SURO

SURO

Sentuhan

"Nasyifa Agatha?"

Seorang guru muda dan cantik memanggil nama yang tertera di buku yang ia baca, lalu melirik sekitar, menantikan siapa yang akan maju ke depan kelas.

Wanita berbadan buntal maju ke depan kelas dan duduk tepat di hadapannya. Bu guru mengambil sebuah buku dan membukanya, menjelaskan sesuatu yang hanya bisa di dengar oleh mereka berdua.

Setelah bercengkrama cukup lama, Bu guru mempersilakan wanita itu keluar lalu memanggil nama berikutnya.

Keringat mengalir melalui pelipis, aku menyekanya dengan tangan yang gemetaran. Aku merasa gusar, melihat ke arah pintu kelas, berharap kalau orang tuaku pun akan datang untuk mengambil rapor seperti teman-teman ku yang lain.

Tapi, semakin dekat abjad namaku di panggil, aku seolah merasa semakin kehilangan harapan. Tidak akan ada yang mengambil raporku, sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Aku menunduk lesu, ketika Bu guru mulai memanggil namaku.

"Suro??" ujarnya sambil menatapku. Orang tua teman-teman ku menoleh. Pasalnya, hanya aku saja, seorang murid yang mengambil raportnya sendirian, dan bergabung bersama dengan orang tua teman-teman ku yang lain.

Aku beranjak dari tempat duduk, berjalan kaku dari meja belakang sampai ke pertengahan. Aku menarik kursi di depan Bu guru, bersiap untuk duduk.

"Maaf, Bu! Saya terlambat!!" sebuah suara yang ku kenal datang. Aku menoleh cepat, mendapati bibi datang tergopoh sambil berlari ke arahku.

Ia duduk di depan Bu guru, lalu mengusap kepalaku sambil berbisik. "Tunggu di depan pintu."

Aku menurut, menunggunya di depan pintu. Aku merasa lega sekali karena bibi datang, setidaknya aku punya wali untuk mengambilkan ku rapor, tidak seperti sebelum-sebelumnya.

Meskipun sebenarnya aku merasa kecewa, karena orang tuaku, tidak pernah sekalipun datang ke acara sepenting ini. Biasanya pun bibi di larang untuk datang, tapi kali ini mungkin bibi bersikeras meminta izin untuk datang.

Bibi mendapat tepuk tangan usai rapor di bagikan. Seperti biasa, aku mendapatkan ranking satu di kelas. Bibi terlihat senang dan bangga, terus melambaikan tangan dan tersenyum ke arahku.

Ia keluar dengan wajah yang berbinar, dengan sebuah buku rapor yang ia peluk. Ia menatapku dengan bangga, seolah aku adalah sesuatu yang begitu berharga baginya.

"Tuan, kamu dapat peringkat satu!! Ya Allah, bibi seneng banget!! Baru kali ini bibi ambil rapot, tapi di kasih tepuk tangan sama orang tua yang lain, karena kamu ini anak pinter. Biasanya mah, bibi kalau ambil rapot anak bibi, gak pernah dapat ranking. Dia juga anaknya bandel banget. Jadi ini pertama kalinya bibi bisa ngerasain ambil rapot anak pintar! Jadi rasanya begini ya!" serunya senang, dengan senyum yang tiada habisnya.

Aku tersenyum tipis sambil menatap bibi. Tapi setidaknya, anak bibi bisa merasakan rapornya di ambil orang tua sendiri, tidak seperti ku. Aku, jadi iri dengan anak bibi.

"Liat nih tuan, nilai tuan bagus bagus. Ya Allah, seneng banget bibi liatnya. Nilainya besar semua." ujar bibi sambil sibuk memperhatikan raporku.

Aku menghela napas panjang, mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menemukan hal menarik yang ada di dekatku.

"Kali ini gak dapat peringkat lagi." ucap seorang ibu sambil tersenyum pada Fanya, teman satu kelasku.

