POV Airish
Keesokan harinya aku langsung heboh. Aku tidak sabar untuk segera menceritakan perihal Aya yang menghubungiku. Aku bangun pagi-pagi sekali dan bergegas mandi untuk bisa cepat-cepat kerumah Putri buat cerita.
Sesampainya di rumah Putri, aku langsung ambil posisi paling nyaman dikamarnya lalu mulai bercerita.
"Dia lagi ada masalah kali sama bininya" Ucap Putri.
"Hm, bisa jadi. Tapi lo tenang aja, gak akan gue ladenin"
Sumpah, aku sudah tidak tertarik pada Cahya. Aku masih per*wan, aku cantik, aku bisa mendapatkan yang lebih dari dia. Pria lajang masih banyak yang bisa aku dapatkan. Kenapa harus meladeni laki orang???
Sepulang dari rumah Putri, aku kembali ke apartemen. Aku masak, karena sudah lama sekali aku tidak memasak. Padahal aku selalu membeli peralatan dapur yang bagus-bagus di t*ktok shop. Mubazir kalau tidak aku pergunakan.
Menu yang kubuat cukup simple, aku hanya membuat telor dadar dan sebagai pelengkap tambahannya ada rebusan daun singkong lalu di makan dengan sambal botolan sebagai cocolannya. Setelah perutku penuh, aku mencuci baju yang sudah berhari-hari numpuk. Habis putar cucian aku n*tflix-an di kamar. Sampai-sampai akhirnya berujung lupa dengan cucianku. Tidak apa-apa, sudah biasa.
Aku belum punya tabungan yang cukup untuk memakai jasa Asisten Rumah Tangga (ART), karena honor pembuatan naskah kadang suka ngadat. Gak jelas kapan turunnya. Persis kek hujan.
Seminggu setelah itu, aku punya janji bertemu dengan sutradara kenalanku. Ia pria cukup mapan, usia 45 tahun, dan sudah beristri. Ia mengajakku bertemu di sebuah restoran hotel untuk membicarakan sebuah projek film sekaligus makan siang bersama.
Aku tak banyak bertanya, langsung kuiyakan saja karena biasanya kalau sutradara ngajak bertemu itu berarti ia tertarik mengajakku bekerja sama. Aku butuh uang, dan punya banyak waktu luang sehingga tak perlu pikir panjang aku langsung bersedia meneriwa tawarannya.
Aku berpakaian casual seperti biasanya. Berjalan santai menuju lobby hotel. Jujur saja, aku takjub melihat interior hotel tersebut. Wajar jika begitu wah, karena hotel ini memang terkenal mewah dan mahal. Aku tidak pernah menginap di hotel ini, itu sebabnya aku tidak tahu dimana letak restorannya.
Aku bertanya pada resepsionis, ia kemudian menuntun jalanku ke dalam sebuah lift. Ia mengantarkanku sampai di lantai 7. Setibanya di sana, tidak ada siapa-siapa. Yang kulihat di depan lift ada fasilitas kolam renang outdoor yang berhadapan langsung dengan tempat gym.
Sedangkan di sisi kiri lift, aku bisa melihat berderet pintu kamar hotel dan di sisi kanan lift tempat tangga darurat berada. Aku selangkah keluar dari lift, perasaanku tiba-tiba jadi tak karuan. Sedangkan mbak-mbak yang mengantarkanku tadi sudah turun ke lobby.
Aku hendak memencet lagi tombol lift untuk turun. Namun aku mendengar salah satu pintu kamar yang dibuka.
Ctek
"Airish!" Panggil pria itu.
Aku gagal turun ke lobby.
"Iya, Mas. Emmm, kita janjiannya di restoran tapi kenapa tiba-tiba..." Aku berpura-pura santai walau tetap gugup.
Pria yang kupanggil Mas Erik itu menutup pintu kamarnya dan berjalan mendekat ke arahku.
"Kamu jangan salah paham dulu, ya. Kebetulan disini lagi ada syuting juga untuk projek film saya. Mereka juga lagi pada ngumpul dikamar itu. Mari ikut bergabung sekalian kita bahas rencana kerja sama kita" Ucapnya dengan ramah.
Huh, aku jadi lega. Kukira aku akan kenapa-napa.
Aku mengekori mas Erik. Ia membuka pintu kamar hotel tersebut dan mempersilahkanku untuk masuk lebih dulu. Kulihat ada beberapa orang didalam kamar, ada yang kukenal tapi ada juga yang tidak. Aku menyapa mereka dan berjabat tangan. Hingga sepersekian detik kemudian aku kembali deg-degan. Sebab diruangan itu aku perempuan satu-satunya.
Deg
"Mas, aku gak nyaman disini. Aku mau kita ngobrol ditempat lain aja" Ucapku dengan berbisik pada Mas Erik.
Mas Erik tiba-tiba menggenggam erat tanganku. Ia menarik pergelangan tanganku sampai aku jatuh ke tempat tidur. Ia berusaha melumpuhkanku dengan menind*h tubuhku. Aku panik dan langsung berusaha melawan serangannya.
"Tolooong!!!" Teriakku.
"Dimas tolongin aku" Mohonku pada seorang kru yang hanya diam menonton perbuatan Erik yang hendak melepas kancing bajuku.
Air mataku sudah jelas tumpah. Namun bukan berarti tenagaku melemah. Aku yang sudah tahu hidup di Jakarta ini keras, maka aku sudah jauh-jauh hari mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan buruk seperti saat ini.
