Ia langsung kikuk dan mematung, di turunkan tangannya dengan segera mungkin, lalu berpura seolah tadi itu tak terjadi apapun.
"Maaf, kalau lancang." singkatnya, sambil kembali melanjutkan makan siangnya.
Aku terdiam, bukan.. Bukan karena dia lancang, atau bukan karena aku tak suka di sentuh oleh ras Gasth'anhm, hanya saja.. Aku terkejut, benar-benar terkejut ketika sekilas ia terlihat seperti bibi. Entah kenapa, perasaan bersamanya menjadi kuat, padahal harusnya aku membenci orang ini.
Tapi, aku tak sadar, kalau barusan kami tertawa bersama hanya karena hal kecil. Seolah-olah, kami sudah pernah dekat dan bersama sebelumnya.
"Ya sudah lah. Aku tak marah kok, cuma kaget saja." gumamku sambil kembali merecok piring makanannya.
"Maksudnya?"
"Karena tidak pernah ada yang menyentuhku seperti itu, kecuali bibi, mama satu kali, lalu kamu. Rasanya cukup aneh, seperti teringat akan sesuatu." Ia mengernyit, meski tak berani lagi menatapku. "Bagaimana bisa, aku menyamakanmu dengan bibi. Padahal, kamu seorang pembunuh, yang membunuh satu-satunya orang yang menyayangiku. Harusnya aku membencimu, tapi entahlah.."
"Sejak dulu, aku gak bisa melakukan itu. Pada mama ku, papa ku, kakak ku, atau keluarga ku. Aku sama sekali tak bisa membenci mereka. Begitu banyak ras pemburu yang membenci kehadiran kami, termasuk juga aku. Tapi, tak ada satupun luka hatiku yang berasal dari musuh. Semua lukaku berasal dari orang-orang yang ku cintai."
Perempuan ini tersentak, bahkan sampai memantukkan sendok ke piringnya. Ia mulai menatapku ragu, tapi entah kenapa.. Kali ini aku merasakan perasaan dari sorot matanya. "Seseorang yang lu benci, gak bakalan bisa menyentuh atau nyakitin perasaan lu. Yang bisa melukai elu, justru adalah orang yang paling lu cintai."
Aku terdiam, mendengarkan apa yang ia katakan barusan. Ku letakkan garpu yang ku genggam ke piringnya lalu beranjak. "Terimakasih, aku sudah kenyang." ucapku seraya pergi. Aku benci sekali dengan perkataannya, karena aku yakin.. Itu adalah sebuah kebenaran.
Aku berjalan melewati ruang makan ku, membuat para art berdatangan mendekatiku. "Tuan, kenapa makanannya tidak di sentuh? Apakah ada rasa yang tidak pas di lidahmu?"
"Enak kok, kamu makan saja semuanya. Sama piring-piringnya sekalian!" balasku.
Mereka terdiam bingung. "Piringnya di makan juga?" tanyanya, membuatku meringis.
"Maksudnya nanti piringnya sekalian di bersihkan." sahutku, membuat raut wajah mereka yang panik berubah menjadi lega.
Aku kembali ke kamarku, rasanya mendadak kenyang seketika. Aku kehilangan selera makanku. Aku duduk bersender di meja belajar sambil mengambil pena dan meletakkannya di antara hidung dan bibir.
Ini mustahil sih, tapi jangan-jangan... perempuan itu anak bibi?? Aku menggeleng kuat, tak mungkin sama sekali. Lagipula mana ada anak yang membunuh orang tuanya sendiri. Dan dari yang ku tahu, bibi itu janda kan? Cuma punya anak satu. Artinya keluarga Vilhgasth'anhm bibi sudah kehilangan kepala keluarganya. Jadi, mustahil untuk anggota keluarga bibi saling bantai. Terkecuali mereka ada banyak dalam satu kepala keluarga. Ini cuma sisa bibi dan anaknya saja.
Jadi, perempuan itu bukan anak bibi. Lagipula dia sendiri sudah mengaku kalau dia yang membunuh bibi. Bukti-buktinya juga sudah ada, dan memang mengarah kepadanya.
Ngomong-ngomong tentang anak bibi.. Aku jadi ingat buku yang ku ambil tadi. Penasaran juga sih artinya apa. Kalau ku terjemahankan sekarang dengan mengandalkan teknologi, pasti bisa kan??
Aku membuka ponsel ku lalu mengambil buku bersampul hitam tanpa judul. Ku buka lembar pertamanya sambil mencari penerjemah yang bisa membaca tulisan dari gambar yang di tangkap.
"Kayaknya yang ini deh.." gumamku sambil mengarahkan kamera ponsel ke lembar buku, membuat seluruh tulisan tampak di satu kali tangkapan gambar.
Aku menunggu proses selesai, tapi penerjemah ini mengarahkan ku pada bahasa yang belum pernah ku lihat sebelumnya. "Terjemahan bahasa dalam aksara Kawi?" gumamku sambil mengernyitkan dahi. "Aksara Kawi?? Apa itu?" Aku sebenarnya ingin mengetahui isi dari buku rahasia keluarga kami, tapi entah kenapa aksara Kawi lebih menarik bagiku.
Mataku membaca layar ponsel ketika apa yang ku cari sudah keluar. "Kata Kawi sendiri berasal dari kata Sansekerta, yaitu kavya yang memiliki arti “puisi/syair”, yang sama dengan kakawin. Dalam sastra klasik kata ini berarti seorang penyair, pencipta atau pengarang. Berdasarkan penjabaran tersebut, yang dimaksud dari Bahasa Kawi adalah bahasanya seorang pengarang atau pujangga."
Aku mengernyit tak paham. "Kawi artinya bahasa seorang pengarang atau pujangga?? Sementara Aksara adalah sebuah sistem penulisan suatu bahasa dengan menggunakan simbol-simbol atau keseluruhan sistem tulisan dari A sampai Z."
"Apakah maksudnya buku ini, seorang pujangga yang sedang membuat bahasa menggunakan simbol?? Tapi apa hubungannya dengan keluarga ku? Kenapa buku rahasianya harus berisi tentang aksara ini?? Apa karena rahasia, jadi bahasa ini sulit untuk di terjemahkan??"
Aku menggeleng, pasti ada cara untuk mengetahui artinya. Aku kembali mencari terjemahannya, kata-kata yang tersusun sangat berantakan dan tidak jelas. Kebanyakan isinya bukan berisi sesuatu yang penting. Masa' sih ini buku rahasianya?? Jangan-jangan bukan lagi.
Setidaknya aku harus menerjemahkan beberapa isinya dulu sebelum memberikan buku ini ke tangan orang lain. Aku baru sekali dua kali bertemu dengan anak bibi, bibi bilang kan anaknya nakal. Jadi aku harus berjaga-jaga, siapa tau dia itu tipe orang yang buruk. Aku tak mau di manfaatkan begitu saja.
Semakin aku menerjemahkan isi buku, semakin aku di buat pusing karenanya. Isinya aneh, benar-benar aneh dan tak bisa di mengerti. Bahkan ada beberapa bagian tulisan yang tak bisa di terjemahkan karena sulit di baca oleh sistem.
Apakah anak bibi itu mampu menerjemahkannya? Aku merasa ragu, aku saja tak bisa.. Masa' dia bisa. Tapi, apa salahnya dicoba dulu.
.........
Aku melirik sekitar, melihat tenda di depan rumah bibi sudah di singkirkan, menyisakan bekas-bekas sampah cangkir plastik dan kulit semangka.
Aku lebih waspada, soalnya kemarin anak bibi datang dari belakangku begitu saja. Aku mengetuk pelan rumah bibi, tak bersuara sampai ada yang menyahut dari dalam.
"Tak ada jawaban?" gumamku sambil menarik gagang pintu.
Cklek!!
"Terbuka?"
Aku membuka pintu perlahan sambil mengintip ke dalam, memperlihatkan kursi kulit yang sudah terkelupas di cakar kucing. Terakhir aku kemari bersama bibi, suasana masih sama.
"Anak bibi??" sapaku sambil melirik sekitar dengan hati-hati.
Tak ada tanda-tanda keberadaan manusia?? Aku pun masuk lebih dalam, memperlihatkan ruang makan dengan kursi usang dan sebuah tv tabung. Sepertinya ini bukan hanya ruang makan, tapi juga ruang keluarga.
"Anak bibi?? Kamu di dalam?" sapaku lagi.
Apa tidak ada dirumah?? Atau tidur??
