*Dita POV
Cip.. Cip.. Cip...
Aku terbangun ketika suara burung terdengar di telingaku. Ketika mataku terbuka, cahaya matahari langsung menembus mengenai wajahku. Aku mengernyit, sambil menggunakan tangan sebagai penutup.
Pergerakan ku membuat burung-burung yang berada di sekitar mengepakkan sayapnya dan terbang. Aku yang terbaring pun beranjak duduk, meletakkan kedua tangan di atas tanah.
Aku terkejut, merasakan rumput hijau yang lebat dan basah, sedikit tajam memang. Aku memandang sekitar, banyak pepohonan jarang-jarang yang lebat dan berdaun subur.
Ini.. Di sebuah hutan yang teduh?
Cip.. Cip..
Beberapa burung mulai kembali, terbang ke dekatku dan salah satunya ada yang hinggap di pundakku.
Tak hanya rumput, di sekitarku pun di penuhi bunga-bunga indah yang tertata cantik, dengan beragam warna dan begitu wangi.
"Dimana ini?" tanyaku heran.
Tengah fokus mengamati sekitar, aku terkesiap kala mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Burung-burung ikut terbang, ketika aku menengadah ke belakang, menatap seseorang yang telah berdiri di sana.
Aku terkejut, kala melihat sosoknya. "Ibu?!" sergahku, dan reflek tubuhku langsung bangun dari duduk.
Ia yang berbadan gempal pun tersenyum, memberikan isyarat agar aku kembali duduk. Ia mendekatiku yang berdiri kaku, duduk di atas rumput sambil mengambil salah satu bunga di dekatnya.
Aku terdiam, soalnya ibu kan sudah meninggal? Sekarang kenapa aku ada bersamanya? Apakah ini mimpi belaka??
"Ibu? Ibu ada disini?" tanyaku sambil ikut duduk di dekatnya.
Ia hanya menganggukkan kepalanya dan menatap lurus ke depan.
"Bukannya ibu-"
"Ibu rindu kamu, nak." perkataannya membuatku terhenti. "Dan rindu anak itu." lanjutnya. Lagi-lagi dia menceritakan tuan kecil kesepian yang sangat ia sayangi.
"Kamu tau, tempat ini begitu indah kan? Ada banyak bunga, dedaunan dan rumput hijau, burung-burung merpati dan kamu tau, ibu suka sekali tempat yang seperti ini. Makanya sekarang ibu tinggal disini." Aku hanya mengerjap, terus menatap wajahnya dari dekat. Meskipun ini mimpi, rasanya aku bahagia sekali bisa bersama, bercerita dan duduk di samping ibu lagi.
"Ibu sangat suka disini, jadi kamu jangan khawatir. Kamu juga jangan memaksakan diri. Tak ada yang bersalah atas semuanya, ibu pergi karena ibu mau pergi."
"Ibu sangat menyayangi kamu, jangan terlalu keras pada tuan, dia anak yang kesepian. Dan kamu juga jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, karena kamu adalah gadis yang kesepian juga."
"Kamu cantik dan tangguh, kalau sempat, nanti cari lah pendamping hidup yang menyayangimu, dan selalu mencintai mu, mengalah padamu dalam segala pertengkaran. Kamu tak perlu cari yang tampan, yang penting bertanggung jawab."
"Pesan ibu, jangan terlalu galak, nanti laki-laki takut." ia tertawa usai mengatakannya.
"Dan tolong ya, jaga tuan Suro sebagaimana ibu menjaga dan menyayanginya. Jangan biarkan ada yang menyakiti atau melukainya. Nyawanya lebih berarti ketimbang nyawa kita sendiri. Itu adalah slogan keluarga kita."
"Yah, sepertinya ibu terlalu banyak bicara. Kamu suka tempat ini?" tanyanya, dan aku hanya menganggukkan kepala. "Tapi ini bukan tempatmu, jadi.. kembalilah.. senang bisa bertemu dengan anak ibu yang nakal ini."
Ibu beranjak usai mengatakannya. Aku terkesiap, ia tak mengatakan apa-apa lagi, berjalan melongos begitu saja.