Aku terus melawan meski tubuhku dikunci oleh Erik. Pria 45 tahun yang rutin berolahraga itu cukup membuatku kewalahan. Pergulatan itu malah direkam oleh mereka, termasuk Dimas. Mereka dengan santainya bahkan sambil merokok tersenyum melihatku yang kesusahan lepas dari kungkungan Erik.
Awas kau Dimas, setelah aku lolos dari Erik suatu hari akan kucari dirimu.
Aku menendang keras alat v*tal Erik. Lalu kuhajar batang hidungnya berkali-kali dan disaat ia lengah, kujatuhkan tubuhnya dari tempat tidur. Aku bangkit dan mengangkat sebuah lampu tidur yang akan aku gunakan untuk mengancam Dimas dan yang lain jika hendak mencegahku untuk pergi dari sini. Mereka terkesiap saat pergerakanku yang begitu cepat seakan diluar dugaan mereka. Melihat mataku yang merah padam sembari siap memecahkan lampu itu ke kepala mereka, mereka ketakutan dan akhirnya memberiku jalan keluar.
Aku mencabut kartu akses agar aku bisa menggunakan lift. Perset*n dengan mereka, aku tak peduli. Yang penting aku bisa segera keluar dari sini.
Sesampainya aku di dalam lift dan syukurlah liftnya kosong, aku memperbaiki penampilanku yang kacau. Ada bercak darah disudut bibir akibat ci*man paksa Erik padaku. Aku menghapus jejak darah itu dengan kasar sembari melontarkan sumpah serapah yang aku tujukan pada mereka-meraka yang berbuat jahat padaku.
Ting
Lift berhenti. Aku bersiap melangkah keluar karena mengira lift sudah sampai di lobby.
Ah! Ternyata tidak, lift sedang berhenti karena ada yang hendak turun juga. Aku mengalihkan wajahku dari laki-laki yang barusan masuk itu. Dari pantulan dinding kaca lift, aku bisa melihat pria itu memencet lantai B atau Basement.
Sungguh aku sangat takut. Aku takut kalau laki-laki itu juga salah satu dari anak buah Erik yang hendak menangkapku. Atau, aku takut kalau laki-laki itu melihat tampilan kacauku. Disaat seperti ini, aku tidak mau berinteraksi dengan siapapun. Aku tidak mau ditanya-tanya oleh siapapun.
"Permisi, kayanya kita pernah bertemu" Ucap lelaki tersebut.
Aku akhirnya meredam emosiku. Perlahan aku melihat kearahnya. Ya, kuakui kami memang pernah bertemu walau aku juga lupa tepatnya kapan.
"Ah, iya" Ucapku dengan senyum terpaksa.
Kami berjabat tangan.
"Gue Viktor, lo siapa?" Tanyanya.
"Gue Airish" Jawabku.
"Oh, nginap disini juga?"
"Nggak, gue...gue..."
Mataku, mataku tiba-tiba berair. Aku tidak mampu mengontrol diriku saat ini.
"Rish, sorry sorry. Gue gak bermaksud buat lo sedih"
Viktor mengulurkan sapu tangannya padaku.
Ting
Lift sampai di lobby. Pintunya terbuka.
"Aku pergi dulu, ya!? Sampai jumpa" Ucapku lalu melangkah keluar tanpa menggubris uluran sapu tangannya.
"Rish, lo yakin lo gak papa?" Teriaknya sebelum pintu lift tertutup.
Aku hanya mengacungkan tanda ok👌 tanpa berbalik menatapnya. Siapalah dia, hanya orang yang baru dua kali aku temui.
Aku memesan taksi di tepi jalan. Aku sama sekali tidak berniat menatap pada bangunan tinggi menjulang dibelakangku itu lagi. Degup jantungku masih terasa begitu kencang. Tiap ada lelaki yang lewat dihadapanku buru-buru kualihkan wajahku.
Aku memeriksa lagi, taksi yang kupesan masih lama. Aku terus saja berdiri menunggunya.
Hingga sebuah mobil Pajero hitam berhenti dihadapanku. Aku lagi-lagi seperti tidak sadar dan hampir saja hendak membuka pintunya. Konsentrasiku kacau, aku susah fokus. Aku mengetuk kepalaku yang bodoh ini. Taksi yang kupesan itu jenis mobil Av*nza lengkap dengan plat mobilnya. Sudah aku cek tadi di aplikasi. Untung saja aku tidak sampai sembarang naik ke mobil yang masih setia berada di depanku ini.
Kaca mobil tersebut terbuka. Aku sontak menundukkan wajah karena lagi-lagi aku tidak ingin berinteraksi dengan siapapun.
"Rish!" Panggilnya.
Mendengar namaku disebut, aku segera melihat pada orang yang memanggilku. Ah, dia lagi dia lagi.
"Rish, lo mau kemana? Barangkali kita satu arah" Ucap Viktor seraya tersenyum. Aku tahu pria ini baik, hanya saja aku sedang tidak mau bicara dengan siapapun.
Kucari-cari alasan agar tak semobil dengannya. Kulihat mobilnya menghadap ke arah selatan.
"Gue mau pulang ke Jalan Ahmad Yani" Ujarku dengan menyebutkan arah yang berlawanan dengan arah mobilnya.
"Yuk! Gue juga mau ke arah sana"
Heleh, kenapa bisa sama siiiih.
"Ga usah deh, nanti ngerepotin" Tolakku secara halus.
"Ayolah Rish, panas loh disini. Lo biar gue anter aja"
Duh, si Viktor ini susah ditolak.
Akhirnya mau tak mau aku menerima tawarannya. Dan tak lupa aku membatalkan pesanan taksi onlineku yang ternyata sudah hampir sampai.
Maafkan aku, pak sopir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments