Seorang wanita berjalan bolak balik seraya menggigit jemari mungilnya sambil terus menoleh ke arah ruangan UGD. Setiap orang yang keluar masuk di ruangan itu menjadi fokus baginya.
Mata yang basah dan pakaian yang berlumuran darah tidak ia pedulikan. Air mata itu terus mengalir seakan tanpa henti. Dalam hatinya tak pernah berhenti memanjatkan do'a untuk keselamatan putranya itu.
"Dek, kamu yang tenang dulu," ujar Dika menepuk pelan pundak Lila hingga membuyarkan lamunannya.
"Lila nggak bisa tenang, Bang," ucap Lila lirih dan seketika menangis meluapkan kesedihannya. Sejak tadi ia berusaha tegar walaupun ia tak bisa menghentikan air matanya, namun ia gagal. Tangisannya pecah dalam pelukan sang kakak.
Dari ujung lorong seorang pria berlari dengan tergesa-gesa. Saat melihat Lila dan Dika ia mempercepat langkahnya dan berlari menghampiri kakak beradik beda ibu itu.
"Bagaimana kondisi Amat?" tanya Ashraf dengan napas yang menggebu-gebu. Ia sedang meeting tadi namun langsung dibatalkannya ketika Dika menghubunginya memberitahukan Amat mengalami kecelakaan.
"Dokter masih memeriksanya di dalam." Dika yang menjawab sebab Lila masih menangis.
Pintu UGD terbuka dan seorang pria berpakaian putih mengenakan masker keluar menghampiri Lila dan lainnya.
"Dokter, bagaimana putra saya?" tanya Lila dengan cepat sambil terisak.
"Pasien kehilangan banyak sekali darah dan kami tidak memiliki stok darah AB- sebab sangat langka. Apakah dari keluarga pasien ada yang memiliki darah AB-?" tanya dokter.
Bagai tersambar petir di siang bolong, tulang kaki Lila terasa lunglai membuatnya terduduk di lantai.
Darahnya tak sama dengan Amat. Salah satu kemungkinannya adalah darah dari sang ayah. Tapi bagaimana ia bisa mendapatkan itu, bahkan ayahnya saja Lila tak tahu.
"Ambil darah saya, Dok. Saya golongan AB-," jawab Ashraf membuat Lila spontan menoleh kepadanya dan bangkit kembali melihat secercah harapan.
Sudah 3 jam berlalu sejak Ashraf masuk ke dalam ruangan mendonorkan darah untuk Amat. Saat ini di depan ruangan sudah ada beberapa orang. Di antaranya ada Jimmy, orang tua Ashraf dan Jeni.
Lila duduk di antara Jeni dan Bunda. Ia sudah berganti baju tadi saat Jeni datang membawakan pakaian ganti untuknya.
Suasananya hening, tak ada yang bersuara. Semua sibuk dengan lamunannya masing-masing. Berdoa dalam hati untuk keselamatan Amat.
Pintu ruangan kembali terbuka namun kali ini sang dokter tidak lagi mengenakan masker tanda telah selesai melakukan penanganan terhadap Amat.
"Bagaimana, Dok?"
Sang dokter diserang dengan satu pertanyaan oleh beberapa orang secara bersamaan yang menunggu di depan.
"Saya memiliki kabar baik dan kabar buruk. Saya harap keluarga pasien dapat tabah dengan kabar yang akan saya berikan." Sang dokter berkata dengan sangat berhati-hati.
"Kabar baiknya adalah kondisi pasien telah selamat. Ia berhasil melewati masa kritis dan kelumpuhan dalam otaknya telah sembuh," lanjut sang dokter.
"Apa maksud dari sembuh? Putra saya penderita cerebral palsy dan itu adalah penyanyi seumur hidup," tanya Lila tak mengerti.
"Saya tahu Ibu terkejut dan tidak percaya akan kesembuhan ini. Saya pun begitu. Namun keadaan pasien kali ini akan menjadi rekor dalam dunia medis khususnya kelumpuhan otak. Pada umumnya orang yang menderita kelumpuhan otak atau cerebral palsy tidak akan sembuh. Namun berbeda dengan kasus pasien saat ini. Dikarenakan benturan yang sangat keras di kepala membuat kelumpuhan itu hilang sepenuhnya. Dan untungnya usia pasien masih sangat dini jadi tulang-tulangnya masih dapat terbentuk kembali dengan normal. Jadi dengan kata lain pasien akan kembali hidup dengan normal bebas dari cerebral palsy." Dokter menjelaskan semuanya dengan semangat. Ia merasa sangat beruntung menangani pasien kali ini sebab dapat membuat sebuah harapan kecil untuk penderita lumpuh otak yang lain.
"Lalu bagaimana dengan kabar buruknya?" tanya Dika.
"Kabar buruknya adalah saat ini pasien memasuki keadaan koma. Semua keadaan tubuhnya sudah memasuki normal. Namun besar kemungkinan akibat sembuhnya kelumpuhan pada otaknya itu membuatnya tak bisa sadar. Namun pasien pasti akan sadar. Hanya saja tak tahu kapan itu akan terjadi. Mungkin 1 minggu, 1 bulan, atau bahkan 1 tahun. Kami memperkirakan waktu yang dibutuhkan otaknya untuk dapat beradaptasi paling lama adalah 1 tahun."
