"Nasyifa Agatha?"
Seorang guru muda dan cantik memanggil nama yang tertera di buku yang ia baca, lalu melirik sekitar, menantikan siapa yang akan maju ke depan kelas.
Wanita berbadan buntal maju ke depan kelas dan duduk tepat di hadapannya. Bu guru mengambil sebuah buku dan membukanya, menjelaskan sesuatu yang hanya bisa di dengar oleh mereka berdua.
Setelah bercengkrama cukup lama, Bu guru mempersilakan wanita itu keluar lalu memanggil nama berikutnya.
Keringat mengalir melalui pelipis, aku menyekanya dengan tangan yang gemetaran. Aku merasa gusar, melihat ke arah pintu kelas, berharap kalau orang tuaku pun akan datang untuk mengambil rapor seperti teman-teman ku yang lain.
Tapi, semakin dekat abjad namaku di panggil, aku seolah merasa semakin kehilangan harapan. Tidak akan ada yang mengambil raporku, sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Aku menunduk lesu, ketika Bu guru mulai memanggil namaku.
"Suro??" ujarnya sambil menatapku. Orang tua teman-teman ku menoleh. Pasalnya, hanya aku saja, seorang murid yang mengambil raportnya sendirian, dan bergabung bersama dengan orang tua teman-teman ku yang lain.
Aku beranjak dari tempat duduk, berjalan kaku dari meja belakang sampai ke pertengahan. Aku menarik kursi di depan Bu guru, bersiap untuk duduk.
"Maaf, Bu! Saya terlambat!!" sebuah suara yang ku kenal datang. Aku menoleh cepat, mendapati bibi datang tergopoh sambil berlari ke arahku.
Ia duduk di depan Bu guru, lalu mengusap kepalaku sambil berbisik. "Tunggu di depan pintu."
Aku menurut, menunggunya di depan pintu. Aku merasa lega sekali karena bibi datang, setidaknya aku punya wali untuk mengambilkan ku rapor, tidak seperti sebelum-sebelumnya.
Meskipun sebenarnya aku merasa kecewa, karena orang tuaku, tidak pernah sekalipun datang ke acara sepenting ini. Biasanya pun bibi di larang untuk datang, tapi kali ini mungkin bibi bersikeras meminta izin untuk datang.
Bibi mendapat tepuk tangan usai rapor di bagikan. Seperti biasa, aku mendapatkan ranking satu di kelas. Bibi terlihat senang dan bangga, terus melambaikan tangan dan tersenyum ke arahku.
Ia keluar dengan wajah yang berbinar, dengan sebuah buku rapor yang ia peluk. Ia menatapku dengan bangga, seolah aku adalah sesuatu yang begitu berharga baginya.
"Tuan, kamu dapat peringkat satu!! Ya Allah, bibi seneng banget!! Baru kali ini bibi ambil rapot, tapi di kasih tepuk tangan sama orang tua yang lain, karena kamu ini anak pinter. Biasanya mah, bibi kalau ambil rapot anak bibi, gak pernah dapat ranking. Dia juga anaknya bandel banget. Jadi ini pertama kalinya bibi bisa ngerasain ambil rapot anak pintar! Jadi rasanya begini ya!" serunya senang, dengan senyum yang tiada habisnya.
Aku tersenyum tipis sambil menatap bibi. Tapi setidaknya, anak bibi bisa merasakan rapornya di ambil orang tua sendiri, tidak seperti ku. Aku, jadi iri dengan anak bibi.
"Liat nih tuan, nilai tuan bagus bagus. Ya Allah, seneng banget bibi liatnya. Nilainya besar semua." ujar bibi sambil sibuk memperhatikan raporku.
Aku menghela napas panjang, mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menemukan hal menarik yang ada di dekatku.
"Kali ini gak dapat peringkat lagi." ucap seorang ibu sambil tersenyum pada Fanya, teman satu kelasku.
Fanya hanya menunduk takut, tak berani menatap wajah ibunya. "Maafin Fanya, ma. Fanya gak bisa masuk sepuluh besar kayak yang mama mau." gumamnya ragu.
Ibunya tersenyum, mengusap rambut Fanya yang terkuncir dua dengan lembut. "Gak apa-apa anakku! Gak apa-apa gak dapat sepuluh besar, tapi kamu kan seenggaknya udah berusaha sekuat tenaga. Mama bangga loh sama kamu.. Nilai kamu lebih tinggi dari tahun kemarin."
Fanya mulai berani mengangkat kepala dan menatap ibunya. "Beneran gak apa-apa, Ma?"
"Udah gak apa-apa!! Hari ini mama dan papa ajak kamu makan di luar, ya. Kamu mau kemana??"
Aku terbelalak kala mendengarnya.
"Yeay!! Mau main perosotan sambil makan ayam!!" pekik Fanya riang, sambil memeluk ibunya.
Bibi yang sejak tadi mengomel tentang isi rapor ku, kini terdiam dan menatap arah mataku. Senyumnya seketika hilang, saat menyadari apa yang sedang ku pandang.
"Ehe, tuan.. Abis ini mau kemana? Bibi antar ya pake taksi." tawarnya dengan ragu.
Aku melirik bibi lalu kembali menatap teman sekelasku yang mulai pergi. "Bi, emangnya boleh ya, sedekat itu sama ibu? Bukannya ras Dicth'anhm, tidak boleh kayak gitu?"
Perkataanku membuat bibi terkesiap, wajahnya seketika berubah namun ia tak mampu menjawab pertanyaan yang ku lontarkan.
Di dalam taksi, bibi terus mengajakku bicara. Agaknya ia berusaha menghibur karena tak mau aku merasa sedih karena perihal tadi.
"Bibi hari ini masak menu kesukaan, tuan. Tahu masak sambal. Tuan suka, kan??" tanyanya riang.
Aku tak mengalihkan pandangan dari jendela mobil. "Mama ikut makan?" tanyaku singkat, membuat bibi terdiam sesaat.
"T.. Tuan mau makan bareng mama?"
Kini aku menoleh ke arahnya. "Boleh, kan? Bibi bisa ngomong sama mama, kan?"
Bibi lagi-lagi terdiam. Ia seolah kesulitan untuk menjawab, karena ini semua di luar kendalinya. "Bibi usahain, ya." sahutnya.
.........
Aku melirik ke jam yang ada di dinding, lalu mencabik-cabik tahu yang ada di piringku dengan sendok dan garpu. Sudah hampir setengah jam bibi pergi untuk bicara dengan mama, tapi bibi tak kunjung kembali.
Sesusah itu kah makan bersama mama? Padahal, hanya sekedar makan bersama saja, kan?? Lagipula aku bukan orang asing, tapi kenapa aku sulit sekali untuk bertemu dengan mama di rumah sendiri. Aku sungguh benci aturan yang dibuat untuk ras Dicth'anhm.
Aku beranjak dari tempat duduk, meletakkan sendokku dan hendak berlalu. Ketika aku berada di ambang pintu, bibi datang bersama mama. Aku terkesiap hingga mataku terbuka lebar.
Akhirnya!! Akhirnya aku bisa bertemu dengan mama setelah sekian lama. Rasanya benar-benar tak percaya. Tanpa sadar kakiku melangkah cepat. Aku berlari ke arah mama, aku ingin sekali berada di dekatnya. Benar-benar ingin bersama mama.
Saat aku hendak mendekapnya, tiba-tiba saja mama menjauh dan mundur ke belakang bibi. Kakiku terhenti kala melihat penolakan darinya.
Ia bersembunyi, seolah aku adalah hal yang menakutkan baginya.
Kenapa sih?? Kenapa memangnya? Kenapa mama harus menghindar setiap kali bertemu denganku?? Kenapa? Kenapa ada aturan seaneh itu?
"Mama?!" aku menyapa sambil menatapnya. Baik mama maupun bibi terkejut ketika mendengar suaraku.
Mama tampak ketakutan. Bibirnya bergetar dan sesekali ia mencuri pandang menatapku. Ia masih menyembunyikan tubuhnya di belakang bibi, dan jujur.. Itu membuatku merasa di campakkan!
"Mama, ayo kita makan bersama! Tadi Suro dapat peringkat pertama di sekolah. Temen Suro makan bersama ibunya, Suro juga mau! Gak apa-apa kok ras Dicth'anhm bercengkerama bersama keluarganya." ucapku gemetaran, dengan cepat dan napas yang berderu kencang. Aku berbicara setengah teriak, karena baru kali ini aku bisa mengatakan sesuatu kepada mama.
Mama menarik tangan bibi, seolah memberi isyarat yang tak ku ketahui. Bibi langsung menoleh sekelabat ke arahnya, mengangguk takut lalu menatapku dengan wajah yang sendu. "Maaf ya, tuan. Kan bibi udah pernah bilang, kalau mau ngomong sesuatu ke mama, lewat bibi dulu. Baru bibi bisa sampaikan ke mama. Tuan udah tau itu kan? Selama ini juga selalu begitu, kan? Tuan tau aturannya." ucap bibi sambil menatapku dengan sorot mata yang seolah menyampaikan permintaan maaf padaku secara tidak langsung.
Aku diam. Aku sangat paham hal itu. Tapi.. Tak bisakah aku dekat dengan mamaku sendiri? Tak bisakah aku berbicara kepadanya sendiri?? Kenapa harus melalui bibi?? Aku sendiri bisa mengatakannya, kenapa harus begitu??
Fanya... Tidak begitu kepada mamanya...
"Aku gak bisu, bi. Kenapa harus pakai pesan berantai kalau aku sendiri bisa ngomongnya ke mama." protesku, membuat bibi menoleh panik ke arah mama, seolah memeriksa respon apa yang di berikan mama.
Mama memicing, menatap sinis ke arah bibi. Sekejap setelah itu, bibi langsung menarik tanganku untuk menuju meja makan. Mama masih mematung di tempat, tak bergerak sedikitpun untuk menuju ke meja makan.
Aku berhenti, berbalik dan menatap ke arah mama. Sejujurnya baru kali ini aku melakukannya, aku.. Hanya ingin di dengarkan dan hargai oleh mama.
"Sesulit itu kah ketemu dan ngomong sama mama?" ucapku sambil menatapnya, membuat bibi panik dan segera menarik tanganku lagi.
"Emangnya Suro salah apa ke mama? Kenapa mama gak pernah mau ngomong ke Suro? Kenapa semuanya harus di sampaikan ke bibi? Apa mama gak mau denger suara Suro?? Kenapa harus ada aturan itu?" lanjutku.
Bibi bersikeras menarikku. "Tuan, aduh.. Tuan. Jangan ngomong begitu, udah.. Ayo kita ke meja makan. Biar bibi temenin."
"Gak mau, bi! Mama harus jawab dulu! Selama ini Suro pikir, anak itu emang gak boleh ngomong ke orang tuanya. Harus pake perantara dulu. Tapi, setelah ngeliat temen-temen Suro.. Gak ada hal yang kayak gitu. Gak ada perantara untuk ngomong ke ibunya. Gak ada larangan untuk makan bersama ibunya. Gak ada pantangan untuk menyentuh atau satu ruangan sama ibunya. Ternyata yang berbeda itu cuma Suro, di luar sana, anaknya dekat dengan mamanya. Benar begitu kan?! Itu bukan aturan mutlak ras Dicth'anhm, kan?"
Mama terdiam. Wajahnya memerah dan matanya terbelalak. Ia seolah tak menyangka kalau perkataan pertamaku padanya bisa seperti itu.
Aku berjalan cepat ke arahnya, membuat bibi panik dan berusaha mengejar ku. Aku langsung menarik tangan mama, membuat mama terkesiap takut dan berusaha menampiknya.
Bibi langsung menangkapku, berusaha menjauhkan ku dari mama. Tapi aku tak bergeming, aku terus menarik tangan mama dan melawan mereka berdua.
Mama hampir terjatuh dan bibi terseret di lantai ketika berusaha menghentikan ku. Mama tampak takut ketika aku mendapati tangannya.
Aku hendak mengeluarkan suara, membuat mama memejamkan mata dengan kuat, seolah aku ingin menghabisinya.
Ternyata... Aku semenakutkan itu bagi mama? Ia bahkan tak menatapku dalam jarak sedekat ini, padahal ini kali pertama aku berjarak sangat dekat dengannya.
Aku melemah, tak lagi menggenggam tangannya dengan kuat. Ku letakkan telapak tangan mama ke atas kepalaku, membuat mama membuka mata karena merasakan rambutku.
Aku menunduk, tubuhku gemetaran entah karena senang atau karena kecewa. Aku meringis, menahan air mataku yang hendak jatuh.
Ada perasaan lain, ketika mama menyentuhku. Ada kehangatan yang tak ku dapatkan dari tangan bibi.
Tanganku benar-benar bergetar dengan kuat, sampai-sampai tangan mama pun ikut merasakan getarannya.
"Ternyata... Begini.." gumamku, membuat bibi dan mama mengernyit. "Ternyata begini, rasanya di sayang seorang ibu?" ucapku sambil menggerakkan tangan mama untuk mengusal rambutku sendiri. Bibi menutup wajahnya, menggerung tangis ketika melihatnya.
Tiba-tiba saja, mama menarik tangannya lagi. Aku tersentak dan menatap wajahnya. "Bukannya tadi permintaan kamu hanya makan siang bersama?" tanya mama, dan aku merasa senang karena pertama kali di dalam hidupku mendengar suara mama. "Waktu makan siangnya, udah selesai." lanjutnya sambil berbalik dan meninggalkanku dengan cepat.
Aku terdiam, mematung sambil menatap punggung mama. Aku terdiam cukup lama. Sesingkat itu, tapi rasanya.. ini seperti selamanya.
Aku sudah menyimpan memori suara mama di kepalaku, dan akan selalu ku ulang setiap hari di dalam hatiku. Kalau ternyata.. Suara dan sentuhan mama sehangat itu, meskipun hanya sebentar.. Tapi, aku benar-benar bahagia sekarang.
Bibi beranjak, membuat mama menoleh ke arahnya. "Dan bibi, hari ini... Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu. Aku tunggu di ruanganku."
Aku terkejut mendengar ucapan mama. Mataku langsung menoleh ke arah bibi, ia menunduk lesu. Apakah karena perbuatan ku, bibi jadi menanggung semuanya?
Tapi, apa yang akan di lakukan oleh mama pada bibi?
"Tuan, bibi pamit dulu ya." ucapnya sambil tersenyum sendu. Seolah itu adalah ucapan terakhir yang hendak ia katakan padaku.
"Bi.. Bibi mau kemana? Bi?" bodyguard mama langsung menghalauku. Beberapa orang dari mereka pun menarik bibi hingga terjatuh.
"Hei!! Jangan lakuin itu ke bibi!!" bentakku.
"Udah tuan, karena tuan.. Bibi dalam masalah sekarang." ucap salah satu bodyguard mama, pak Saipul.
Masalah apa memangnya??
Bersambung...
Aku tak menyentuh makananku, masih menantikan kehadiran bibi untuk menemani seperti biasa. Mataku langsung terbuka lebar ketika melihat seorang wanita paruh baya berbadan tebal penuh lemak, gendut, berambut kuning, dan pendek berjalan lesu ke arahku.
Aku reflek menegakkan tubuh ketika bibi datang. Ia tersenyum saat mata kami bertemu. Aku hendak beranjak, tapi dengan cepat bibi menahanku.
"Udah tuan, jangan berdiri. Biar bibi yang kesitu." ucapnya dengan suara yang sedikit lirih.
Aku menilik dan mengamati ekspresi bibi dengan seksama. "Bibi kenapa? Tadi mama bilang apa?"
