Eps 02.
Sang surya menyinari bumi tepat berada di tengah. Panas terik membuat siapa pun yang terkena akan menyipitkan mata dan mengerutkan dahi. Namun tak akan menghentikan kegiatan yang mereka lakukan. Terutama untuk pencari nafkah keluarga.
Tak terkecuali sebuah danau yang berada di tengah kota juga ikut terkena pancaran sinar tersebut. Namun orang menghindari panas itu dengan berteduh di bawah bayangan pohon-pohon yang mengelilingi danau. Salah satunya seorang gadis yang sedang mengayunkan kuasnya memberi tinta pada selembar kertas di hadapannya. Ralat, wanita. Sebab ia telah direnggut kegadisannya beberapa waktu lalu.
Saat ini dia sedang menikmati hari liburnya di danau dengan melakukan kegiatan yang sering dilakukan bersama sang ibu waktu semasa hidup.
14 tahun lalu di tempat yang sama…
"Lila sayang jangan lari-lari, Nak … nanti jatuh."
"Mama ayo lukis Lila, Ma," pinta Lila yang masih berumur 5 tahun dengan semangat.
"Iya, Sayang," jawab Mama Lila sambil tersenyum.
"Lila sayang, kita makan dulu yuk," ajak Tom yang sedari tadi duduk memperhatikan dua perempuan berharga dalam hidupnya.
"Siap, Pa," jawab Lila dengan antusias.
Keluarga kecil itu kemudian menyantap bekal yang mereka bawa dari rumah. Setelah selesai makan, Lila meminta izin untuk bermain dengan pantomim yang berada dekat dengan mereka. Saat sedang asyik menonton pantomim, Lila menoleh dan melihat Tom, Papanya sedang menepuk-nepuk pipi sang ibu yang tak sadarkan diri di pangkuannya. Lila yang melihat itu kemudian berlari menghampiri kedua orang tuanya.
"Pa … Mama kenapa…?" tanya Lila dengan polos.
"Mama kamu sakit, Sayang. Kita bawa dia ke dokter yah," ucap Tom berusaha tetap tenang di hadapan putri kecilnya.
Mama Lila dirawat di rumah sakit dan tak pernah kembali lagi ke rumah. Dua tahun kemudian Mama Lila dinyatakan telah meninggal dunia.
Mental Lila yang masih kecil menjadi terpuruk dan semakin jatuh kala sang ayah membawa pulang istri dan anak barunya selang 1 minggu kematian sang ibu.
Lila yang mengingat kematian ibunya itu hatinya menjadi teriris. Tiba-tiba ia merasakan isi perutnya bergejolak memaksa untuk keluar. Gadis itu berlari menuju toilet umum di danau yang kebetulan berada tak jauh darinya. Ia mengeluarkan seluruh isi perutnya baik itu sarapan tadi pagi maupun makan siang yang baru 15 menit lalu ia santap.
Setelah isi perutnya habis, Lila keluar dengan wajah pucat dan berjalan kembali ke tempatnya semula. Seorang pedagang jajanan manis yang ia lewati menegurnya.
"Pucat amat, Neng mukanya. Pulang aja kalau sakit. Ntar kenapa-kenapa kalau dipaksakan."
*
"Habis keluyuran dari mana lagi kamu! Waktu itu juga kamu nggak jawab kamu tidur di mana! Pekerjaan kotor apa yang telah kamu lakukan sama wanita parasit itu sebenarnya!" hardik seorang pria paruh baya dengan rambut yang telah memutih. Tom namanya, dia adalah ayah kandung Lila. Hubungannya dengan sang putri memang sudah merenggang sejak istri pertamanya tiada.
Lila hanya berlalu tanpa menghiraukan sang ayah. Dia benar-benar malas menanggapi pertanyaan itu. Ketika baru saja menginjak anak tangga pertama, Lila kembali mual. Alhasil dia memilih untuk berlari menuju kamar mandi yang ada di bawah sebab kamarnya masih harus menaiki tangga sedangkan ia sudah berada di ujung tanduk.
"Lila!" teriak Tom memanggil sang putri sebab diabaikan.
"Mas, kayaknya ada yang aneh deh sama Lila," ujar seorang wanita paruh baya bertubuh tinggi dengan rambut yang dikonde. Jeni, istri kedua Tom sekaligus ibu tiri Lila mengernyit melihat Lila yang wajahnya pucat pasi. Ia menghawatirkan putri sahabatnya itu sedang sakit.
"Sudah, Ma biarin aja. Dia pasti cuma pura-pura," sanggah Tom. Jeni tak mendengar itu dan memilih pergi menyusul Lila.
Saat memasuki kamar yang dimasuki oleh Lila tadi ia menjadi terkejut sebab Lila sedang muntah-muntah di kamar mandi. Dengan cepat Jeni menghampiri Lila dan membantunya menggosok punggung.
Setelah muntah yang hanya air itu, Lila memindahkan tangan Jeni yang masih memegang pundaknya. "Gue nggak papa. Nggak usah peduliin gue," ucap Lila datar dengan suara yang lemah. Ia telah kehabisan tenaganya sekarang.
"Kamu sakit, Nak. Mama panggilin dokter ya," usul Jeni tak menghiraukan sikap Lila yang dingin padanya. Ia sudah biasa dengan perlakuan seperti itu dan tak pernah marah sebab mengerti jika Lila seperti itu akibat kedatangannya menggantikan ibu kandung Lila.
"Lo bukan mama gue. Dan nggak akan pernah bisa gantiin posisi mama," balas Lila ketus. Ia sebenarnya tak membenci Jeni sebab tahu sejak awal perlakuan dan perhatiannya itu tulus. Namun ia tak bisa melawan egonya yang tinggi.
"Lila, yang sopan kamu! Dia mama kamu juga!" bentak Tom yang berdiri di ambang pintu. Ia juga khawatir pada putrinya itu sebab bagaimanapun juga Lila adalah anak kandungnya. Namun ia tak suka dengan perlakuan Lila kepada Jeni yang tak pernah menerimanya.
Lila mencebikkan bibirnya dan menatap malas papanya itu. Ia kemudian tiba-tiba merasa mual lagi dan kembali berusaha mengeluarkan isi perutnya.
Hoek ... hoek ...
"Mas panggilin dokter cepat!" pinta Jeni kembali menggosok punggung Lila. Tom tersentak dan berlari mencari ponselnya untuk menghubungi dokter.
*
"Nona Lila hamil dan usia kandungannya sudah memasuki 2 minggu."
Bagai mendengar putusan sidang hukuman mati, Tom dan Jeni diam tak berkutik. Wajah keduanya menjadi pucat tak percaya dengan diagnosa dokter terutama Tom. Pria itu kini wajahnya menjadi merah menahan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun.
"Tubuh pasien saat ini sangat lemah. Saya akan memberikan vitamin dan juga pereda mual tapi tetap jangan lupa untuk membawanya ke dokter kandungan untuk lebih pastinya," imbuh sang dokter paham apa yang terjadi. Ia sudah menjadi dokter keluarga itu selama bertahun-tahun dan tak pernah mendengar berita pernikahan. Firasatnya mengatakan bahwa Lila telah hamil di luar nikah melihat reaksi sang ayah yang terkejut.
"Terima kasih, Dok. Mari saya antar ke depan," balas Jeni dan pergi meninggalkan Tom yang masih berdiri.
*
"Anak siapa itu?" Suara dingin Tom menyambut Lila yang baru saja bangun.
Lila mengernyit tak mengerti dengan pertanyaan sang ayah namun beberapa detik kemudian ia mulai mendapatkan jawabannya di kepala.
Lila diam tak menjawab. Dia sedang melamun mengingat tragedi yang menimpanya. Dimulai dari keluarga yang tak lagi harmonis sejak 12 tahun lalu, sahabat yang justru menikam dari belakang, diselingkuhi kekasih, dan sekarang ia harus menerima kenyataan telah mengandung benih dari orang yang tak ia ketahui siapa. Lila terhanyut dalam pikirannya mengabaikan Tom membuat pria paruh baya itu semakin naik pitam.
"Laki-laki mana yang sudah menghamili kamu?!" bentak Tom kembali menanyakan ayah dari anak yang dikandung putrinya.
"Lila nggak tahu Pa!" teriak Lila frustasi.
PLAK! PLAK!
Tamparan keras berhasil mendarat di pipi mulus Lila dua kali berturut-turut meninggalkan jejak kemerahan. Gadis itu memegangi pipinya seraya melayangkan tatapan tajam kepada Tom.
"Buat malu keluarga saja kamu!" hina Tom. Pria paruh baya itu sebenarnya dalam hati sedang menangis sebab merasa gagal telah mendidik putrinya.
Jeni datang setengah berlari sebab mendengar suara tamparan yang keras. Ia pun meminta Tom untuk keluar dan memenangkan dirinya.
Setelah kepergian Tom dan Jeni, Lila bangkit dari tidurnya dan duduk sambil memeluk kaki. Isakan tangis perlahan terdengar semakin jelas. Tubuhnya bergetar berusaha menahan agar suaranya tak sampai keluar.
Tiba-tiba pintu dibuka oleh Jeni membuat gadis itu segera menarik selimut besarnya menutupi hingga kepala. Ia menghapus air matanya dengan kasar tak ingin memperlihatkan sisi lemahnya.
"Kamu nggak perlu nutupin. Mama tau kok," tutur Jeni lembut membuka selimut Lila hingga menampilkan wajah yang telah basah dengan mata yang memerah itu.
Jeni menarik tubuh Lila ke dalam pelukannya dan mengusap punggung gadis itu perlahan membuatnya semakin emosional namun dengan sekuat tenaga menahannya. Jeni menyadari itu sebab tubuh Lila terasa bergetar.
"Kamu nggak perlu pura-pura kuat. Keluarkan saja semuanya," bisik Jeni.
Seketika tangisan Lila pecah. Ia sudah tak bisa lagi menahan itu dan memilih untuk menumpahkan semua emosi yang ia pendam. Jeni yang mendengar tangisan pilu itu juga ikut menangis.
"Kamu benar-benar nggak tahu siapa ayah dari anak ini?" tanya Jeni setelah Lila sudah mulai tenang. Lila hanya membalas dengan gelengan pelan.
"Yaudah kamu istrahat dulu ya. Kasian nanti bayi kamu kalau sampai kamu kenapa-napa," lanjut Jeni menarik selimut menutupi Lila hingga ke leher dan berbalik hendak pergi.
"Maaf ..." lirih Lila dengan suara kecil.
*
*
_bersambung_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Muthy
tetap semangat up
2023-08-26
0