"Loh, Bu? Ibu?! Ibu mau kemana? Dita ikut, Bu!! Ibu!!" Aku berlari mengejarnya, tapi entah kenapa langkahku terasa begitu lambat sementara ibu berjalan begitu cepat.
Semakin lama, wujudnya hilang di hadapan mataku. Aku terus berlari tanpa harapan. Dan tiba-tiba saja kakiku tersandung sesuatu, membuatku terjatuh dan...
Aku terkesiap, membuka mata dan setengah duduk. Ku lihat wajah seorang anak tampan dan polos, ia terkejut kala melihatku.
Kedua tangannya terikat rantai kendor, tapi anehnya ia bisa berjalan dan duduk di dekatku tanpa berniat untuk melepaskannya. Ia terdiam, tak mengatakan apapun, hanya memandang wajahku dengan takjub.
"Kamu masih hidup?" tanyanya, seolah tak percaya.
Aku mengernyit, heran dengan pertanyaannya barusan. "Gue?? Tentu aja gue masih hidup." sahutku.
Ia menghela napas lega, mendudukkan tubuhnya dengan santai ke atas lantai. Keringat mengucur, bahkan membasahi rambutnya. "Syukurlah! Syukurlah!" ujarnya.
"Kenapa emangnya?" tanyaku lagi.
"Tadi kamu berhenti bernapas, tapi aku pernah belajar menangani hal semacam ini. Jadi aku bisa sedikit membantumu." lanjutnya.
Aku terdiam mendengar perkataannya. Seketika aku ingat tentang apa yang terjadi sebelum aku bermimpi bertemu ibu. Dan apakah pertemuan dengan ibu tadi, sebenarnya aku sudah berada di alam lain??
Si*lan, ini semua gara-gara si pengkhianat Viktor. Kalau sampai aku ikut ibu, berarti aku betulan mati, dan mati di tangannya adalah sesuatu yang hina bagi ras yang di khianatinya.
"Mana?! Mana Viktor brengsek tadi?!" sergahku sambil melirik sekeliling, membuat tubuhku terasa sakit. "Aduh!!" aku mengaduh karena baru merasakannya sekarang.
Anak ini diam, tapi matanya menoleh ke satu arah. Aku menoleh ke arah yang ia lihat, dan tampaklah pria brengsek yang terkapar bersimbah darah. Aku mengerjap, terbelalak usai melihatnya.
Ku lihat lagi anak yang berada di hadapanku ini. "Dia mati? Siapa yang bunuh? Elu?" tanyaku tak percaya. Pasalnya anak ini tak mendapatkan izin untuk menguasai atau belajar mengenai Kundalini.
Anak ini menganggukkan kepalanya, membenarkan apa yang ku katakan. "Dia mati. Biarin aja, lagian dia pengkhianat keluarga kalian kan? Dia juga menipuku." tuturnya.
Aku mengernyit, masih tak mempercayainya. Anak ini di segel kekuatannya menggunakan besi penyerap Kundalini, lantas bagaimana dia bisa membunuh Viktor brengsek? Kekuatan apa yang ia punya? Atau ia membunuh dengan cara lain?? Tapi cara apa??
"Ei, elu-" perkataan ku terhenti ketika anak ini tiba-tiba saja mengecup daguku.
Ia menjauhkan wajahnya, lalu menatapku sambil tersenyum. "Oi, terimakasih karena melindungi ku." ucapnya.
Aku terpaku, terdiam sambil menyentuh bekas ciumannya. Mencium dagu merupakan pembuktian rasa cinta dari ras Dicth'anhm kepada sesama mereka. Pembuktian rasa cinta yang sering di lakukan oleh Ibu kepada anaknya, atau anak kepada ibunya. Berlalu juga untuk ayah.
Dan sekarang, anak ini... Membuktikan rasa cintanya padaku seperti itu. Apakah dia... Menganggap ku sebagai ibunya?
"Hei!! Apa kamu malu? Wajahmu memerah?!" ucapnya dengan wajah tanpa dosa.
Aku langsung menepuk jidatnya, membuatnya meringis sambil mengelus jidatnya sendiri. "Siapa yang malu!! Gue kaget tau!! Main cium-cium aja nih bocah!!" bentakku.
