20. Pengakuan

Setelah insiden malam ini telah diurus oleh Aro dan anak buahnya yang membawa mereka berempat menuju pihak berwajib dengan persidangan dan hukuman yang akan dilangsungkan esok hari, tapi aro telah memastikan jika mereka akan mendapat hukuman mati agar nanti kedepannya tidak menganggu mental Kana dan hal itu sesuai dengan kesepakatan rencana sebelumnya yang telah Kana dan Aro perbincangan.

Mengapa berempat bukankah mereka bertiga? Karena ada mbok isma yang turut terlibat didalamnya, dimana mbok isma membantu rencana mereka dengan membawa Ayu selaku adik kandungnya masuk kedalam rumah ini untuk mempermudah rencana pembunuhan mereka terhadap Kana.

Apa yang ada dibenak kalian ketika mereka berdua sama-sama tau kebenarannya, Kana yang sudah tau tentang latar belakang Kari dan Kari yang tau jika Kana mengingat semua masalah yang menimpa dirinya, namun dia memilih untuk tetap diam tanpa menceritakan padanya.

Mungkin canggung adalah kata yang tepat untuk situasi mereka saat ini, didalam kamar yang hanya berisikan dua orang Kana dan Kari seorang dengan tubuh duduk bersandar ke belakang sandaran kasur.

Sama-sama diam, bungkam, dan malu untuk membuka suara. Hanya diam bersandar tanpa membuka topik pembicaraan. "Sepertinya tidak ada hal yang harus kita bicarakan, kalau begitu selamat malam saya tidur duluan." lontar Kana mengakhiri kecanggungan diantara mereka, dengan membenarkan posisi tidurnya dan menarik selimut hinga menutupi tubuh Kana yang di ikuti juga oleh Kari setelahnya.

"Maaf atas perbuatan saya saat itu, jujur tentang perasaan saya. Saya benar-benar mencintai kamu. Kamu tau Kana, sejak saya menginjak bangku perkuliahan dan berteman dengan Mufi hingga akhirnya saya mengenal kamu dan ketika saya melihat kamu untuk pertama kalinya rasa aneh itu muncul dalam diri saya, yang orang sebut dengan ciri-ciri jatuh cinta. Saat itu jantung saya berdetak begitu cepat ketika kamu berada di dekat saya, jujur saya selalu menyimpan dan mengunduh story whatsapp kamu dan juga saya selalu screenshot foto profil kamu. Kamu bisa menyebut saya seorang pengecut, karena memang saya seorang pengecut yang tidak berani dan hanya menyimpan perasaan begitu dalam bertahun-tahun lamanya. I love you, maaf jika terdengar kaku karena saya bingung bagaimana cara mengungkapkan perasaan saya kepada Kamu. Kamu bisa tidak percaya dengan perkataan saya, tapi saya benar-benar jujur mengatakannya tanpa kebohongan didalamnya." Kana tersenyum simpel lalu membalikan badan menghadap Kari yang ada di belakangnya, karena sebelumnya posisi tidur Kana membelakangi Kari.

"Kamu dapat nomer whatsapp saya dari Mana?" Tanya Kana penasaran dengan pandangan menatap lekat mata Kari. "Mengapa kamu tau tentang story whatsapp saya, sedangkan saya tidak pernah menyimpan nomer kamu, bahkan saya tidak memiliki nomer handphone kamu, kita tidak saling kenal." Lanjut Kana.

"Apa kamu lupa dengan saya?"

Kana mengerutkan dahi, "Lupa, apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

"Jahat, saya adalah seseorang yang kamu beri harapan bertahun-tahun lamanya tanpa kepastian. Apa kamu ingat dulu saya yang sering menjemput kamu di kampus sebelum kamu pindah universitas dengan keluar negeri," Lontar Kari dengan semangat menggebu-gebu dalam diri berharap Kana mengingat tentang dirinya. Namun sayang sepuluh ribu sayang, ekspresi wajah Kana yang kebingungan menjatuhkan semangat Kari hingga dasar bumi.

"Ck... Bisa-bisanya. Kamu dulu pernah mengatakan kepada saya seperti ini, 'Saya tidak pernah melihat wajah kakak, tapi kakak jodoh saya. Ingat itu baik-baik kak, jagan menikah jika tidak dengan saya, paham. Tunggu saya pulang lalu kita menikah, jodoh kakak itu saya. Ingat itu dan lihat baik-baik wajah saya bahwa saya ini calon istri kakak.' kamu mengatakan hal tersebut saat kita ada didalam satu mobil dengan kamu yang dikuasai amarah karena pacar kamu dijodohkan oleh orang tuanya yang dimana pacar kamu tidak tau siapa cewek yang di jodohkan dengan dirinya. Tapi dia lebih dulu memutuskan kamu dan berakhir kamu merah dan melampiaskan pada saya." Jelas Kari dengan tangan membelai wajah Kana yang sedang berfikir kebingungan.

