agenda lain lagi nggak?"
"Nggak ada, Pak."
"Oke kalau gitu, nanti setalah makan siang saya nggak balik lagi ke kantor, kalau ada yang nyari suruh datang besok saja."
"Siap, Pak."
"Oh, iya kemarin saya telepon kamu tapi yang angkat si ampas tahu."
Widhya terkejut mendengar ucapan sang boss, ia sudah tahu yang dimaksud ampas tahu itu adalah kekasihnya sekaligus sahabatnya si boss.
"Iya, Pak. Mas Ryo ada bilang."
"Memang ada apa ya Pak?"
"Kemarin saya mau minta tolong temenin saya ketemu Sindhy."
"Sin-sindhy?"
"Iya."
'Ugghhhh, ngapain lagi perempuan lucknut itu?' batin Widhya.
Widhya memang tahu persis siapa perempuan itu, gara-gara perempuan itu aang boss berubah drastis seperti saat ini, dari yang ceria menjadi yang sekarang dingin dan tidak percaya yang namanya perempuan.
"Mau apa lagi, tuh perempuan, Pak?"
"Minta maaf dan meminta saya untuk ngasih dia kesempatan."
"Owalahhh, coba ada saya pak, udah tak bejek-bejek mulut perempuan lucknut itu."
Jangan heran gays Guna memang nyaman ngomong hal pribadi dengan sekertarisnya itu karena widhya sudah sangat lama bekerja dengannya dan apa pun ***** bengeknya Guna sang sekertaris tahu semuanya.
"Terus, Bapak. Datang dengan siapa jadinya?"
"Giana!"
"Giana? Siapa itu, Pak?"
"Nanti saya cerita, sekarang belum bisa."
"Apa jangan-jangan nanti Bapak mau ketemu dengan perempuan bernama Giana itu ya?"
"Ng-nggak! I-itu Mama sama Papa mau ngajak saya keluar."
"Oh .... kirain, bapak mau keluar bareng dengan ....... siapa tadi, Pak?"
Guna menatap Widhya dengan tatapan tak suka.
'Huufff! Kenapa juga aku bisa menyebut nama perempuan cempreng itu?' batin Guna.
"Sudah, sana kerja. Lama-lama kamu sama dengan si ampas tahu."
Bersamaan dengan itu, pintu ruangan Guna ada yang ketok.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Febri Ana
lanjjuutt
2021-12-24
0
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
jejakku hadir kembali
2021-01-29
1
Yanti Yanti
lanjut Thor
2020-12-15
1