Ia masih meresponnya dengan tertawa. "Kamu seperti bibi, setiap ku cium, pasti jadi salah tingkah dan marah-marah sendiri." ujarnya.
Aku terdiam, teringat dengan apa yang di sampaikan ibu padaku waktu itu. Aku melihat tubuh anak ini dari atas ke bawah, benar-benar kotor dan babak belur. "Oi, apa badan elu masih sakit karena sengatan listrik tadi?" tanyaku.
Ia melihat keadaannya sendiri, lalu kembali menatapku. "Masih, tapi tak apa." sahutnya.
Aku menghela napas lega. Setidaknya tidak terjadi hal yang buruk pada kami berdua. Aku pun harus banyak beristirahat setelah ini, tubuhku rasanya remuk dan beberapa bagian tubuhku terasa kebas dan sulit untuk di gerakkan.
"Kalau gitu, sebaiknya sekarang kita pulang ke rumah. Pasti para pekerja yang lain sibuk mencari keberadaan tuan." ucapku.
"Mereka tau aku keluar?" ia tampak tak percaya.
"Ya tentu aja! Elu hilang selepas jam makan siang, siapa yang gak heboh. Apalagi gue, langsung pusing ke tingkat tertinggi ini kepala waktu denger kabarnya! Kalau di ibaratkan, kepala gue udah terbang sama isi-isinya." keluhku.
"Wahaha, apa yang kamu maksud adalah Kukang?" terkanya.
Aku mencibir tanpa suara. "Kuyang, anak monyet!!" bentakku mengoreksi.
Ia tertawa, terdiam beberapa saat kemudian menepuk jidatnya secara tiba-tiba. "Mati aku!! Di hukum apalagi aku kali ini?!" ucapnya panik.
Aku mengendikan bahu. "Itu gak penting, yang penting sekarang kita harus pergi dari sini."
Suro menoleh ke arah Viktor. "Lalu orang itu?"
Aku mengibaskan tangan ke arahnya. "Biarin aja! Siapa tau ada anjing lewat, biar dia di makan anjing sekalian."
Suro meringis mendengarnya. "Jijik tahu!!"
"Udah lah, nanti dia bakalan di urus oleh yang lebih berwenang." lanjutku. Karena setelah ini, pasti keluarga kesdicth'anhm tidak akan tinggal diam.
"Ayo, kita pergi." ucapku sambil berjalan mendekat ke arah Suro. Aku melepaskan rantai yang ada di tangannya, membuatnya terkesiap.
"Oh?! Ini sudah bisa di lepas kah?" ujarnya bertanya.
Aku menatap malas ke arahnya. "Gue kira mau lu pakai jadi gelang, udah longgar tapi belum di lepas juga." gerutuku. Aku memapahnya, atau bisa di bilang kami berdua saling memapah.
Kami berjalan tertatih, karena kami berdua sama-sama dihajar habis-habisan oleh si brengsek pengkhianat itu.
Tap..
Aku mengernyit, menoleh ke asal suara yang berasal dari atas. Ketika ku lihat, tak ada apa-apa di atas langit-langit plafon yang sudah jebol. Perasaan, aku mendengar langkah kaki yang suaranya sangat pelan.
Tapi.. Tak ada apa-apa di sana.
"Kamu lihat apa?" pertanyaan Suro membuatku terkesiap. Aku menggelengkan kepala sambil kembali berjalan.
*Dita POV End
Ketika mereka berdua keluar dari tempat ini, seseorang yang sejak tadi mengawasi mereka hanya bisa tersenyum simpul. Ia tampak menggenggam pisau yang matanya bercahaya saking tajamnya. "Jadi, begitu." gumamnya. "Anak itu..." lanjutnya ambigu.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
unknown
itu siapa lagii yg di plafonnn🙃
2023-09-22
0
Susan
"Anak itu...ternyata si pahit lidah."
2023-09-06
1
Ika ajha
tu kan ada lagi misteri nya yang bikin penasaran.... ditunggu up nya lagi kak Rima....🥰🥰🥰
2023-09-06
1