Airish sampai dirumah petakan yang menjadi tempat tinggal Putri saat ini. Putri mulai mengontrak disana sejak hubungannya memburuk dengan sang suami. Rumah itu memiliki satu kamar yang cukup luas, ruang tamu sederhana tanpa sofa, lalu sebuah dapur yang cukup sempit bersebelahan dengan kamar mandi, dan di bagian belakangnya terdapat space untuk menjemur pakaian.
Halaman depan rumah tersebut tampak asri meski tidak terlalu luas. Bahkan bisa dibilang hanya cukup untuk parkir dua mobil saja. Terletak di dalam gang sehingga Putri memiliki banyak tetangga yang membuatnya tidak kesepian meski sendirian.
◇◇◇
Sudah satu minggu Airish tinggal bersama Putri. Jujur saja, ia sudah terlanjur nyaman berada di lingkungan tempat tinggal Putri. Hanya saja tak mungkin ia selamanya hidup menumpang. Airish pun berpamitan kembali ke apartemennya. Tidak hanya kondisi kesehatan yang membaik, tapi juga kondisi hati. Airish sudah jauh lebih baik, ia tak sempat lagi memantau sosial media Cahya sejak tinggal bersama Putri.
Begitu sampai di apartemen, Airish melangkah sendu. Kilatan hari-hari bersama Cahya di apartemen itu tiba-tiba saja muncul. Telah dicoba untuk menepisnya namun ia selalu gagal menghalau. Bayangkan saja, sofa panjang yang mencuri perhatian di ruang utama itu adalah sofa yang sehari-hari jadi tempat Cahya berbaring melepas lelah setelah seharian berada di restorannya. Lalu Televisi 52 inci yang tertempel di dinding, adalah barang yang dibelikan Cahya saat Airish baru pindah kesana. Ditambah lagi beberapa furniture lain yang sengaja Airish beli karena warnanya sesuai dengan warna kesukaan Cahya.
Airish bagai terhempas ke dalam lautan fakta yang ternyata ia masih hidup dalam lingkaran Cahya. Sungguh, hidup seperti ini tidaklah mudah.
Haruskah semua benda ini kubuang?
Airish tersenyum getir. Kalaupun kujual, itu sama saja aku masih menikmati hasil dari uang Cahya.
Yang Airish inginkan hanya bisa hidup nyaman tanpa melihat barang-barang yang mengingatkannya pada Cahya lagi. Airish berjalan menuju kamarnya. Ia mendudukkan tubuhnya di ujung tempat tidur. Terdapat lukisan besar yang merupakan hadiah ulang tahun dari Cahya untuknya.
Sebuah lukisan kontemporer yang dibeli Cahya di sebuah pagelaran seni. Cahya memang memiliki jiwa seni yang cukup nyentrik. Dulu, ia memiliki ide gila pengen jadi pemahat gantungan kunci berbentuk alat vit*l pria seperti yang saat ini banyak ditemukan di Bali.
Ngaco aja kamu! Begitu reaksi Airish kala itu.
Airish menurunkan lukisan itu, dan memindahkannya ke gudang, yakni kamar sebelah yang tidak pernah digunakan. Selain dari lukisan itu, masih ada perintilan-perintilan lain dari Cahya yang juga ia pindahkan ke gudang.
Setelah dirasa kamarnya sudah nyaris tak ada lagi jejak Cahya, ia pun merebahkan tubuhnya dan sepersekian detik ia pun ketiduran. Dalam tidurnya, ia berharap tak akan ada kesedihan lagi setelah hari ini.
◇◇◇
Hari demi hari berlalu, harapan untuk bisa kembali bangkit dari keterpurukan ternyata tak semudah itu. Bahkan untuk menikmati pagi hari dengan secangkir kopi saja ia sudah tak berselera. Ia ingin kegiatan lain yang berbeda dari yang dulu saat ia masih bersama Cahya. Ia harus mengganti semua rutinitasnya.
Kehilangan orang yang dicintai, kehilangan berat badan, kehilangan mimpi-mimpi. Tiga hal itu yang membuat Airish nyaris menyiksa dirinya sendiri. Ia banyak menghabiskan waktu di luar.
Bangun pagi jam 09.00, mandi dan bersiap-siap. Kemudian mencari inspirasi menulis di taman, di kafe-kafe, atau bisa juga di jalanan. Tanpa pulang ke apartemen sampai malam harinya. Karena ia harus betul-betul menunggu fisiknya lelah agar saat sampai di kamarnya tidak ada waktu lagi untuk menangisi Cahya yang sudah meninggalkannya.
POV Airish
"Hoaaam"
Aku membuka mata yang selalu kurang tidur ini. Semalam aku pulang tengah malam karena berkunjung ke rumah Putri.
Aku berjalan ke dapur mencari sesuatu yang bisa kumakan. Setelah itu mandi dan bersiap-siap untuk pergi lagi. Itulah kebiasaanku setiap hari. Tak mengenal kata beristirahat. Karena beristirahat malah akan membuatku mengenang kisah lalu bersama Cahya. Ah, sungguh sulit aku melupakannya. Kenapa dia pergi tanpa sepatah kata? Membuat alasan bohong pun tak apa asalkan aku punya jawaban kenapa aku ditinggalkan.
Sudah hampir satu bulan aku seperti mayat hidup. Berat badanku turun sampai 3 kg. Banyak orang yang mengenalku bertanya kenapa aku sampai kurusan, simplenya kujawab aku lagi diet. Diet alami, diet makan hati memang paling ampuh untuk menghilangkan lemak.
Sudah hampir tiga jam aku duduk di bangku taman yang sepi untuk mencari inspirasi menulis. Adalah sebuah tawaran yang terpaksa aku terima demi bisa melanjutkan hidup di ibukota. Uang yang ditabung, paling cukup untuk makan, bayar sewa apartemen, dan menyisihkan sedikit untuk orangtuaku. Aku betul-betul iri pada anak muda masa kini yang tabungannya sudah ratusan juta. Sempat bertanya dalam hati, mereka bisnisnya apa? Atau mereka kerja apa?
Saat pikiran sudah buntu, teringat jika hari ini aku belum ngecek sosial media Cahya. Buru-buru kukeluarkan ponselku untuk memantau si mantan. Sebenarnya aku sudah sering mengingatkan diriku sendiri untuk jangan lagi stalking Cahya karena hanya akan buatku susah tidur, tapi tidak bisa. Aku tetap saja mencari namanya di kolom pencarianku.
Jreng
Satu jam lalu Cahya mengupload foto dirinya dan si wanita itu. Lengkap dengan menandai akun wanita itu.
Sebagai orang yang tersakiti, tentu dengan lancar jempolku tahu apa yang harus ia lakukan.
AnnisaNDW
Jumlah postingan hampir seribu. Rata-rata likesnya ratusan ribu.
"Hm, siapa wanita ini. Selebgram kah? Tapi hampir 24 jam aku main sosmed, kenapa aku tidak mengenalnya. Secara, kalau memang dia terkenal harusnya aku familiar dengannya atau akunnya"
Kucari tahu lebih dalam lagi. Oh, pantas saja ia begitu cantik dan bening. Ternyata pemilik beberapa cabang klinik kecantikan.
"Tamatlah riwayatku. Pantas saja aku mudah tersingkir, ternyata sainganku level bidadari dan berduit pula"
Saat ini aku ingin sekali protes pada Tuhan. Karena ia menciptakanku dengan wajah dan keuangan yang pas-pasan. Kenapa diantara dua itu, gak kasih aku salah satu yang lebih. Minimal gak good looking ya good rekening. Atau good looking meskipun gak good rekening.
Back, back, back
Kembali ke postingan Cahya, kubaca komentar orang-orang disana. "Hm, ternyata mereka sudah fitting baju pengantin"
Aku keluar dari sosial media. Aku berdiri, kusimpan laptop dan ponselku. Aku tahu kemana aku harus pergi.
◇◇◇
"Hai Nisa, aku Airish"
Ck, kenapa malah sopan begini sih. Ingat Rish, nih orang yang ngerebut masa depan lo!!!
"Hm, ngapain kesini?"
Ketus amat nih cewek. Kukira good attitude, ternyata nggak ah, masih baik gue.
"Gue datang menemui lo dengan maksud dan tujuan yang baik. Gue mau memberi tahu lo, gue saat ini hamil anaknya Cahya"
"Apa?" Mata Nisa seketika terbelalak menatapku. "Gue gak percaya. Gue tahu lo perempuan nekat. Lo berani ditengah jalan ngamuk-ngamuk sama Cahya, hm lo pikir gue bakal percaya sama kata-kata lo" Sambungnya.
"Lihat fisik gue! Makin hari gue makin kurus. Bayangin aja, laki-laki yang menghamili gue malah akan nikah sama perempuan lain. Jelas gue stres"
Nisa berdiri dan berjalan mondar-mandir dihadapanku. Ia sepertinya mulai terpengaruh dengan kata-kataku.
Aku memberinya waktu untuk mencerna setiap ucapanku. Kalau dia percaya, itu artinya aku menang.
"Lo pergi dari sini!" Usirnya padaku.
Aku sengaja memasang wajah sendu dihadapannya sebelum berlalu, agar ia kepikiran untuk membatalkan pernikahannya. Aku melakukan ini, karena aku tidak terima jika hanya aku yang terluka.
POV Airish End
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments