Pukul setengah 3 sore aku sudah sampai dirumah orangtuaku. Mereka membuka pintu lebar-lebar saat mendengar mesin mobil yang berhenti tepat di depan rumah. Ayah membantu pak sopir menurunkan koper dan tas milikku dari bagasi. Sedangkan aku sudah diteras rumah menghampiri perempuan paruh baya yang begitu sangat kusayangi, siapa lagi kalau bukan ibuku.
Malam harinya setelah makan malam bersama, kami berkumpul diruang tengah, sambil menonton televisi aku menunjukkan oleh-oleh yang aku bawa. Dan dengan bangga aku menunjukkan ke mereka sebuah kantong yang merupakan oleh-oleh dari Aya.
"Alhamdulillah. Bilang sama Cahya terima kasih" Sambut Ibu seraya membuka kantong oleh-oleh pemberian Aya.
"Aku video call ya biar Ibu bisa bilang langsung sama orangnya"
Memanggil...
"Halo Rish?" Sapa Aya dalam video.
"Aya, kita abis bongkar oleh-oleh terus ini Ibu mau ngomong" Aku mengulurkan kamera pada Ibu.
"Ibu, apa kabar? Suka nggak sama oleh-olehnya?" Cahya lebih dulu nyapa Ibu.
"Cahya, kabar Ibu baik. Terima kasih, oleh-olehnya banyak sekali" Ungkap Ibu dengan begitu senang.
"Sama-sama, Bu. Kalo Ayah apa kabar, Bu?"
Aku tertawa mendengar pertanyaan Aya. Dia pasti bingung berbincang dengan Ibu. Jadi apapun pertanyaan yang muncul dikepalanya, ia tanyakan saja. Basa-basi sekaleee, ledekku dalam kepala.
"Ayah juga baik. Tadi dia disini juga, sekarang lagi meriksa kandang ayam dibelakang. Kamu sendiri gimana kabarnya? Orangtuamu sehat-sehat juga 'kan?"
"Alhamdulillah sehat-sehat semua, Bu"
Hening
Aku mendekat pada ibu sehingga wajah kami berdua ada dalam kamera.
"Ngeri banget, obrolan kalian basa-basi sekali. Template" Cibirku.
"Lah memang apa lagi yang bisa ditanya. Ketemu 'kan belum pernah" Colek Ibu.
Aya tertawa mendengar ucapan Ibu. Sedangkan aku mencebik ke arah Aya yang kehabisan topik buat ditanya-tanya ke Ibu.
"Ibu gak mau nanya gitu seberapa sayangnya Aya sama anak Ibu?" Ucapku.
"Cahya, kamu sayang sama anak Ibu?" Tanya Ibu yang langsung menuruti ucapanku.
"Sayang, Bu" Jawab Cahya dengan senyum sopan.
"Kapan mau kesini bawa rombongan keluargamu?"
Waduh, pertanyaan ibu tidak hanya membuat Aya mati kutu, tapi juga membuatku berdebar. Aku "menunggu" Aya mau menikahiku, disatu sisi aku juga sambil memantapkan hati dan menyiapkan mental selagi Aya belum mengajakku menikah.
"Saya juga pengen secepatnya Bu, tapi mau ngumpulin modal dulu sama siapin tempat tinggal yang layak buat kami berdua biar sama-sama lepas dari orangtua"
"Itu bagus, menikah lalu hidup mandiri lepas dari orangtua. Tapi Ibu sama Ayah tidak mau mempersulit kamu untuk memberi yang mewah-mewah pada Airish. Cukup yang sederhana yang penting kaliannya bahagia. Perihal mahar, semampu kamu saja. Jangan sampai niat menikahi Airish malah membebani pikiranmu juga Ibu Bapakmu"
"Iya, Bu. Saya mohon doanya ya Bu biar bisa secepatnya ke Jambi bertemu keluarga besar disana"
"Iya, Ibu doakan yang terbaik untuk Airish dan kamu juga. Ibu cuma khawatir kalau kalian pacaran kelamaan apalagi Airish jauh dari Ibu Ayah, ya takutnya, amit-amit, hamil duluan. Disini sudah banyak contohnya, makanya Ibu sering kepikiran"
"Astaghfirullah Ibu, ngeri banget. Iiih, aku masih waras Bu gak mau nikah karena hamil duluan. Memangnya siapa Bu yang hamil duluan?" Tanyaku penasaran.