"Saya ingat, saya mengingatnya. Kamu yang selalu diperintahkan oleh kak Mufi untuk menjemput saya. Kamu cowok masker hitam, cupu itu kan. Kamu yang selalu pakai masker walupun saat itu masker kamu sedikit basah terkena air hujan tapi tidak kamu buang. Saya tidak menyangka jika orang itu kamu. Dulu kamu gendut, kenapa sekarang jadi ganteng gini si. Masalah perkataan saya kala itu, karena saya reflek mengatakan hal tersebut. Saat itu saya beranggapan bahwa jodoh itu bisa saya tentukan dengan siapa, halnya dia yang ditentukan oleh orang tuanya padahal dia belum tau siapa perempuan yang dijodohkan dengannya. Yah... Kita bisa mengakui orang lain sebagai jodoh kita namun perkara hasil akhir itu sang kuasa yang menentukan segalanya." Papar Kana menjelaskan tentang perkataannya dulu pada Kari.

"Jujur sebenarnya atas kemauan diri sendiri saat itu untuk menjemput kamu, bukan karena perintah dari kak Mufi. Karena hal yang saya tunggu adalah saat kamu meminta kak Mufi untuk mengantarkan kamu pulang setelah kuliah dan saat itulah kesempatan bagi saya untuk chat kamu agar pulang bersama saya dengan alasan kak Mufi sedang ada urusan lain jadi tidak bisa menjemput kamu. Saat itu saya merasa kamu itu support sistem saya, saat saya lelah dengan kuliah kedokteran dan kehidupan saya yang bisa dibilang cukup rumit, lalu saat saya melihat kamu saya merasa begitu senang dan tenang. Seluruh beban saya hilang dan oleh karena itu saya selalu memakai masker agar ekspresi kesenangan saya tidak begitu terlihat memalukan dihadapkan kamu." Jelas Kari dengan senyum sadari tadi. "Dan saat kamu mengatakan pada saya dulu bahwa saya ini jodoh kamu saya benar-benar merasa begitu senang. Sangat senang, sebuah rasa senang yang tidak bisa saya ungkapkan dan saya jelaskan dengan kata-kata. Hingga sekarang saya tidak memiliki pacar ataupun menikah itu karena saya berharap kamu masih mengingat ucapan kamu kepada saya dulu, tapi nyatanya kamu tidak mengingatnya sama sekali kamu pulang dan pergi dari hotel dan kembali keluar negeri, kamu tidak mengingat saya sama sekali padahal kita beberapa kali berpapasan, jujur saya sedih saat kamu hanya datang beberapa tahun sekali kesini namun kamu tidak menemui ataupun mencari tau tentang saya. Sedangkan setiap kamu datang saya selalu bertanya pada Mufi, tentang diri kamu, tentang keadaan kamu, dan juga tenang kehidupan kamu sudah menikah atau belum, punya pacar atau tidak, dan lain sebagainya."

Kana menitikkan air mata senang mendengar tutur kata ungkapan penjelasan yang Kari ucapkan. Mood kana yang tidak stabil saat hamil ini membuat dirinya mudah terbawa suasana. "Saya dicintai secara ugal-ugalan, sungguh."

"Hai... Jagan nangis," Tutur Kari merengkuh tubuh Kana dalam dekapan hangat dada bidang miliknya.

"Saya tidak menyangka jika kamu menanggapi ucapan saya dulu dengan serius, maaf..."

"Tidak apa-apa, nyatanya kata reflek yang kamu ucapkan dulu saat dalam keadaan marah, kini menjadi kenyataan." Jelas kari semakin erat mendekap Kana dalam pelukan hangatnya.

"Au... Sakit," Kana meringis menahan rasa sakit atas perlakukan Kari yang mendekapnya begitu erat dan kuat.

"Maaf saya merasa begitu senang bisa memiliki kamu sepenuhnya, saya tidak akan tau bagaimana jadinya jika kamu menikah dengan lelaki lain. Mungkin saya akan meledakan hotel tempat kamu melangsungkan pernikahan." Canda Kari dengan tawa kecil dari bibirnya, entahlah kali ini Kari merasa bebas mengekspresikan wajah dihadapan Kana tanpa perlu memperhatikan rasa malu atau segan.

