Aku tak menyentuh makananku, masih menantikan kehadiran bibi untuk menemani seperti biasa. Mataku langsung terbuka lebar ketika melihat seorang wanita paruh baya berbadan tebal penuh lemak, gendut, berambut kuning, dan pendek berjalan lesu ke arahku.
Aku reflek menegakkan tubuh ketika bibi datang. Ia tersenyum saat mata kami bertemu. Aku hendak beranjak, tapi dengan cepat bibi menahanku.
"Udah tuan, jangan berdiri. Biar bibi yang kesitu." ucapnya dengan suara yang sedikit lirih.
Aku menilik dan mengamati ekspresi bibi dengan seksama. "Bibi kenapa? Tadi mama bilang apa?"
Ia menghela napas panjang sambil menggeleng pelan. "Gak apa-apa, tuan. Udah, jangan di omongin lagi. Tuan kenapa gak abisin makanannya, udah dingin ini. Jadi gak enak nanti." omelnya sambil membenarkan posisi dudukku agar menghadap piring sambil menuangkan air minum.
"Bibi jangan bohong, pasti mama kasih hukuman ya ke bibi gara-gara Suro tadi? Bener kan? Bibi di hukum apa?" tanyaku khawatir, sambil terus memandang wajah bibi.
Bibi lagi-lagi tersenyum sambil mengusap kepalaku dengan lembut. "Cuma di suruh bersihin toilet, sama kayak tuan kalau di hukum di sekolah, kan?" sahutnya.
Aku tersenyum dan menghela napas lega. Ternyata tidak terlalu buruk. "Oh begitu? Bibi mau Suro bantuin, gak? Biar bibi gak capek. Itung-itung sebagai ucapan terimakasih Suro karena bibi udah mau ngomong sama mama untuk makan bareng Suro, yah.. walaupun gagal karena Suro sendiri."
Bibi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. "Oke, tuan. Nanti kalau bibi udah mau bersihin toiletnya, bibi bakal panggil tuan ke kamar. Sekarang tuan makan aja dulu, abis makan langsung tidur siang ya ke kamar. Oke?!" seru bibi, membuatku semangat dan langsung menyantap makananku.
"Siap, bibi!!" sahutku senang sambil mengangkat sendok ke udara. Aku senang sekali bisa membantu bibi, setidaknya bibi tidak lelah kalau harus membersihkan toilet seluruh rumah sendiri.
Aku hampir menghabiskan makananku, tapi tiba-tiba saja bibi menambahkan beberapa potongan tahu ke piringku. Aku menoleh heran. "Suro sudah kenyang, bi. Kenapa di tambahin?" tanyaku sambil mengernyit dalam.
"Biar tuan bisa ngerasain, tahu buatan bibi lagi."
Aku tertawa mendengarnya. "Ya kalau mau, nanti kan tinggal dibikinin lagi sama bibi." Bibi hanya mengangguk dan kembali mengusap kepalaku.
Selepas makan, aku langsung di antar bibi ke kamar. Kamar persegi panjang yang hanya berisi tempat tidur, tv dan video game, komputer, lemari, meja belajar, sebuah jendela besar dan satu pintu toilet yang tertutup.
Aku melepaskan tas dan meletakkannya ke meja belajarku. Aku membukanya dan mengeluarkan buku raporku. Aku menatapnya dalam, membuka lembar awal di mana berisi biodataku.
Disini tertera nama mama dan papa, tapi... Hanya nama saja yang ada di buku ini, hati dan raga mereka entah berada di mana.
Padahal aku ingin sekali menunjukkan hasil nilaiku pada mama, aku.. Ingin lihat bagaimana reaksi mama ketika mengetahuinya.
Ckrek!!
Aku terkesiap, ketika sedang sibuk memperhatikan rapor, tiba-tiba saja terdengar suara pintu yang terkunci.
Aku mengerjap sambil menoleh ke arah pintu. Beberapa detik aku menunggu, sebelum akhirnya beranjak dan memastikan kebenarannya.
"Masa' sih pintu kamarku di kunci?" gumamku sambil menarik gagang pintu.
Tertahan?
Aku kembali menariknya. Masa' sih pintu kamarku betulan di kunci?? Tapi kenapa???
"Bibi?? Bi?? Kenapa pintu kamarku di kunci?? Bi?" tegurku sambil memukul pintu. Sama sekali tak ada jawaban. Kenapa sih?? Biasanya tidak pernah begini.
Aku mengernyit ketika pendengaran ku menangkap suara riuh di depan rumah. Aku berlari menuju ke jendela kamar, membuka tirai lalu melihat keluar.
Ada beberapa asisten di rumah, mereka berkumpul dan salah satunya adalah bibi. Kernyitanku semakin dalam ketika melihat bibi membawa sebuah tas besar di tangannya.
Tak lama kemudian, mama datang dan mengatakan sesuatu.
Ada apa ini? Apa mungkin bibi di usir?? Kenapa?? Kenapa bisa sampai seperti itu?? Masa' karena perihal tadi, bisa sampai separah itu?? Bukannya bibi bilang, hanya membersihkan toilet rumah? Jadi, bibi membohongiku ya?
