Si Mbok sambil tergelak keras ketika melihat sikap malu-malu tuannya, karena itu kesempatan langka melihat manusia itu malu-malu jika menyinggung masalah kaum perempuan.
Wajah tampan Guna memerah, saat si mbok menggodanya, ia pun berlalu berjalan menuju ke sang mama berada.
Sebelum sampai di ruang tengah, samar-samar terdengar obroran sang mama dengan Giana, ia pun tidak langsung ke sana, ia lebih tertarik untuk mencuri dengar apa yang tengah dua orang beda generasi tersebut bicarakan.
Setelah beberapa saat menjadi pendengar gelap, Guna pun beranjak dari tempatnya.
"Dih, ada yang bertanya tentang saya, nih," ucapnya Guna menyindir.
Giana melengos mencoba mengabaikan ucapan manusia kulkas yang ada di depannya sekarang.
"Hm! Katanya nggak, mau. Tapi kok, nanya-nanya tentang saya, " sindir Guna lagi.
'Ikh, jadi laki, kok, lemes amat mulutnya. Sudah kayak banci kaleng rombeng,' gumam Giana yang masih didengar oleh orang sekitarnya.
Gumaman Giana, berhasil membuat Anita tertawa terbahak-bahak, perempuan awal enam puluhan itu mendengar apa yang Giana ucap seakan bukan ledekan tapi pujian sehingga ia bisa tertawa lepas kayak gitu.
"Mama!" seru Guna menghentikan tawa sang mama.
"Kenapa?"
"Ini, anaknya diledek, loh. Bukan dipuji, kenapa Mama malah ketawa bahagia begitu?" sela Guna yang tak terima.
"Gimana, Mama. Nggak ketawa, 'kan lucu," ucap Anita.
Guna membuang nafas kasar, "Ah, terserah, Mama."
Tatapan Guna beralih ke Giana yang tengah duduk dengan santainya, seakan barusan ia tidak berucap apa-apa.
"Eh, cempreng kerempeng, kenapa kamu tanya-tanya tentang saya?"
Setelah Guna bertanya, tiba-tiba ada suara dari belakang siapa lagi kalau bukan si mbok, yang ikut nimbrung.
"Bukannya, tadi juga tuan bertanya tentang bagaimana kesehariannya Nona kepada saya?"
Seandainya Guna mempunyai ilmu menghilang, ia akan segera menghilang dari tempat itu karena ia malu karena ketahuan menanyakan tentang keseharian Giana.
'Hadeh, aku salah tempat untuk menuang air, ternyata embernya bocor,' batin Guna.
Anita menatap anaknya yang tengah menahan malu, lalu tersenyum.
"Siapa yang nanyain si cempreng ini, sih, Mbok?" tanya Guna.
"Lah, tadi di belakang tuan tanya kepada saya gimana kesehariannya Nona Giana," ucap si mbok polos.
"Huh! Dasar kulkas, sudah nanya pake nggak ngaku segala," seru Giana.
"Kamu, juga kenapa nanya-nanya tentang saya sama Mama?"
"Sudah-sudah, jangan bertengkar terus. Kalian ini. Walaupun kalian bertengkar setiap detik, tidak akan mengubah keputusan kami para orangtua bahwa kalian tetap menikah," sela Anita.
Guna maupun Giana terdiam, mereka kehabisan akal untuk menolak perjodohan tersebut, dengan berbagai cara telah dilakukan namun tidak ada yang berhasil.
"Eh! Cempreng, kamu suka dengan saya, ya?" celetuk Guna.
"Ikh, amit-amit. Mending saya jomblo dari pada suka dengan kulkas berjalan." balas Giana sengit.
"Akh, bilang saja. Nggak dibayar pajak walaupun jujur."
Giana mencebik, "Orang ini sungguh PD sekali, Ya Allah."
"Owalah, Tuan. Kalau suka dengan Nona Giana, tinggal bilang. Bukan malah saling ngeledek kayak, gitu."
"Mama, tidak pernah meminta apa pun bukan? Kali ini aku meminta sesuatu tidak bisakah kamu penuhi anak mama?"