Ia menghela napas panjang sambil menggeleng pelan. "Gak apa-apa, tuan. Udah, jangan di omongin lagi. Tuan kenapa gak abisin makanannya, udah dingin ini. Jadi gak enak nanti." omelnya sambil membenarkan posisi dudukku agar menghadap piring sambil menuangkan air minum.
"Bibi jangan bohong, pasti mama kasih hukuman ya ke bibi gara-gara Suro tadi? Bener kan? Bibi di hukum apa?" tanyaku khawatir, sambil terus memandang wajah bibi.
Bibi lagi-lagi tersenyum sambil mengusap kepalaku dengan lembut. "Cuma di suruh bersihin toilet, sama kayak tuan kalau di hukum di sekolah, kan?" sahutnya.
Aku tersenyum dan menghela napas lega. Ternyata tidak terlalu buruk. "Oh begitu? Bibi mau Suro bantuin, gak? Biar bibi gak capek. Itung-itung sebagai ucapan terimakasih Suro karena bibi udah mau ngomong sama mama untuk makan bareng Suro, yah.. walaupun gagal karena Suro sendiri."
Bibi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. "Oke, tuan. Nanti kalau bibi udah mau bersihin toiletnya, bibi bakal panggil tuan ke kamar. Sekarang tuan makan aja dulu, abis makan langsung tidur siang ya ke kamar. Oke?!" seru bibi, membuatku semangat dan langsung menyantap makananku.
"Siap, bibi!!" sahutku senang sambil mengangkat sendok ke udara. Aku senang sekali bisa membantu bibi, setidaknya bibi tidak lelah kalau harus membersihkan toilet seluruh rumah sendiri.
Aku hampir menghabiskan makananku, tapi tiba-tiba saja bibi menambahkan beberapa potongan tahu ke piringku. Aku menoleh heran. "Suro sudah kenyang, bi. Kenapa di tambahin?" tanyaku sambil mengernyit dalam.
"Biar tuan bisa ngerasain, tahu buatan bibi lagi."
Aku tertawa mendengarnya. "Ya kalau mau, nanti kan tinggal dibikinin lagi sama bibi." Bibi hanya mengangguk dan kembali mengusap kepalaku.
Selepas makan, aku langsung di antar bibi ke kamar. Kamar persegi panjang yang hanya berisi tempat tidur, tv dan video game, komputer, lemari, meja belajar, sebuah jendela besar dan satu pintu toilet yang tertutup.
Aku melepaskan tas dan meletakkannya ke meja belajarku. Aku membukanya dan mengeluarkan buku raporku. Aku menatapnya dalam, membuka lembar awal di mana berisi biodataku.
Disini tertera nama mama dan papa, tapi... Hanya nama saja yang ada di buku ini, hati dan raga mereka entah berada di mana.
Padahal aku ingin sekali menunjukkan hasil nilaiku pada mama, aku.. Ingin lihat bagaimana reaksi mama ketika mengetahuinya.
Ckrek!!
Aku terkesiap, ketika sedang sibuk memperhatikan rapor, tiba-tiba saja terdengar suara pintu yang terkunci.
Aku mengerjap sambil menoleh ke arah pintu. Beberapa detik aku menunggu, sebelum akhirnya beranjak dan memastikan kebenarannya.
"Masa' sih pintu kamarku di kunci?" gumamku sambil menarik gagang pintu.
Tertahan?
Aku kembali menariknya. Masa' sih pintu kamarku betulan di kunci?? Tapi kenapa???
"Bibi?? Bi?? Kenapa pintu kamarku di kunci?? Bi?" tegurku sambil memukul pintu. Sama sekali tak ada jawaban. Kenapa sih?? Biasanya tidak pernah begini.
Aku mengernyit ketika pendengaran ku menangkap suara riuh di depan rumah. Aku berlari menuju ke jendela kamar, membuka tirai lalu melihat keluar.
Ada beberapa asisten di rumah, mereka berkumpul dan salah satunya adalah bibi. Kernyitanku semakin dalam ketika melihat bibi membawa sebuah tas besar di tangannya.
Tak lama kemudian, mama datang dan mengatakan sesuatu.
Ada apa ini? Apa mungkin bibi di usir?? Kenapa?? Kenapa bisa sampai seperti itu?? Masa' karena perihal tadi, bisa sampai separah itu?? Bukannya bibi bilang, hanya membersihkan toilet rumah? Jadi, bibi membohongiku ya?
"Bibi?! Bibi?!" aku memekik dari atas, sambil menggedor-gedor jendela besar yang tak bisa di buka, gara-gara aku sering kabur lewat sini.
Suaraku tak terdengar, buktinya tak ada siapapun yang menoleh ke atas.
Bibi menunduk lalu di berikan sebuah amplop oleh mama. Bibi menerimanya sambil menunduk lagi. Bibi berbalik dan terhenti.
Tidak!! Bibi tidak mungkin pergi, kan? Aku tidak mau bibi pergi!! Tidak mau!!
Aku berteriak, tapi kaca ini terlalu tebal dan tak akan mungkin bisa terdengar oleh mereka. Bibi yang berhenti, tiba-tiba saja melirik ke atas kamarku.
Ia terkesiap, ketika mata kami bertemu. Aku menggedor jendela, tapi sama sekali tak menghasilkan apa-apa.
Aku beralih, melirik seisi kamar. Mataku menemukan lampu hias besar yang ada di sudut kamar.
Ku angkat lampu tersebut dengan sekuat tenaga. Ku hantamkan pada kaca jendela. Hentakan pertama membuatnya retak, kaca ini cukup tebal padahal aku sudah mengerahkan segenap tenaga.
Hantaman kedua membuat retakannya bertambah, diiringi serpihan tipis yang berjatuhan di lantai.
"Arrggghh!!" aku berteriak kencang, sambil mengayunkan kepala lampu, membuatnya pecah dan berhamburan bersamaan dengan kaca jendela yang ikut pecah.
Semua orang menoleh ke atas, menatap serpihan kaca yang berterbangan bak hujan. Beberapa orang satpam dan bodyguard di rumahku langsung melindungi mama yang berteriak ketakutan. Sementara bibi dan yang lainnya melindungi kepala mereka dari pecahan kaca.
"BIBI!!" aku memekik, membuat bibi mengalihkan tangannya dan mengangkat kepala.
"Bibi mau kemana?? Bibi mau ninggalin Suro? Bibi mau pergi?" tanyaku sambil berteriak.
Bibi terdiam, ia tak mampu mengeluarkan kalimat apapun, tapi ekspresi wajahnya menunjukkan kebenaran, bahwa ia benar-benar ingin keluar dan pergi dari rumah ini bersama tas lusuh yang ia bawa.
"Bibi!! Suro mohon!! Jangan!! Jangan pergi!! Suro cuma punya bibi! Cuma bibi yang nemenin dan jagain Suro selama ini! Cuma bibi yang selalu masak makanan untuk Suro!! Kalau bukan masakan bibi, Suro gak bakalan mau makan!!"
"Suro cuma mau bibi!! Bibi jangan pergi!! Nanti siapa yang jemput Suro di sekolah? Siapa yang antar Suro? Siapa yang ngerawat Suro kalau sakit? Siapa??" napasku mulai tertahan dan berat, rasanya ada sesuatu yang menahan di kerongkongan. "Siapa yang mau dengerin omongan Suro? Siapa yang mau ajak jalan-jalan Suro?? Siapa yang ambil rapot Suro, dan siapa??" aku memecah tangis, membuat suara teriakanku terdengar perih, karena teriakan ini mengeluarkan darah yang tak terlihat di dalam hati.
"Siapa yang bakalan puji Suro, dan usap kepala Suro lagi?" ucapanku ini membuat bibi meraung. Ia melepaskan tas di tangannya lalu menutup wajah dan menangis. Ia memunggungiku, seolah tak mau menunjukkan kalau dirinya sedang bersedih. "Siapa, bi?" lanjutku.
Mama langsung berbalik. Ia masuk ke dalam rumah, seolah tak mau mendengarkan perkataan ku lagi.
Pundak bibi naik turun, ia tersedu tapi sama sekali tak menunjukkan wajahnya padaku. "Kenapa bi? Kenapa bibi gak nunjukin wajah bibi ke Suro? Kalau emang ini adalah yang terakhir, Suro pengen liat wajah bibi. Dan Suro, minta maaf karena Suro.. Bibi jadi kehilangan kerjaan disini."
Perkataan ku akhirnya membuat bibi berbalik. Ia menengadah, menatapku dengan wajah memerah dan penuh air mata. "Bibi gak sedih kok, tuan. Ini bukan air mata." dalihnya. Padahal siapapun tau kalau itu memang air mata. "Bibi yang minta maaf. Karena bibi, gak bisa sama-sama tuan sampai tuan masuk SMP, sampai SMA dan sampai tuan besar lalu menikah. Ternyata bibi cuma bisa sampai di sini aja." bibi menyeka air matanya, lalu kembali menatapku sambil tersenyum tipis. "Bibi minta maaf, bibi gak ngerasa kehilangan kerjaan kok. Bibi cuma sedih, karena sekarang..."
"Bibi kehilangan waktu untuk bersama dengan anak baik yang kesepian." lanjutnya.
Perkataan bibi terhenti ketika salah seorang satpam kami menariknya keluar. Dengan tubuhnya yang gempal dan pendek, bibi terhuyung-huyung karena tubuhnya di tarik paksa.
Aku beralih, mendekat ke bingkai jendela dan menginjak serpihan kaca. Darah bercucuran keluar ketika kakiku tersayat, memenuhi lantai kamar yang berwarna putih bercorak. Aku tak bergeming, karena kehilangan bibi lebih menyakitkan dari pada ini.
Aku... Akan kesepian lagi??
.......
.......
.......
Tok tok tok!!
"Tuan, tolong buka pintunya!! Tuan!!" pekik beberapa orang bibi dari luar kamarku.
Sudah hampir tiga hari aku mengurung diri di dalam kamar baruku, karena kamar yang lama sedang perbaikan jendela. Aku tak bergeming meski mereka terus memintaku untuk keluar.
Walaupun berada di dalam, aku tak bodoh dan kelaparan. Aku suka menumpuk banyak camilan untuk di makan bersama bibi, tapi karena sekarang bibi tak ada.. Aku kesulitan untuk menghabiskannya seorang diri. Beruntungnya, aku bisa menahan lapar dan dahaga karena makanan ini. Tapi, aku tak bisa menahan kesepian ku. Aku rindu bibi.
Harusnya, kalau liburan sekolah.. bibi suka mengajakku jalan-jalan. Kami bercerita banyak hal dan aku tak pernah merasa kesepian. Sekarang... Aku merasa ada yang hilang, ada yang kurang, dan rasanya aneh.. seperti berada di situasi tidak menyenangkan.
"Tuan, tolong buka pintunya. Tuan harus makan, udah tiga hari tuan mogok makan dan mengunci diri di dalam kamar." ucap art di rumahku.
"Gimana? Gak mau keluar juga?" sebuah suara asing terdengar. Aku mengernyit sambil melirik ke arah pintu. Tidak pernah aku mendengar suara ini sebelumnya. Siapa wanita itu??
"Gak mau, neng." balas art-ku.
"Ehem!!" tok tok tok!! Suara ketukan nyaring. "Hei, bukain pintunya!! Kalau gak gue dobrak nih!! Hitung sampai tiga ya, satu dua tiga!!" lanjut si suara asing, menghitungnya tanpa jeda.
Huh! Sok sekali!! Memangnya perempuan bisa mendobrak pintu seorang di-
Bruaaak!!
Aku terbelalak, kedua mataku melebar dan alisku terangkat, ketika pintu kamarku yang begitu tebal tiba-tiba saja ambruk dan terhempas tepat di hadapanku yang sedang melongo sambil makan cemilan.
Seorang wanita muda berada di depan pintu dengan kaki kiri yang terangkat tinggi dan lurus. Aku menelan ludah, mengerjap tak percaya.. Apakah dia, menendang pintu kamarku dengan kakinya itu?? Kaki yang memakai sepatu tinggi dan runcing itu??
Ia tersenyum sambil menurunkan kakinya. Ia mengibas rambut kuningnya yang terurai panjang, lalu mengedipkan matanya menatapku. "Woah, ganteng juga ya anak SD ini!" tukasnya sambil terus menyengir.
"Siapa kamu?" tanyaku ketus.
Ia merapikan pakaiannya, kaos oblong dengan jas yang terbuka, lalu bawahannya celana panjang sampai ke mata kaki. "Siapa kamu?? Etika adab berbicara pada yang lebih tua. Harusnya elu jangan manggil gue dengan sebutan kamu!" protesnya.
Aku melirik sebal. "Kalau gitu, siapa ya Tante rambut kuning ini?" lanjutku mengoreksi.
Ia masih tersenyum. "Tante rambut kuning ya? Bisa-bisanya elu manggil cewek cantik, seksi dan muda kayak gue dengan sebutan Tante. Minimal kakak lah!! Gue baru lulus SMA loh, bajing*n kecil!" protesnya.
"Bertele-tele, ngapain kamu disini?" sahutku lagi.
Ia masih tersenyum, dan kali ini senyumnya sedikit menyeringai dan menyeramkan. "Hm, ngapain ya?? Kayaknya, mama elu lagi nyariin tukang gebuk buat gantiin bibi gendut gak tau diri yang sering sama-sama elu."
Perkataannya membuat dadaku terhantam. Beraninya dia mengatai bibi dengan kalimat buruk begitu. "Kurang ajar, kamu juga Tante genit gak tau diri, yang gak bakalan bisa gantiin posisi bibi." balasku sambil mengeratkan gigi.
Ia masih saja tersenyum. "Wah! Baru perkenalan aja udah panas ya. Kayaknya kita bisa jadi dekat, deh. Ya kan, teman baru?"
Bersambung.....
Aku meremas bungkus snack yang ada di tanganku. Tatapan mataku menajam, menatap wanita aneh yang sejak tadi terus tersenyum.
Aku merengut, tak berniat memberikannya ruang di dalam rumah ini, apalagi kalau sampai harus menggantikan bibi.
"Kamu mau kerja ya disini?" tanyaku dalam.
Dia mengangguk sambil memainkan rambutnya yang tergerai panjang. "Ya begitu deh!"
"Hari ini kamu di pecat, karena udah ngebuat keributan dan ngerusak pintu kamarku! Pintu keluarnya ada di sebelah san-" aku terhenti, ketika tiba-tiba saja wanita aneh ini menerjang cepat dan melompat ke hadapanku.
Ia tersenyum seraya membungkukkan tubuh dan memasang aba-aba untuk menaikkan kakinya. Di ayunkan kakinya dengan cepat ke arahku. Kecepatannya luar biasa, dan aku hanya terpaku di tempat, menyaksikan aksinya.
Sekali kedipan, aku melihatnya telah menendang kakinya tepat ke wajahku, membuat ujung hak sepatunya yang runcing sedikit menggores pipiku.
Dan kedipan berikutnya, aku melihat kakinya telah berada di bawah, dan ia menghilang saat darah mengalir di pipiku.
Aku terbelalak ketika sebuah suara muncul dari belakangku. "Suro Kesdicth'Anhm? Nama yang indah, dari ras Dicth'anhm. Ras asli yang termulia, dari kasta tertinggi murni. Orang-orang menyebut kalian sebagai darah biru para dewa."
"Perkenalkan, namaku Dita Vilhgasth'anhm. Dari ras Gasth'anhm. Kamu pernah mendengarnya?? Kami ini biasa disebut..."
"Budak para dewa! Ras rendahan yang hina dan seumur hidup hanya bisa mengabdikan diri pada ras Dicth'anhm. Kami ini... Bertanggungjawab atas darah ras suci yang tumpah, maka dari itu..."
Ia meletakkan dagunya ke pundak ku. Tubuhku sejenak kaku, dan mataku melirik ketika ia menjulurkan lidahnya dan menyeka darah di wajahku.
"Tak akan ku biarkan darah mu menetes ke atas tanah sedikit pun." bisiknya, membuat sekujur tubuhku merinding, dan aku langsung melepaskan diri hingga jatuh tersungkur. Aku... Takut sekali dengan orang aneh ini.
Aku menyentuh pipiku lalu menengadah menatapnya. Ia menjilati bibirnya yang terkena bekas noda darahku.
"Darah Dicth'anhm emang selalu lezat." ucapnya, membuat jantungku bergemuruh tak karuan. "Jangan takut gitu lah tuan.. Gue sih emang penjilat, jadi biasakan itu ya.. Hahahaa..." lanjutnya sambil tertawa senang.
Aku masih terdiam. Rasanya sekujur tubuhku kelu karena ulahnya. Darah seolah tak berjalan lancar sebagaimana mestinya.
"Oh ya, gue gak suka kerja pakai bahasa sopan kayak ras kalian, jadi lu aja ya yang nyesuain sama bahasa gue. Hari ini jadwal kerja gue apaan ya? Apa seharian kita pake buat perkenalan aja? Kita saling mengenal satu sama lain aja dulu." ocehnya seorang diri.
Aku terdiam memandanginya. Dapat dari mana sih orang seperti dia? Kalau rasnya sama dengan bibi dan art-ku yang lain, kenapa... Dia kurang ajar??
"Ayo tuan kecil, berdiri. Ngomong-ngomong tentang pintu, untuk gantinya potong gaji aja Ya.." ujarnya santai sambil duduk di atas meja belajarku. "Oh ya, kalian para bibi.. Pergi aja, lagian udah di buka kan pintunya. Gak perlu khawatir kok, dia gak bakalan nakal." lanjutnya sambil mengibaskan tangan ke arah para bibi.
"Ka.. Kalau ada yang bisa di bantu, panggil kami lagi ya neng." ucap para bibi sebelum berlalu.
Ia hanya mengangguk sambil sok mengunyah permen karet gaib, itu karena aku tak melihatnya memakan permen karet sebelumnya.
"Nama elu Suro, lu punya seorang ibu dan juga ayah yang sama-sama keturunan darah biru, wow biasa aja." gumamnya sambil melihat ponsel di tangannya. "Lu punya seorang kakak laki-laki, hm.. Dari tahun lahirnya sih, kayaknya seumuran sama gue." gumamnya lagi.
"Keluarga kaya raya, seorang ayah pebisnis dan ibu rumah tangga. Btw kakak lu kerjaannya gak di tulis, pengangguran pasti!" ocehnya sendiri. Dia yang bertanya, dia sendiri yang menjawabnya.
Ia mengibaskan rambut dan tangannya ke arahku. "Adeh, keluarga harmonis yang gak menarik. Bahagia, penuh tawa, suka duka bersama, penuh kasih dan sayang, ck! Coba bentrok, hidup akan jadi lebih menarik lagi." ocehnya sambil menggerakkan tangannya bak sebuah lengkungan pelangi di pikirannya sendiri.
"Biodatanya lengkap. Kayaknya royal family emang doyan pamer kebahagiaan, kekayaan dan prestasi kalian ya. Ini detil banget, seharusnya gak usah di tulis sih. Bacanya jadi ngeselin, karena pas sekolah dulu, gue ini bego banget sih."
Aku menyipitkan mata menatapnya. Memangnya kalau dia bego, artinya kami tidak boleh memperlihatkan prestasi kami? Itu kan deritanya sendiri.
Tiba-tiba saja perempuan rambut kuning ini menatapku. Ia diam sambil mengerutkan alis. "Ngapain lu liat gue sambil diem? Pasti barusan lu ngatain gue kan dalam hati?!" duganya.
Aku hanya diam dan tak mengubah ekspresi ku sama sekali. "Kalau iya, emangnya kenapa?" balasku.
Ia menjentikkan jarinya sembari membuang muka sesaat. "Bocil bedebah, oke gue suka! Kayaknya, di antara anak royal family, elu deh yang mulutnya paling kurang ajar. Bikin gue tergila-gila."
Aku meringis geli. Kayaknya dia memang sudah gila. Dan kesukaannya pun pada hal-hal yang gila.
Aku duduk bersila di lantai, menatap si rambut kuning yang sedang membaca sebuah buku. Ia langsung melemparkan buku tebal ke hadapanku. "Lu baca itu ya! Hafalin kalau perlu, sampai hatam!"
Aku melirik, melihat sampul buku yang tak asing bagiku. Ini adalah buku etika di keluarga ini, berisi tentang aturan yang harus ku patuhi. "Aku udah hapal itu, kamu aja yang hapalin sendiri! Kayaknya kamu bodoh, jadi jangan sampai aku yang mengajari kamu mengenai tiap isi dari bab buku ini." balasku datar, membuatnya menurunkan sedikit kertas yang menutupi wajahnya, memperlihatkan matanya yang sedang melirik sinis ke arahku.
"Setebal itu? Udah hapal?? Jangan bohong lu, lagian mana bisa sih bocah SD ngehapalin aturan sebanyak ini."
Aku menahan pandangan dan membalas lirikan sinisnya. "Tes aja kalau gak percaya." singkatku.
Ia yang duduk membungkuk langsung menegakkan tubuhnya, menandakan kalau ia tertarik dengan ucapanku. "Nantangin juga nih bocah. Boleh juga, gue bakalan tes seberapa bacotnya elu." ujarnya sambil membuka sembarang halaman buku yang ada di tangannya.
"Etika mengenai tata cara makan di meja makan nomor lima?" tanyanya sambil menatapku lalu melirik ke buku.
"Jangan makan membungkuk, postur tubuh tegap dan biarkan sendok makanan yang mendekatimu." jawabku sambil menatap datar ke wajahnya.
Ia meringis menatapku, seolah tidak rela kalau aku menjawabnya dengan benar. "Ini masih di bagian awal, coba yang di pertengahan, pasti lu gak bakalan bisa jawab karena gak hafal." tuturnya sambil kembali membuka sembarang buku tebal tak berguna milik keluargaku. "Etika berpakaian nomor tiga?"
"Gunakan pakaian yang sopan, nyaman dan elegan." sahutku lagi, membuatnya menarik napas lalu menatap jengah kepadaku.
"Selama mengabdikan diri ke ras Dicth'anhm, gue berusaha buat hapalin ini, yaa.. Itung-itung bisa ngehukum anak darah biru sih, hahaha. Tapi, biasanya bocil SD masih belum terlalu hafal isi buku ini sih, kecuali kalau mereka udah mulai masuk SMP akhir atau SMA." terangnya.
"Apa kamu baru kali ini menjadi pekerja di keluarga kesdicth'anhm?" tanyaku memastikan.
"Kenapa emangnya?"
"Ras dari keluarga kesdicth'anhm ini... Terkenal dengan kejeniusannya di bandingkan ras Dicth'anhm lain." perkataanku membuat perempuan ini mencibir.
"Salah satu ciri khas ras Dicth'anhm, selalu nyombongin kelebihannya dan merendahkan ras Dicth'anhm lain." tukasnya.
Aku hanya tersenyum tipis. "Terserah sih, tapi itu bukan lagi nyombongin diri."
Ia memiringkan bibirnya dengan sinis. "Oke, tes lagi..." ternyata ia masih tak terima dan ingin melanjutkan permainan bodohnya. Ia membuka random halaman buku, dan...
Deg!!
Jantungku terhantam sesaat, ketika tau ia sedang membuka isi halaman buku yang paling ku benci. Buku dengan tulisan bercetak tebal warna merah, menandakan kalau itu adalah bagian paling terpenting dari pada semua isi yang ada di dalam buku. Dan bagian itu, tak boleh ku langgar sedikit pun, karena sifatnya mutlak.
Ia mulai membaca bagiannya, dan sedikit mengernyit ketika memahami isinya. Matanya mengerjap, dan berulang kali ia membacanya dengan teliti.
"Etika sosialisasi dengan keluarga.." ucapnya dengan nada suara yang aneh. "Coba sebutkan, etika sosialisasi nomor satu." lanjutnya sambil menatapku dengan serius.
Aku terdiam sesaat. Tak perlu memikirkan jawabannya, karena itu.. Tertanam dalam di hatiku, hingga benar-benar melukainya. "Tidak boleh berbicara dengan anggota keluargaku." sahutku tanpa ekspresi.
Perempuan ini terus menatapku, seolah menantikan reaksi apa yang akan ku tunjukkan kala menyebutkan isi dari etika menjijikan itu.
"Nomor dua?" lanjutnya, masih menahan pandangan tanpa kembali menatap isi buku.
"Tidak boleh berada satu ruangan dengan keluarga ku." jawabku.
"Nomor tiga?"
"Tidak boleh berjalan beriringan dengan keluarga ku. Tidak boleh berada dekat dengan keluargaku, jarak maksimalnya adalah sepuluh meter. Kalau tidak sengaja berpapasan dengan anggota keluargaku, maka aku harus diam dan menunduk, sampai sosok mereka menghilang dari hadapanku. Tidak boleh menghadiri acara penting keluargaku. Tidak boleh-"
"Stop!! Stop!!" Ia sedikit menyeru dengan nada meninggi, seolah tak mau aku melanjutkan isi dari etika sosialisasi dalam keluargaku. "Apa-apaan etika yang satu ini?" tanyanya, terlihat sedikit marah dari nada bicara dan raut wajahnya.
Aku mengernyit, kenapa dia harus marah pada etika yang satu ini?? Bukankah seharusnya ini adalah hal biasa dalam ras Dicth'anhm? Kecuali kalau dugaanku memang benar waktu itu.
"Ya, isinya emang begitu, kan?" balasku. Sejak belum mengenal tulisan pun, aku sudah di ajari untuk tidak melakukan semua yang tertulis di buku itu. Salah satunya adalah aturan mutlak itu.
Ia menahan pandangannya, dan wajahnya benar-benar serius. "Royal family, kebanyakan adalah keluarga yang harmonis dan bahagia. Mereka di ajari berbagi dan saling mencintai. Mengenai hal ini... Kayaknya, ada kejanggalan dalam keluarga ini."
"Etika berisi sampah ini... Kayaknya sengaja di buat oleh anggota keluarga lu sendiri. Dan pasti, ada alasan di balik semua ini." ujarnya, membuatku meringis. Ternyata, dugaanku benar.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!