Sudah sebulan ini, Hanan dan Nadine tak pernah bertemu. Meskipun sang model sering berkunjung ke perusahaan, mereka memang menghindari tatap muka.
Hanan sedang melakukan meeting dengan rekan kerjanya. Tiba-tiba, Inka yang berada di sebelahnya mengabarkan jika bus pembawa rombongan kru mengalami kecelakaan.
Hanan menghela napas panjang.
"Bagaimana kondisi mereka?" tanya Hanan pelan.
"Mereka semua baik-baik saja kecuali..." jawaban Inka terjeda.
"Kecuali apa, Kak?" tanya Hanan lagi.
Inka ingin menyebut nama sang model tapi takut Hanan memarahinya. Karena atasannya itu melarangnya membicarakan brand ambassador perusahaan jika sedang di kantor.
"Kak.."
"Lebih baik kita ke sana segera, Tuan." Saran Inka.
"Tak ada yang perlu dikhawatirkan dari mereka 'kan?" tanya Hanan.
Inka mengangguk pelan.
"Ya sudah, buat apa kita ke sana. Tidak terlalu parah juga, tunda saja syuting sehari lagi," ucap Hanan.
"Sepertinya akan di tunda sampai sepekan, Tuan." Kata Inka pelan.
Dahi Hanan berkerut.
"Kita harus ke sana, Tuan. Melihat kondisinya," ujar Inka.
Hanan akhirnya menunda rapatnya, kemudian dia bergegas beranjak dari tempat duduknya.
Hanan dan Inka kini berada di ruang kerjanya.
"Kak, kenapa syuting harus di tunda sepekan? Apa yang terjadi?"
"Nona Nadine ikut dalam rombongan bus, hanya dia mengalami cedera parah."
"Nadine ikut bus?" Hanan belum percaya.
"Kita harus melihat kondisinya, Tuan."
"Tidak. Kakak saja yang mewakili aku."
"Baiklah, Tuan."
Inka akhirnya pergi ke rumah sakit yang merawat Nadine.
Sementara Hanan tampak harap-harap cemas, dirinya ingin menjenguk Nadine namun gengsi melarangnya.
Makan siang pun tiba, Hanan pergi ke restoran milik orang tuanya Ryder. Sesampainya di sana teman semasa kecilnya telah berkumpul.
Hanan berkali-kali menatap ponselnya dengan perasaan gundah. Inka tak memberikan kabar apapun mengenai kondisi Nadine.
Wanita itu mengirimkan kabar jika telah tiba di rumah sakit yang jaraknya 1 jam dari kantor.
"Nan, gelisah sekali. Ada masalah?" tanya Bryan.
"Iya, aku lihat dari tadi lihatin ponsel. Memangnya apa yang terjadi?" Ryder bertanya juga.
"Bus yang membawa rombongan kru kecelakaan," jawab Hanan.
"Apa? Kenapa kamu di sini?" tanya Bryan.
"Mereka tidak mengalami luka parah dan bus juga masih dapat berjalan hanya saja..."
"Hanya apa, Nan?" tanya Dayna yang mendengarnya juga tak sabar.
"Nadine turut menjadi korban," jawab Hanan lirih.
"Apa? Nadine di dalam bus itu juga. Bagaimana kabarnya sekarang?" cecar Dayna.
"Aku tidak tahu. Kak Inka sedang berada di sana," jelas Hanan.
"Kamu ini bagaimana sih'?" kesal Dayna. "Dia itu brand ambassador perusahaan kalian tapi kenapa tidak ikut menemuinya?" omelnya.
"Kak Inka mewakili aku. Jadi, untuk apa ke sana?"
"Nan, kenapa dirimu tak pernah peka 'sih?" kata Dayna.
"Aku malas mengurus hal begituan, Day."
"Itu menjadi tanggung jawabmu. Apalagi Nadine ada di sana," ucap Dayna.
"Buruan sana susul Kak Inka!" ujar Ryder.
"Aku tidak mau, lagian dia hanya terluka tak terlalu berat."
"Tunjukkan rasa empati dan simpati kamu, Nan. Kamu itu pimpinan perusahaan, bagaimana karyawan mau betah bekerja kalau sikapmu begini," ujar Alvan.
"Aku sudah menjadi pimpinan yang baik buat mereka hanya saja si artis sialan itu selalu mencari masalah. Kenapa dia harus di bus? Biasanya juga di mobil pribadinya," cerocos Hanan.
"Kamu punya masalah berat dengan Nadine? Sepertinya kamu terlalu membencinya?" tanya Ryder.
"Bagaimana aku tidak membencinya? Dia itu bukan artis pilihanku. Sejak dia bergabung di perusahaan, aku selalu muncul di media," ungkap Hanan.
Dayna dan lainnya terdiam.
Ponsel Hanan berdering tertera nama Inka, gegas ia menjawabnya, "Halo, Kak!"
"Tuan, Nona Nadine baik-baik saja."
"Syukurlah," Hanan berkata lega.
"Bagian pelipis mata dan lengan tangan kirinya terkena serpihan kaca. Nona Nadine juga masih terlihat syok."
"Apa dia sudah dapat pulang?"
"Sore nanti Nona Nadine akan pulang, Tuan."
"Oh, ya sudah. Semuanya telah selesai 'kan dan tak ada masalah apapun?"
"Semuanya aman, Tuan."
"Terima kasih, Kak."
"Sama-sama, Tuan."
Hanan meletakkan ponselnya kembali di meja.
"Bagaimana?" tanya Dayna.
"Dia baik-baik saja, sore nanti juga akan kembali ke sini," jawab Hanan.
Dayna dan lainnya tersenyum lega dan tenang.
Tepat jam 2 lewat 30 menit, Inka tiba di kantor. Ia menjelaskan kenapa Nadine sampai terluka karena duduk di sebelah kiri tepat di jendela yang pecah akibat dahan pohon. Bus membanting stir ke kiri karena dari arah berlawanan ada mobil yang melintas.
"Kenapa dia berada di bus?"
"Nona Nadine yang memintanya katanya biar lebih dekat dengan para kru."
"Memang cari masalah saja dia," gumam Hanan.
"Kita tidak pernah tahu musibah terjadi, Tuan. Kebetulan saja Nona Nadine berada di sana."
"Dia itu memang selalu membawa masalah, makanya tak heran semua orang terkena imbasnya."
Inka menghela napas, tak tahu lagi bagaimana memberitahu Hanan jika kejadian yang menimpa penumpang bus tidak ada hubungannya dengan Nadine.
"Tuan tidak menjenguknya? Katanya sore nanti dia akan di rawat di apartemennya," ujar Inka.
"Jika aku ke sana, maka besok akan muncul berita tentangku di media," ucap Hanan.
"Tadi Nona Nadine menanyakan Tuan," kata Inka.
"Biarkan saja, dekat dengannya hanya akan menambah masalah!"
Inka memilih diam, atasannya ini sangat keras kepala jika berkata tidak tetap takkan mau.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Hanan terus memikirkan keadaan Nadine. Meskipun Inka mengatakan kalau gadis itu baik-baik saja.
Ada perasaan menyesal di dalam dadanya karena memperlakukan Nadine seperti musuh. Padahal jelas-jelas gadis itu bersikap sangat biasa dan tak memiliki kesalahan fatal.
Hanya saja kedekatan mereka yang tidak disengaja menjadi konsumsi publik. Hubungan keduanya sekedar atasan dan bawahan.
Tapi bagi Hanan, Nadine adalah sumber masalah sehingga dirinya sangat membencinya.
Di tengah kegundahannya, ponsel Hanan berbunyi tertera nomor tak dikenal. Ia segera menolaknya.
Ponselnya kembali berdering, Hanan berdecak kesal lalu menjawabnya, "Halo!"
"Halo, Tuan!"
"Dengan siapa saya berbicara?"
"Saya Nadine, Tuan."
"Dari mana kamu tahu nomor ponsel saya?"
"Maaf, Tuan. Saya memintanya dari Nona Inka."
"Ada apa kamu menelepon saya?"
"Tuan, saya sudah berada di apartemen."
"Saya sudah tahu."
"Kapan Tuan datang menjenguk?"
"Jangan harap saya akan datang. "
"Tuan..."
"Cepat sehat biar kembali bekerja," Hanan menutup teleponnya.
Nadine menghela napas kasar.
"Dia tak mau datang 'kan? Percuma mengejarnya, lebih baik cari pria lain saja yang mau menerima kamu," celetuk manajer Nadine.
"Harusnya kamu sadar diri, dia tuh putra konglomerat. Artis sepertimu bukan seleranya, jadi berpikir ulang mendekatinya. Fokus dengan kesehatan ibumu saja," timpal asistennya.
Nadine manggut-manggut paham.
"Sekarang kamu istirahat, kita harus segera menyelesaikan kontrak ini. Biar tidak perlu mengejarnya. Ingat, harus sadar diri siapa kamu," manajer Nadine mengingatkannya lagi.
"Perhatian dia malam itu sangat berbeda, Kak." Kata Nadine.
"Hal seperti itu biasa, jangan tanggapi pakai hati," ujar sang asisten.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Ibad Moulay
Meeting...
2023-10-22
1
Ibad Moulay
Tak Peduli
2023-10-22
1