"Bibi?! Bibi?!" aku memekik dari atas, sambil menggedor-gedor jendela besar yang tak bisa di buka, gara-gara aku sering kabur lewat sini.
Suaraku tak terdengar, buktinya tak ada siapapun yang menoleh ke atas.
Bibi menunduk lalu di berikan sebuah amplop oleh mama. Bibi menerimanya sambil menunduk lagi. Bibi berbalik dan terhenti.
Tidak!! Bibi tidak mungkin pergi, kan? Aku tidak mau bibi pergi!! Tidak mau!!
Aku berteriak, tapi kaca ini terlalu tebal dan tak akan mungkin bisa terdengar oleh mereka. Bibi yang berhenti, tiba-tiba saja melirik ke atas kamarku.
Ia terkesiap, ketika mata kami bertemu. Aku menggedor jendela, tapi sama sekali tak menghasilkan apa-apa.
Aku beralih, melirik seisi kamar. Mataku menemukan lampu hias besar yang ada di sudut kamar.
Ku angkat lampu tersebut dengan sekuat tenaga. Ku hantamkan pada kaca jendela. Hentakan pertama membuatnya retak, kaca ini cukup tebal padahal aku sudah mengerahkan segenap tenaga.
Hantaman kedua membuat retakannya bertambah, diiringi serpihan tipis yang berjatuhan di lantai.
"Arrggghh!!" aku berteriak kencang, sambil mengayunkan kepala lampu, membuatnya pecah dan berhamburan bersamaan dengan kaca jendela yang ikut pecah.
Semua orang menoleh ke atas, menatap serpihan kaca yang berterbangan bak hujan. Beberapa orang satpam dan bodyguard di rumahku langsung melindungi mama yang berteriak ketakutan. Sementara bibi dan yang lainnya melindungi kepala mereka dari pecahan kaca.
"BIBI!!" aku memekik, membuat bibi mengalihkan tangannya dan mengangkat kepala.
"Bibi mau kemana?? Bibi mau ninggalin Suro? Bibi mau pergi?" tanyaku sambil berteriak.
Bibi terdiam, ia tak mampu mengeluarkan kalimat apapun, tapi ekspresi wajahnya menunjukkan kebenaran, bahwa ia benar-benar ingin keluar dan pergi dari rumah ini bersama tas lusuh yang ia bawa.
"Bibi!! Suro mohon!! Jangan!! Jangan pergi!! Suro cuma punya bibi! Cuma bibi yang nemenin dan jagain Suro selama ini! Cuma bibi yang selalu masak makanan untuk Suro!! Kalau bukan masakan bibi, Suro gak bakalan mau makan!!"
"Suro cuma mau bibi!! Bibi jangan pergi!! Nanti siapa yang jemput Suro di sekolah? Siapa yang antar Suro? Siapa yang ngerawat Suro kalau sakit? Siapa??" napasku mulai tertahan dan berat, rasanya ada sesuatu yang menahan di kerongkongan. "Siapa yang mau dengerin omongan Suro? Siapa yang mau ajak jalan-jalan Suro?? Siapa yang ambil rapot Suro, dan siapa??" aku memecah tangis, membuat suara teriakanku terdengar perih, karena teriakan ini mengeluarkan darah yang tak terlihat di dalam hati.
"Siapa yang bakalan puji Suro, dan usap kepala Suro lagi?" ucapanku ini membuat bibi meraung. Ia melepaskan tas di tangannya lalu menutup wajah dan menangis. Ia memunggungiku, seolah tak mau menunjukkan kalau dirinya sedang bersedih. "Siapa, bi?" lanjutku.
Mama langsung berbalik. Ia masuk ke dalam rumah, seolah tak mau mendengarkan perkataan ku lagi.
Pundak bibi naik turun, ia tersedu tapi sama sekali tak menunjukkan wajahnya padaku. "Kenapa bi? Kenapa bibi gak nunjukin wajah bibi ke Suro? Kalau emang ini adalah yang terakhir, Suro pengen liat wajah bibi. Dan Suro, minta maaf karena Suro.. Bibi jadi kehilangan kerjaan disini."
Perkataan ku akhirnya membuat bibi berbalik. Ia menengadah, menatapku dengan wajah memerah dan penuh air mata. "Bibi gak sedih kok, tuan. Ini bukan air mata." dalihnya. Padahal siapapun tau kalau itu memang air mata. "Bibi yang minta maaf. Karena bibi, gak bisa sama-sama tuan sampai tuan masuk SMP, sampai SMA dan sampai tuan besar lalu menikah. Ternyata bibi cuma bisa sampai di sini aja." bibi menyeka air matanya, lalu kembali menatapku sambil tersenyum tipis. "Bibi minta maaf, bibi gak ngerasa kehilangan kerjaan kok. Bibi cuma sedih, karena sekarang..."
"Bibi kehilangan waktu untuk bersama dengan anak baik yang kesepian." lanjutnya.