"Koma ...?" Lila tak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Kabar putranya yang sembuh dari penyakit seumur hidup saja masih berusaha ia cerna. Sekarang mendapati kabar Amat koma, kondisi yang tidak tahu kapan akan bangunnya.
"Jadi maksudnya cucu saya tidak kenapa-kenapa 'kan, Dok?" tanya Jeni.
"kalau melihat keseluruhan, pasien saat ini dalam kondisi baik. Singkatnya pasien akan bangun dengan kelumpuhan yang sepenuhnya hilang. Paling lama dia akan bangun dalam waktu satu tahun. Namun tidak menutup kemungkinan ia akan bangun lebih cepat dari itu. Anak ini spesial."
*
Di lain tempat. Seorang wanita blasteran Amerika-Indonesia sedang duduk di balik kemudi. Sudah beberapa jam ia duduk menatap kosong ke depan.
Ia masih memikirkan anak kecil yang ia tabrak tadi. Disebabkan rasa takut dan panik yang besar membuatnya kalang kabut menginjak gas dan berakhir di tempat sepi saat ini.
Mobilnya yang berwarna ungu saat ini sudah bercampur dengan percikan warna merah.
Adegan seorang anak yang memegang anak kucing berlumuran darah saat ini berputar dalam benak wanita itu. Tiba-tiba terdengar bunyi dering telepon membuyarkan lamunannya.
"Halo, Sis, lo di mana? Dari tadi gue cariin." Sebuah suara terdengar tepat setelah wanita itu menggeser ikon berwarna hijau dan menyalakan speaker.
"A-Aku ... aku habis tabrak orang," jawab wanita itu dengan suara yang tergagap.
"What! Lo jangan bercanda, Siska!" pekik suara di seberang telepon.
"Gimana sekarang? Aku takut," cicit wanita yang bernama Siska itu.
"Serius, Sis? Sekarang lo shareloc gue ke situ." Telepon berakhir setelah itu.
*
Beberapa hari kemudian. Di sebuah rumah sakit yang sangat besar, saat ini Lila sedang berjalan menyusuri lorong dengan menenteng kopi yang ia beli dalam perjalanan.
Setelah membuka pintu ruang rawat VIP, terlihat seorang pria sedang duduk sambil memegang tangan mungil malaikat kecil itu. Kepala pria itu berada di atas kasur. Saat mendekat Lila melihat ternyata Ashraf sedang tidur.
Lila tersenyum melihat kehangatan itu. Ia menjadi semakin yakin untuk menerima Ashraf sebagai ayah sambung untuk Amat. Walaupun memang itu yang menjadi alasan sebelumnya menerima ajakan menikah Ashraf. Semuanya hanya demi Amat. Ia yakin cinta perlahan-lahan akan tumbuh di antara keduanya nanti.
Pernikahan mereka tunda hingga Amat bangun dan sadar nanti. Mereka selalu bergantian menjaga Amat. Dan ia sangat tersentuh melihat Ashraf yang selalu menyempatkan datang. Padahal Lila tahu sebanyak apa pekerjaan Ashraf waktu ia menjadi asistennya.
Lila mengelus kepala Amat dan mencium kening putranya itu. Kemudian ia melihat wajah Ashraf yang tertidur. Wajah yang sangat tenang dan damai.
"Benar-benar ganteng." Lila secara tak sadar mengelus kepala Ashraf.
Merasa tidurnya terusik, Ashraf membuka matanya dan Lila secara spontan menarik tanganya.
"Bapak sudah bangun. Di mana Bang Dika?" tanya Lila berpura-pura.
"Tadi bilang membeli sarapan," jawab Ashraf dengan suara khas orang baru bangun tidur. "Dan berapa kali saya bilang untuk berhenti memanggilku bapak. Kau bisa memanggil namaku langsung atau ... Sayang?"
Blush ...
Pipi Lila merona seperti kepiting rebus. "Pe-pergilah mencuci muka sana. Aku bawa kopi untuk kalian," ucap Lila membuang muka menyembunyikan rasa malunya.
Ashraf tertawa dalam hati sangat puas dan berjalan memasuki kamar mandi yang ada dalam ruangan itu. Dua hari pasca Amat kecelakaan, Lila terus saja diam dan selalu menangis diam-diam. Ashraf melihat itu dan berusaha mengalihkan kesedihan Lila dengan menggodanya dan itu berhasil. Senyum Lila perlahan kembali dan ia sudah tidak lagi menangis diam-diam saat ini.
Tak lama terdengar suara ketukan pintu.
"Masuk," sahut Lila.
"Selamat pagi ... saya mau lakukan pemeriksaan pagi ya ..." ucap sang perawat sambil tersenyum ramah.
"Silakan." Lila menggeser tubuhnya berpindah ke sisi ranjang yang lain. Gadis mengingat perawat yang satu ini, dia adalah salah satu perawat yang menangani Amat waktu di UGD.
"Amat beruntung ya ...? Dia punya ibu dan ayah yang sangat peduli padanya," kata sang perawat berbasa-basi.
"Ayah ...?"
"Ya ayah. Tuan Ashraf adalah ayah dari Amat bukan?"
*
*
_bersambung_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Muthy
lanjuttt❤🔥
2023-08-26
0