Ucapan Anita membuat Guna terdiam, dengan pikiran yang kacau dan permintaan sang mama membuatnya bingung. Untuk beberapa saat Guna masih terdiam tercabik antara menolak dan sikap berbakti.
Giana pun hanya bisa terdiam, ia juga teringat akan permintaan orangtuanya. Beberapa saat lalu mereka pernah berbicara akan hal ini bahwa ia akan dijodohkan dengan laki-laki dingin bak kulkas tersebut.
Sedangkan Anita merasa puas dengan apa yang dia lihat, ia tahu sang anak sebetulnya penurut namun kejadian beberapa tahu lalu yang membuatnya seperti sekarang ini, kisah di masa lalu yang meninggalkan bekas luka yang kayaknya belum sembuh sehingga membuat sang anak menutup diri dan hatinya dari yang namanya perempuan.
"Gimana, Guna?"
Guna melirik sang mama yang menatapnya, "Gimana apa, Ma?"
"Rasanya, Mama. Tidak perlu mengulang kata-kata Mama karena aku yakin kamu laki-laki cerdas."
Setelah manatap sang mama, Guna mengalihkan pandangannya ke arah Giana, perempuan yang dijodohkan dengannya.
"Dih, ada yang bertanya tentang saya, nih," ucapnya Guna menyindir.
Giana melengos mencoba mengabaikan ucapan manusia kulkas yang ada di depannya sekarang.
"Hm! Katanya nggak, mau. Tapi kok, nanya-nanya tentang saya, " sindir Guna lagi.
'Ikh, jadi laki, kok, lemes amat mulutnya. Sudah kayak banci kaleng rombeng,' gumam Giana yang masih didengar oleh orang sekitarnya.
Gumaman Giana, berhasil membuat Anita tertawa terbahak-bahak, perempuan awal enam puluhan itu mendengar apa yang Giana ucap seakan bukan ledekan tapi pujian sehingga ia bisa tertawa lepas kayak gitu.
"Mama!" seru Guna menghentikan tawa sang mama.
"Kenapa?"
"Ini, anaknya diledek, loh. Bukan dipuji, kenapa Mama malah ketawa bahagia begitu?" sela Guna yang tak terima.
"Gimana, Mama. Nggak ketawa, 'kan lucu," ucap Anita.
Guna membuang nafas kasar, "Ah, terserah, Mama."
Tatapan Guna beralih ke Giana yang tengah duduk dengan santainya, seakan barusan ia tidak berucap apa-apa.
"Eh, cempreng kerempeng, kenapa kamu tanya-tanya tentang saya?"
Setelah Guna bertanya, tiba-tiba ada suara dari belakang siapa lagi kalau bukan si mbok, yang ikut nimbrung.
"Bukannya, tadi juga tuan bertanya tentang bagaimana kesehariannya Nona kepada saya?"
Seandainya Guna mempunyai ilmu menghilang, ia akan segera menghilang dari tempat itu karena ia malu karena ketahuan menanyakan tentang keseharian Giana.
'Hadeh, aku salah tempat untuk menuang air, ternyata embernya bocor,' batin Guna.
Anita menatap anaknya yang tengah menahan malu, lalu tersenyum.
"Siapa yang nanyain si cempreng ini, sih, Mbok?" tanya Guna.
"Lah, tadi di belakang tuan tanya kepada saya gimana kesehariannya Nona Giana," ucap si mbok polos.
"Huh! Dasar kulkas, sudah nanya pake nggak ngaku segala," seru Giana.
"Kamu, juga kenapa nanya-nanya tentang saya sama Mama?"
"Sudah-sudah, jangan bertengkar terus. Kalian ini. Walaupun kalian bertengkar setiap detik, tidak akan mengubah keputusan kami para orangtua bahwa kalian tetap menikah," sela Anita.
Guna maupun Giana terdiam, mereka kehabisan akal untuk menolak perjodohan tersebut, dengan berbagai cara telah dilakukan namun tidak ada yang berhasil.
"Eh! Cempreng, kamu suka dengan saya, ya?" celetuk Guna.