Ibu pun menceritakan gosip panas yang baru-baru ini terkuak. Jadi, ada anak tetangga yang baru nikah 3 hari tapi sudah lahiran. Orang-orang yang datang menghadiri pesta pernikahannya semula tidak ada yang curiga sebab memang mempelai wanita memiliki tubuh yang berisi jadi tidak ada yang berpikiran negatif. Namun, yang mencengangkan adalah ketika orangtua si perempuan sibuk mencari bidan desa karena katanya anaknya mau melahirkan.
Otomatis tetangga pada keheranan. 'Kan anaknya yang sudah menikah baru satu itu saja, sedangkan yang lainnya belum. Tak sampai disitu, bidan desanya sendiri yang bercerita kalau memang yang melahirkan itu adalah si S*** yang baru saja menikah.
Sontak satu kampung membicarakan si anak yang baru nikah ini.
"Oh, aku ingat. Dia adik kelasku waktu SMA (Sekolah Menengah Atas), Bu. Yang rumahnya warna kuning berpagar situ 'kan?" Ucapku sambil nunjuk-nunjuk. Sedangkan Aya masih setia mendengarkan obrolanku bersama Ibu.
"Iya, Ibu juga ingat dulu dia adik kelasmu. Sekarang adik kelasmu udah jadi ibu, kamu malah belum punya suami"
"Yah mulai nih si Ibu. Aku mau ke kamar aja ah"
Aku masuk ke kamar lalu menguncinya. Aku berbaring seraya memperhatikan Aya yang sedang mengatur kamera ponselnya agar bisa berdiri tanpa harus ia pegang.
"Cahyo, kamu serius ya sama aku?" Tanyaku tiba-tiba.
"Ya seriuslah, Rish. Memangnya ada orang yang bilang sama kamu kalo aku gak serius?"
"Nggak ada!"
"Terus kenapa masih ragu sama aku?"
"Bukan ragu..."
"Terus apa namanya?"
"Aya, coba kamu ungkapin seberapa sayangnya kamu sama aku?"
"Hmmm mulai nih. Pasti lagi pengen dimanja-manja" Goda Aya.
Aku tertawa. "Kok kamu tau siih"
"Kamu kan gitu, hobinya minta disanjung-sanjung atau dipuji-puji kalo lagi pengen dimanja"
"Ya udah, buruan"
"Bentar, aku mikir kata-katanya dulu"
"Ih nanti gak tulus dari hati"
"Erggh, gak sabar banget sih. Ya udah denger nih! Airish, aku sayang banget sama kamu. Aku juga cinta banget sama kamu. Aku pengen ketemu kamu secepatnya karena aku gak bisa hidup tanpa keribetan kamu. Dan walaupun kamu sering ngetawain Eyang aku, tapi seenggaknya dengan menceritakan Eyang bisa buat kamu tertawa maka aku ikhlas"
"Kok gitu? Kok endingnya gak enak. Kesannya aku jahat banget" Aku protes pada Aya.
"Dimana letak jahatnya? Justru kayanya yang jahat sebenernya itu aku, bukan? Kan aku yang nyeritain Eyang, urusan kamu ketawa ya itu gara-gara aku 'kan? Jadi, yang jahat siapa?"
"Kamu" Jawabku cepat sambil nunjuk pakek bibir.
"Tuh kan, aku"
Aku tertawa mendengar "Tuh kan, aku". Aya mendengus sebal karena aku malah semakin puas menertawainya. "Aya, aku sayang kamu!"
"Iya sayangku, cintaku, bidadariku, calon istriku, pujaan hatiku. Emmmuach" Kecupnya ke kamera.
"Ih basah, sampe kuyup lagi" Aku mengusap-usap pipiku yang seolah kena cium Aya.
"Aku cium elegan ya, bukan cium sembrono sampe basah-basah kena iler" Cebiknya dengan senyum menyeringai.
"Dih, justru yang sembrono ginilah yang cewe-cewe pada suka" Tipuku.
"Ah yang bener kamu?" Tanyanya.
"Hm" Aku mengangguk mantap.
"Ya udahlah, selama kamu disana aku mau latihan dulu. Biar kamu sampe sini aku udah jago" Sambutnya penuh percaya diri.
"Geliii" Sambil kumemegang tengkuk. Merinding.
Aya tertawa. "Tadi kamu bilang cewe-cewe pada suka. Sekarang bilang geli, kamu gimana sih!?"
"Ya kamu bayangin aja, semuka-muka basah semua kalo kaya gitu caranya. Itu bukan cium namanya, tapi cuci muka"
POV Airish End
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments