Pisah Sebentar

POV Airish

Embun perlahan-pahan basahi bumi, nampak satu demi satu manusia kembali pada rutinitasnya. Mereka berjalan, ada pula yang main serobot agar mendapatkan jalan. Kejadian ini setiap pagi menjadi tontonanku dengan ditemani secangkir kopi panas yang telah dingin karena didiamkan.

Ini langit tahu tidak, ya? Apa langit memang mau diam saja membiarkan manusia tumbuh dengan rakus dan serakah? Atau langit ingin manusia sadar dengan sendirinya kalau semakin hari mereka memberi makan egonya sampai kenyang dan saat mereka puas mereka kemudian saling menyalahkan.

"Rish, ngapain pagi-pagi udah duduk di balkon?" Aya memang sudah datang ke apartemenku untuk sekalian mengantarkanku ke bandara. Aku berniat akan pulang sebentar ke kampung halamanku untuk menjenguk orangtuaku disana.

"Udah poopnya?"

"Yee, ditanya malah balik nanya" Aya menjewer hidungku. Aww

"Daripada nungguin kamu depan WC (Water Closet) mending disini. Hawanya sejuk belum banyak polusi" Jawabku.

"Rish, ini aku titip buat keluarga kamu disana!?" Aya mengulurkan sebuah kantong bertuliskan nama tokoh oleh-oleh terkenal yang ternyata ia sembunyikan dariku sejak kedatangannya tadi. Aku memang meminta Aya datang pagi-pagi biar aku punya banyak waktu untuk bersamanya.

"Ini kamu yang beli?" Sambutku dengan heboh. Sebab jarang sekali Aya mau repot-repot beli oleh-oleh untuk keluargaku, paling dia hanya memberiku uang tunai untuk aku beli oleh-oleh sendiri.

"Nggak, dikasih Tuhan" Cebiknya kesal. Kan udah pasti dia beli sendiri.

Aku tertawa. Sepersekian detik aku terdiam. Aya sama diamnya.

Hening

"Rish, kenapa diam?"

Air mataku berlinang. Ini bukan kali pertama aku meninggalkan Aya, tapi selalu saja ada rasa haru kalau aku hendak berpisah darinya. Padahal aku seminggu lagi akan kembali juga kesini.

"Rish, kenapa jadi mewek gitu sih?" Aya menangkup kedua pipiku. Pipi yang mulai memerah karena menahan deraian tangisan hebatku.

"Rish..."

"Diam, aku cuma mau kamu diam. Aku mau lihat kamu lama-lama. Aku pasti bakal rindu kamu disana. Pesan aku, setiap aku telpon harus diangkat sebelum dering ketiga. Kamu gak boleh jauh-jauh dari Hp. Kamu harus sering-sering kirim foto ke aku. Jangan buat aku gila karena rindu kamu!"

Aya menarik dan memelukku dengan sangat erat. Berpelukan dengan Aya selalu jadi momen yang paling aku suka.

Peluk aku, jangan kau lepas, Aya. Aku izin pergi sebentar saja, aku tidak bisa untuk tidak meninggalkanmu. Karena disana masih ada orangtuaku yang juga menyayangiku. Maka dari itu, aku harus adil. Disini ada kamu, tapi disana ada mereka.

"Rish, aku lebih sayang kamu. Aku lebih cinta kamu. Aku bersedia untuk gak jauh-jauh dari Hp. Nanti aku kirim foto Eyang juga biar kamu terhibur disana"

Aku tertawa meski mata ini sudah basah. Kukira hanya aku yang mewek, ternyata Aya juga. Aku merasakan getaran isak tangisnya.

"Aya, peluknya jangan kenceng-kenceng. Aku sesak nih"

"Katanya pelukan aku adalah hal favorit buat kamu" Ucapnya setelah melerai dekapan kami.

"Iya, tapi gak sampe mati juga"

Aya tertawa sembari menghapus jejak basah di pelupuk matanya.

"Seminggu lagi kamu pulang kesini 'kan?"

"Aya, mau berapa kali kamu nanya itu? Iya, seminggu lagi aku balik kesini"

Aya tersenyum meski raut wajahnya masih sedih.