Fanya hanya menunduk takut, tak berani menatap wajah ibunya. "Maafin Fanya, ma. Fanya gak bisa masuk sepuluh besar kayak yang mama mau." gumamnya ragu.

Ibunya tersenyum, mengusap rambut Fanya yang terkuncir dua dengan lembut. "Gak apa-apa anakku! Gak apa-apa gak dapat sepuluh besar, tapi kamu kan seenggaknya udah berusaha sekuat tenaga. Mama bangga loh sama kamu.. Nilai kamu lebih tinggi dari tahun kemarin."

Fanya mulai berani mengangkat kepala dan menatap ibunya. "Beneran gak apa-apa, Ma?"

"Udah gak apa-apa!! Hari ini mama dan papa ajak kamu makan di luar, ya. Kamu mau kemana??"

Aku terbelalak kala mendengarnya.

"Yeay!! Mau main perosotan sambil makan ayam!!" pekik Fanya riang, sambil memeluk ibunya.

Bibi yang sejak tadi mengomel tentang isi rapor ku, kini terdiam dan menatap arah mataku. Senyumnya seketika hilang, saat menyadari apa yang sedang ku pandang.

"Ehe, tuan.. Abis ini mau kemana? Bibi antar ya pake taksi." tawarnya dengan ragu.

Aku melirik bibi lalu kembali menatap teman sekelasku yang mulai pergi. "Bi, emangnya boleh ya, sedekat itu sama ibu? Bukannya ras Dicth'anhm, tidak boleh kayak gitu?"

Perkataanku membuat bibi terkesiap, wajahnya seketika berubah namun ia tak mampu menjawab pertanyaan yang ku lontarkan.

Di dalam taksi, bibi terus mengajakku bicara. Agaknya ia berusaha menghibur karena tak mau aku merasa sedih karena perihal tadi.

"Bibi hari ini masak menu kesukaan, tuan. Tahu masak sambal. Tuan suka, kan??" tanyanya riang.

Aku tak mengalihkan pandangan dari jendela mobil. "Mama ikut makan?" tanyaku singkat, membuat bibi terdiam sesaat.

"T.. Tuan mau makan bareng mama?"

Kini aku menoleh ke arahnya. "Boleh, kan? Bibi bisa ngomong sama mama, kan?"

Bibi lagi-lagi terdiam. Ia seolah kesulitan untuk menjawab, karena ini semua di luar kendalinya. "Bibi usahain, ya." sahutnya.

.........

Aku melirik ke jam yang ada di dinding, lalu mencabik-cabik tahu yang ada di piringku dengan sendok dan garpu. Sudah hampir setengah jam bibi pergi untuk bicara dengan mama, tapi bibi tak kunjung kembali.

Sesusah itu kah makan bersama mama? Padahal, hanya sekedar makan bersama saja, kan?? Lagipula aku bukan orang asing, tapi kenapa aku sulit sekali untuk bertemu dengan mama di rumah sendiri. Aku sungguh benci aturan yang dibuat untuk ras Dicth'anhm.

Aku beranjak dari tempat duduk, meletakkan sendokku dan hendak berlalu. Ketika aku berada di ambang pintu, bibi datang bersama mama. Aku terkesiap hingga mataku terbuka lebar.

Akhirnya!! Akhirnya aku bisa bertemu dengan mama setelah sekian lama. Rasanya benar-benar tak percaya. Tanpa sadar kakiku melangkah cepat. Aku berlari ke arah mama, aku ingin sekali berada di dekatnya. Benar-benar ingin bersama mama.

Saat aku hendak mendekapnya, tiba-tiba saja mama menjauh dan mundur ke belakang bibi. Kakiku terhenti kala melihat penolakan darinya.

Ia bersembunyi, seolah aku adalah hal yang menakutkan baginya.

Kenapa sih?? Kenapa memangnya? Kenapa mama harus menghindar setiap kali bertemu denganku?? Kenapa? Kenapa ada aturan seaneh itu?

"Mama?!" aku menyapa sambil menatapnya. Baik mama maupun bibi terkejut ketika mendengar suaraku.