"Ikh, amit-amit. Mending saya jomblo dari pada suka dengan kulkas berjalan." balas Giana sengit.
"Akh, bilang saja. Nggak dibayar pajak walaupun jujur."
Giana mencebik, "Orang ini sungguh PD sekali, Ya Allah."
"Owalah, Tuan. Kalau suka dengan Nona Giana, tinggal bilang. Bukan malah saling ngeledek kayak, gitu."
"Mama, tidak pernah meminta apa pun bukan? Kali ini aku meminta sesuatu tidak bisakah kamu penuhi anak mama?"
Ucapan Anita membuat Guna terdiam, dengan pikiran yang kacau dan permintaan sang mama membuatnya bingung. Untuk beberapa saat Guna masih terdiam tercabik antara menolak dan sikap berbakti.
Giana pun hanya bisa terdiam, ia juga teringat akan permintaan orangtuanya. Beberapa saat lalu mereka pernah berbicara akan hal ini bahwa ia akan dijodohkan dengan laki-laki dingin bak kulkas tersebut.
Sedangkan Anita merasa puas dengan apa yang dia lihat, ia tahu sang anak sebetulnya penurut namun kejadian beberapa tahu lalu yang membuatnya seperti sekarang ini, kisah di masa lalu yang meninggalkan bekas luka yang kayaknya belum sembuh sehingga membuat sang anak menutup diri dan hatinya dari yang namanya perempuan.
"Gimana, Guna?"
Guna melirik sang mama yang menatapnya, "Gimana apa, Ma?"
"Rasanya, Mama. Tidak perlu mengulang kata-kata Mama karena aku yakin kamu laki-laki cerdas."
Setelah manatap sang mama, Guna mengalihkan pandangannya ke arah Giana, perempuan yang dijodohkan dengannya.
'Ah, dasar perempuan kerempeng menyusahkan,' rutuk Guna dalam hati.
"Giana, Sayang. Gimana denganmu? Apa kamu bersedia?"
Giana terbelalak, mendengar pertanyaan Anita. Ia tidak berani mengangkat kepalanya, ia hanya melirik dengan ekor matanya reaksi Guna. Namun lagi-lagi ia down dan sangat tidak menginginkan situasi seperti saat ini.
Anita meraih tangan Giana dan berbicara lirih, "Tante, sudah menelpon orangtuamu. Mereka akan segera datang."
Jika ada ledakan bom saat ini di deket mereka tidak akan lebih kaget dengan informasi yang mereka dengar.
Giana mau pun Guna serentak mengangkat kepala mereka memandang ke arah perempuan yang mempunyai suara yang dahsyat barusan.
"Mama! Tante!" ucap mereka bsrsamaan.
"Iya! Ada yang bisa saya banting, eh, salah. Maksud saya ada yang bisa saya bantu?" tanya Anita dengan memasang wajah sepolos mungkin.
"Mama! Guna, bukan anak kecil lagi," seru Guna.
"Kalau sudah merasa dewasa, nyari bini, dong. Jangan berdiam diri terus," seru Anita menimpali.
"Tolonglah, Ma. Guna masih berpikir."
"Nunggu kamu berpikir sama halnya, nunggu minyak dan air berpelukan."
Jawaban Anita, sontak membuat tawa si mbok yang dari tadi ikut nimbrung di situ meledak.
"Nunggu sampai kiamat pun, air sama minyak nggak bakalan bersatu, Nya!" seru si mbok dengan masih terkekeh.
"Ya, maka dari itu, Mbok. Saya tidak mau ngijini Guna untuk berpikir."
Anita kembali melirik Giana, "Giana, Sayang. Jawab, dong sayang."
Giana menahan malu, ia menenggalamkan wajahnya sedalam mungkin agar tidak ada yang melihat wajah merah karena menahan malu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Nur Neni
di bagian ini ada yg di ulang, mn panjang lg, lanjut laa, jangan ada lg paragrap yg di ulang
2021-08-31
0
Eky Ramadani10
sakit perut ku😭🤣🤣🤣
2021-02-24
2
Vemy Mun
,😂😂😂🤣🤣🤣
2021-02-01
1