Aku mengintip ke dalam kamar. Kalau di etika bertamu ke rumah seseorang, mungkin sekarang aku sudah melanggar peraturan itu karena masuk sembarangan ke dalam ruang pribadi orang lain.
Aku masih melirik dari luar, tak berani masuk ke dalam. Di kamar sempit ini, hanya ada dipan tua, satu lemari usang dan...
Aku terpaku, melihat sebuah tas lusuh yang ada di samping tempat tidur dekat sudut. Ini tas yang di bawa bibi kala terakhir kali aku melihatnya.
Aku berjalan perlahan, duduk di pinggiran dipan, lalu mengambil tas bibi dan membuka isinya. Bolehkan aku ambil satu baju yang sering di pakai bibi?? Setidaknya itu kenang-kenangan darinya, dan akan ku simpan selamanya.
Aku menarik baju daster yang sangat sering di pakai bibi kala jam istirahat kerja. Ketika menarik baju tersebut, tiba-tiba sesuatu jatuh dari saku bajunya. Aku mengernyit, melihat sebuah amplop coklat. Ini di dapat bibi setelah keluar dari rumah. Apakah ini uang pesangon bibi??
Aku membukanya, penasaran dengan uang yang tentu saja belum tersentuh olehnya, karena ia sudah di bunuh sebelum menikmatinya.
Ketika aku membuka amplopnya, aku terkesiap mendapati sebuah kertas di dalam sana. Ku baca sekilas isinya, dan...
Apa maksud dari isi surat ini?
Braak!!
Pintu kamar bibi terbanting, membuatku yang terkejut langsung reflek memasukkan kertas dan amplop tersebut ke dalam saku bajuku.
Seorang pria yang pernah ku lihat menatap khawatir ke arahku. "Tuan!!! Saya pikir siapa!! Saya kaget sekali melihat pintu rumah terbuka." keluhnya sambil menyeka keringat.
Aku tersenyum canggung sambil beranjak dari tempat tidur usai mendudukinya. "Ah.. Maaf tidak sopan, aku mencarimu sampai ke dalam tapi kamu tidak ada. Kupikir kamu tidur, makanya aku sampai masuk ke sini. Dan, aku rindu bibi, makanya membuka isi tasnya. Boleh aku minta satu bajunya untuk di simpan sebagai obat rindu?" tanyaku, dan pria ini menghela napas sambil tersenyum.
"Ku pikir apa, hehe.. Tentu saja tuan. Tuan boleh memilikinya." sahutnya cepat. "Ngomong-ngomong, ada perlu apa tuan kemari?"
Aku melirik ke arahnya dengan seksama. "Waktu itu aku belum tau namamu, boleh kita berkenalan dulu?"
Ia terlihat terkejut. "Ha? Yang benar cuma karena hal itu?" tanyanya dengan wajah bingung.
"Memangnya apa lagi? Ayo katakan namamu." pintaku.
Ia menunduk di hadapanku lalu menatap ke arah kakiku. "Perkenalkan, nama saya Viktor Vilhgasth'anhm, maaf atas ketidaksopanan saya selama bertemu, tanpa memperkenalkan diri terlebih dahulu."
Aku menganggukkan kepala. "Oh, jadi itu namamu. Oke, kalau begitu, aku harus kembali dulu." ucapku cepat sambil segera melongos melewatinya.
"Buru-buru sekali perginya tuan. Seperti ada sesuatu yang baru saja anda temukan di rumah ini."
Deg!!
Jantungku terjeda kala mendengarnya, dan seketika tubuhku mematung tanpa perintah. "Apa maksudmu?" tanyaku tanpa berbalik.
Pria bernama Viktor ini langsung menyeringai menatapku, seolah-olah aku adalah sesuatu yang hendak di mangsanya. "Saya tau, sepertinya tuan baru saja menyembunyikan sesuatu."
Aku terdiam, gawat.. Apakah aku ketahuan?
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Chintiya Mins
Viktor ternyata misterius juga ya...
yahhhh meskipun katanya dia nakal sih.... kayak nya dia pintar juga
2023-12-19
0
Ika ajha
bikin penasaran tingkat dewa ini Thor😅😅
2023-09-01
1
Selfi Azna
bikin penasaran, ga bisa di tebak alurnya
2023-09-01
2