Perkataan bibi terhenti ketika salah seorang satpam kami menariknya keluar. Dengan tubuhnya yang gempal dan pendek, bibi terhuyung-huyung karena tubuhnya di tarik paksa.
Aku beralih, mendekat ke bingkai jendela dan menginjak serpihan kaca. Darah bercucuran keluar ketika kakiku tersayat, memenuhi lantai kamar yang berwarna putih bercorak. Aku tak bergeming, karena kehilangan bibi lebih menyakitkan dari pada ini.
Aku... Akan kesepian lagi??
.......
.......
.......
Tok tok tok!!
"Tuan, tolong buka pintunya!! Tuan!!" pekik beberapa orang bibi dari luar kamarku.
Sudah hampir tiga hari aku mengurung diri di dalam kamar baruku, karena kamar yang lama sedang perbaikan jendela. Aku tak bergeming meski mereka terus memintaku untuk keluar.
Walaupun berada di dalam, aku tak bodoh dan kelaparan. Aku suka menumpuk banyak camilan untuk di makan bersama bibi, tapi karena sekarang bibi tak ada.. Aku kesulitan untuk menghabiskannya seorang diri. Beruntungnya, aku bisa menahan lapar dan dahaga karena makanan ini. Tapi, aku tak bisa menahan kesepian ku. Aku rindu bibi.
Harusnya, kalau liburan sekolah.. bibi suka mengajakku jalan-jalan. Kami bercerita banyak hal dan aku tak pernah merasa kesepian. Sekarang... Aku merasa ada yang hilang, ada yang kurang, dan rasanya aneh.. seperti berada di situasi tidak menyenangkan.
"Tuan, tolong buka pintunya. Tuan harus makan, udah tiga hari tuan mogok makan dan mengunci diri di dalam kamar." ucap art di rumahku.
"Gimana? Gak mau keluar juga?" sebuah suara asing terdengar. Aku mengernyit sambil melirik ke arah pintu. Tidak pernah aku mendengar suara ini sebelumnya. Siapa wanita itu??
"Gak mau, neng." balas art-ku.
"Ehem!!" tok tok tok!! Suara ketukan nyaring. "Hei, bukain pintunya!! Kalau gak gue dobrak nih!! Hitung sampai tiga ya, satu dua tiga!!" lanjut si suara asing, menghitungnya tanpa jeda.
Huh! Sok sekali!! Memangnya perempuan bisa mendobrak pintu seorang di-
Bruaaak!!
Aku terbelalak, kedua mataku melebar dan alisku terangkat, ketika pintu kamarku yang begitu tebal tiba-tiba saja ambruk dan terhempas tepat di hadapanku yang sedang melongo sambil makan cemilan.
Seorang wanita muda berada di depan pintu dengan kaki kiri yang terangkat tinggi dan lurus. Aku menelan ludah, mengerjap tak percaya.. Apakah dia, menendang pintu kamarku dengan kakinya itu?? Kaki yang memakai sepatu tinggi dan runcing itu??
Ia tersenyum sambil menurunkan kakinya. Ia mengibas rambut kuningnya yang terurai panjang, lalu mengedipkan matanya menatapku. "Woah, ganteng juga ya anak SD ini!" tukasnya sambil terus menyengir.
"Siapa kamu?" tanyaku ketus.
Ia merapikan pakaiannya, kaos oblong dengan jas yang terbuka, lalu bawahannya celana panjang sampai ke mata kaki. "Siapa kamu?? Etika adab berbicara pada yang lebih tua. Harusnya elu jangan manggil gue dengan sebutan kamu!" protesnya.
Aku melirik sebal. "Kalau gitu, siapa ya Tante rambut kuning ini?" lanjutku mengoreksi.
Ia masih tersenyum. "Tante rambut kuning ya? Bisa-bisanya elu manggil cewek cantik, seksi dan muda kayak gue dengan sebutan Tante. Minimal kakak lah!! Gue baru lulus SMA loh, bajing*n kecil!" protesnya.
"Bertele-tele, ngapain kamu disini?" sahutku lagi.
Ia masih tersenyum, dan kali ini senyumnya sedikit menyeringai dan menyeramkan. "Hm, ngapain ya?? Kayaknya, mama elu lagi nyariin tukang gebuk buat gantiin bibi gendut gak tau diri yang sering sama-sama elu."
Perkataannya membuat dadaku terhantam. Beraninya dia mengatai bibi dengan kalimat buruk begitu. "Kurang ajar, kamu juga Tante genit gak tau diri, yang gak bakalan bisa gantiin posisi bibi." balasku sambil mengeratkan gigi.
Ia masih saja tersenyum. "Wah! Baru perkenalan aja udah panas ya. Kayaknya kita bisa jadi dekat, deh. Ya kan, teman baru?"
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Ira Resdiana
kok blom² aku udh nangeesss.. /Sob//Sob//Sob/
2024-11-28
0
Always Young
ku menangiiiiisssss 😥😥
2024-09-20
0
unknown
oalaa anak Ganteng masih esde too 😅
2023-09-07
0