"Ayo, aku bantu kamu siap-siap"

Aya membantuku bersiap. Memasukkan pakaian dan oleh-oleh kedalam koper lalu menyiapkan tiketku agar tak ketinggalan. Sedangkan aku memasukkan berbagai macam perintilan seperti chargeran, earphone, dan termasuk skincare.

Setelah semua beres, aku dan Aya segera berangkat menuju bandar udara Soekarno Hatta. Disana kami berpisah, lagi-lagi aku sedih tapi malu kalau menangis lagi. Itu sebabnya aku minta ia untuk cepat-cepat pergi. Aya nurut tanpa protes. Karena ia sudah tahu bagaimana sifatku.

Di atas pesawat, aku tidak mau memikirkan yang sendu-sendu. Kudengarkan lagu-lagu bertempo cepat untuk mengelabui pikiranku sendiri.

◇◇◇

Jambi, 25 Agustus

Aku sampai dikota kelahiranku. Aku berjalan keluar dari bandara mencari mobil travel yang sudah kupesan. Aku harus menempuh tiga jam perjalanan darat untuk sampai di desa tempat tinggal orangtuaku.

Diperjalanan pulang, aku menon-aktifkan mode pesawat. Aku ingin segera mengabari Aya kalau aku sudah di mobil sekarang. Ternyata malah pesan Aya yang lebih dulu masuk padaku.

Aya➡Aku

"Rish, kangen... Tapi boong hehe

Awas ya kalo mewek baca chat gini doang!

Rish, aku baru kepikiran. Kamu sebelum pergi kok banyak amat titahnya, aku jadi berasa kaya pernah selingkuhin kamu aja. Aku setia, ya!? Mana suka main perempuan🚫 Aku tuh cinta damai sama kamu, aku baik kaya gini aja masih sering kena marah sama kamu, apalagi kalo beneran aku sampe bikin ulah.

Rish, yang cantik diluar sana banyak tapi yang bikin kamu cepet keriput kan cuma aku😉 Maaf gak nyambung😳

Baru sebentar ditinggal kamu, kerjaan aku udah mulai gak beres. Cepet balik ya, biar stabil lagi restoran aku😭"

Aku➡Aya

"Gimana aku bisa sanggup jauh dari kamu. Belum apa-apa aja udah pengen melambaikan tangan ke kamera. Yang sabar ya Aya, 7 hari lagi kita ketemu😚

Buat hati, pikiran, dan badannya Aya, sehat-sehat terus ya!? Harus kerja keras biar gak disepelein orang. Kalo ga punya apa-apa, WA nanya kabar aja bakal dikira mau minjam uang. Pernah ngalamin soalnya wkwkwkwk.

Sayang, aku udah dimobil. tiga jam lagi sampe rumah. Aku mau tiduran aja, biar badan ini gak nekat balik ke Jakarta hehe😆"

Aku memutuskan untuk pejamkan mata meski tidak mengantuk sama sekali. Sudah terlalu nyaman sama Aya aku jadi susah untuk jauh darinya. Aku sudah terbiasa apa-apa dibantu Aya dan sama Aya. Seperti sudah ketergantungan. Tidak-tidak, lebih tepatnya aku kecanduan. Aya memang punya sifat gentleman, kalau bersamanya aku merasa sangat aman. Terus senyumnya juga nyelekit sampai ke hati. Sekali ngomong kadang suka diluar logika tapi ada benarnya juga. Pokoknya, aku cuma mau dia. Gak bisa ke hati yang lain lagi.

Selain dari semua kelebihan itu, ada satu lagi poin penting dari Aya. Yaitu, Aya punya Eyang. Bukan sembarang Eyang. Eyangnya punya kelakuan random yang sering diceritain Aya padaku sampai aku tertawa lepas. Aku sudah pernah kerumah Aya, tapi hanya bertemu papa, kakak laki-lakinya, kakak iparnya, dan Eyangnya saja.

Setiap kali aku bertandang kerumah Aya, mamanya tak pernah ada dirumah. Aku tidak tahu apa kesibukannya. Dan tak pernah bertanya juga pada Aya mamanya kemana. Tapi yang aku tahu, mamanya hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Dari Aya pula aku tahu bahwa beliau orang yang sangat sederhana dan begitu berbakti pada suaminya, atau papanya Aya. Nanti, kalau Tuhan merestui aku jadi istrinya Aya, aku juga mau seperti ibu mertuaku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!