Mama tampak ketakutan. Bibirnya bergetar dan sesekali ia mencuri pandang menatapku. Ia masih menyembunyikan tubuhnya di belakang bibi, dan jujur.. Itu membuatku merasa di campakkan!

"Mama, ayo kita makan bersama! Tadi Suro dapat peringkat pertama di sekolah. Temen Suro makan bersama ibunya, Suro juga mau! Gak apa-apa kok ras Dicth'anhm bercengkerama bersama keluarganya." ucapku gemetaran, dengan cepat dan napas yang berderu kencang. Aku berbicara setengah teriak, karena baru kali ini aku bisa mengatakan sesuatu kepada mama.

Mama menarik tangan bibi, seolah memberi isyarat yang tak ku ketahui. Bibi langsung menoleh sekelabat ke arahnya, mengangguk takut lalu menatapku dengan wajah yang sendu. "Maaf ya, tuan. Kan bibi udah pernah bilang, kalau mau ngomong sesuatu ke mama, lewat bibi dulu. Baru bibi bisa sampaikan ke mama. Tuan udah tau itu kan? Selama ini juga selalu begitu, kan? Tuan tau aturannya." ucap bibi sambil menatapku dengan sorot mata yang seolah menyampaikan permintaan maaf padaku secara tidak langsung.

Aku diam. Aku sangat paham hal itu. Tapi.. Tak bisakah aku dekat dengan mamaku sendiri? Tak bisakah aku berbicara kepadanya sendiri?? Kenapa harus melalui bibi?? Aku sendiri bisa mengatakannya, kenapa harus begitu??

Fanya... Tidak begitu kepada mamanya...

"Aku gak bisu, bi. Kenapa harus pakai pesan berantai kalau aku sendiri bisa ngomongnya ke mama." protesku, membuat bibi menoleh panik ke arah mama, seolah memeriksa respon apa yang di berikan mama.

Mama memicing, menatap sinis ke arah bibi. Sekejap setelah itu, bibi langsung menarik tanganku untuk menuju meja makan. Mama masih mematung di tempat, tak bergerak sedikitpun untuk menuju ke meja makan.

Aku berhenti, berbalik dan menatap ke arah mama. Sejujurnya baru kali ini aku melakukannya, aku.. Hanya ingin di dengarkan dan hargai oleh mama.

"Sesulit itu kah ketemu dan ngomong sama mama?" ucapku sambil menatapnya, membuat bibi panik dan segera menarik tanganku lagi.

"Emangnya Suro salah apa ke mama? Kenapa mama gak pernah mau ngomong ke Suro? Kenapa semuanya harus di sampaikan ke bibi? Apa mama gak mau denger suara Suro?? Kenapa harus ada aturan itu?" lanjutku.

Bibi bersikeras menarikku. "Tuan, aduh.. Tuan. Jangan ngomong begitu, udah.. Ayo kita ke meja makan. Biar bibi temenin."

"Gak mau, bi! Mama harus jawab dulu! Selama ini Suro pikir, anak itu emang gak boleh ngomong ke orang tuanya. Harus pake perantara dulu. Tapi, setelah ngeliat temen-temen Suro.. Gak ada hal yang kayak gitu. Gak ada perantara untuk ngomong ke ibunya. Gak ada larangan untuk makan bersama ibunya. Gak ada pantangan untuk menyentuh atau satu ruangan sama ibunya. Ternyata yang berbeda itu cuma Suro, di luar sana, anaknya dekat dengan mamanya. Benar begitu kan?! Itu bukan aturan mutlak ras Dicth'anhm, kan?"

Mama terdiam. Wajahnya memerah dan matanya terbelalak. Ia seolah tak menyangka kalau perkataan pertamaku padanya bisa seperti itu.

Aku berjalan cepat ke arahnya, membuat bibi panik dan berusaha mengejar ku. Aku langsung menarik tangan mama, membuat mama terkesiap takut dan berusaha menampiknya.

Bibi langsung menangkapku, berusaha menjauhkan ku dari mama. Tapi aku tak bergeming, aku terus menarik tangan mama dan melawan mereka berdua.

Mama hampir terjatuh dan bibi terseret di lantai ketika berusaha menghentikan ku. Mama tampak takut ketika aku mendapati tangannya.

Aku hendak mengeluarkan suara, membuat mama memejamkan mata dengan kuat, seolah aku ingin menghabisinya.

Ternyata... Aku semenakutkan itu bagi mama? Ia bahkan tak menatapku dalam jarak sedekat ini, padahal ini kali pertama aku berjarak sangat dekat dengannya.

Aku melemah, tak lagi menggenggam tangannya dengan kuat. Ku letakkan telapak tangan mama ke atas kepalaku, membuat mama membuka mata karena merasakan rambutku.

Aku menunduk, tubuhku gemetaran entah karena senang atau karena kecewa. Aku meringis, menahan air mataku yang hendak jatuh.

Ada perasaan lain, ketika mama menyentuhku. Ada kehangatan yang tak ku dapatkan dari tangan bibi.

Tanganku benar-benar bergetar dengan kuat, sampai-sampai tangan mama pun ikut merasakan getarannya.

"Ternyata... Begini.." gumamku, membuat bibi dan mama mengernyit. "Ternyata begini, rasanya di sayang seorang ibu?" ucapku sambil menggerakkan tangan mama untuk mengusal rambutku sendiri. Bibi menutup wajahnya, menggerung tangis ketika melihatnya.

Tiba-tiba saja, mama menarik tangannya lagi. Aku tersentak dan menatap wajahnya. "Bukannya tadi permintaan kamu hanya makan siang bersama?" tanya mama, dan aku merasa senang karena pertama kali di dalam hidupku mendengar suara mama. "Waktu makan siangnya, udah selesai." lanjutnya sambil berbalik dan meninggalkanku dengan cepat.

Aku terdiam, mematung sambil menatap punggung mama. Aku terdiam cukup lama. Sesingkat itu, tapi rasanya.. ini seperti selamanya.

Aku sudah menyimpan memori suara mama di kepalaku, dan akan selalu ku ulang setiap hari di dalam hatiku. Kalau ternyata.. Suara dan sentuhan mama sehangat itu, meskipun hanya sebentar.. Tapi, aku benar-benar bahagia sekarang.

Bibi beranjak, membuat mama menoleh ke arahnya. "Dan bibi, hari ini... Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu. Aku tunggu di ruanganku."

Aku terkejut mendengar ucapan mama. Mataku langsung menoleh ke arah bibi, ia menunduk lesu. Apakah karena perbuatan ku, bibi jadi menanggung semuanya?

Tapi, apa yang akan di lakukan oleh mama pada bibi?

"Tuan, bibi pamit dulu ya." ucapnya sambil tersenyum sendu. Seolah itu adalah ucapan terakhir yang hendak ia katakan padaku.

"Bi.. Bibi mau kemana? Bi?" bodyguard mama langsung menghalauku. Beberapa orang dari mereka pun menarik bibi hingga terjatuh.

"Hei!! Jangan lakuin itu ke bibi!!" bentakku.

"Udah tuan, karena tuan.. Bibi dalam masalah sekarang." ucap salah satu bodyguard mama, pak Saipul.

Masalah apa memangnya??

Bersambung...

Terpopuler

Comments

kaptain

kaptain

kenapa ga di lanjutin cerita run?

2023-12-18

0

Ernii Aliya

Ernii Aliya

maaf othor kesayangan ku,,aku baru tau ada karya barumu,, masyaallah,,udh ketinggalan jauh ini😊😊😊,,tp gpp pokok na aku seneng

2023-10-11

0

unknown

unknown

run adalah novel terakhir yg di baca abis ituu nggk ernah buka novel toon lgi ehh pas tau kak Rima bikin cerita baru sen3nggg bgtttttt😭😭

2023-09-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!