Kana tersenyum kecil namun wajahnya masih menampakan rasa sakit yang tak bisa Kana sembunyikan. Bagaimanapun juga Kana tetaplah seorang perempuan berhati rapuh yang tidak akan kuat menahan luka pada tubuh.

"Ada apa?" Tanya Kari khawatir dengan tangan merangkak masuk membelai perut Kana dengan lembut.

Gelengan kepala Kana membuat Kari yakin jika ada suatu hal yang Kana sembunyikan. Karena, perempuan tidak akan mengatakan rasa sakitnya namun seorang perempuan akan mengatakan hal yang menjadi sebab kebahagiaannya. Begitu uniknya seorang perempuan yang tidak ingin sekitarnya khawatir dengan keadaan tubuhnya yang terluka, sehingga mereka memilih menyembunyikan luka mereka begitu dalam sampai orang lain tidak akan bisa menjangkau dan mengetahui lukanya.

"Coba katakan pada saya, bagian mana yang sakit biar saya periksa. Tatap mata saya Kana, walaupun wajah kamu ini menampakkan sejuta kebahagiaan dengan diiringi sebuah senyuman sebagai pendukung kamu dalam menyembunyikan luka yang begitu dalam. Namun, mata kamu tidak akan bisa berbohong kepada saya. Seseorang bisa berbohong dari ucapannya, namun mata akan menjelaskan segalanya." Papar Kari menatap Kana begitu lekat nan dalam, "Sakit banget ya, sampai matanya berkaca-kaca."

"P-punggungnya sakit." Ungkap Kana,

"Kamu balik badan sebentar, saya periksa," Kana membalikan badan membelakangi Kari. Jantung Kana berdetak begitu cepat kala Kari menyingkap baju belakangnya. Dengan hati-hati Kari menyentuh luka tersebut lalu dirinya beranjak dari kasur mengambil salep pada meja kerjanya dan mengoleskan pada luka Kana dan setelahnya membalikan badan Kana hingga menghadap padanya.

"Punggung kamu memar, maaf ya. Pasti tadi kena meja saat didorong oleh Veny, maaf."

"Ndak apa-apa."

"Kamu jagan senyum, kalau kamu senyum rasa bersalah saya semakin besar. Kamu terluka karena saya, seharusnya saya tadi langsung datang menghampiri kamu bukannya berdiam diri dan menyaksikan dari kejauhan, maaf ya."

Kana tertawa lepas melihat wajah Kari seperti seorang bayi yang sedang merayu sang ibu agar diberi nasi. "Saya rasa bahasa keseharian kita terlalu formal, hahah."

"Pikiran saya juga mengatakan hal demikian, bahasa kita terlalu formal. Padahal bahasa menentukan kedekatan seseorang, dengan bahasa saya-kamu itu seperti memberi sekat pada saya untuk tidak terlalu dekat dengan kamu." Sahut Kari merasa jika bahasa yang mereka gunakan dalam keseharian mereka memberi sekat begitu jauh dalam hubungannya dengan Kana. "Tapi menurut saya bahasa kita ini bagus dan kita nyaman-nyaman saja jadi tidak masalah." Lanjutnya.

"Iya kamu benar, saya rasa tidak ada masalah dan yang pasti kita sama-sama nyaman bukan?"

"Iya benar, yuk tidur udah jam setengah 12 malam ini."

Sebuah bangunan rumah tangga akan terlihat kokoh jika saling bekerja sama didalamnya, dimana sang ayah sebagai atap pelindung panasnya matahari, dinginnya malam, dan derasnya hujan. Sedangkan seorang ibu sebagai pilar penyangga rumah tetap berdiri kokoh. Jika tidak ada sosok ibu, maka rumah tidak bisa dibentuk.

Bunyi ponsel genggam Kana yang ada diatas nakas samping tempat tidur menganggu keromantisan malam mereka, "Siapa?" Tanaya Kari pada Kana.

"Biasa ini ibuk-ibuk." Kana menarik tombol hijau yang ada dilayar iPhone boba miliknya, "Ada apa sih bu, lihat jam atuh udah malam ini. Telfon orang nggak kira-kira."

"Terserah saya dong mau telfon jam berapa!"

"Yasudah ini handphone saya jadi terserah saya mau angkat atau tidaknya,"

"Iya itu hak kamu, tapi jangan sampai kamu lewatkan dan diamkan panggilan saya atau kamu akan tau akibatnya nanti."

"Tapi ibu tidak kira-kira kalau telfon saya, jika telfon ibu tidak saya angkat, maka ibu akan menganggu saya dengan suara telfon sepanjang malam,"

"Ya itu kamu tau, masa nggak paham. Makannya angkat kalau orang tua telfon itu."

Kana menghembuskan nafasnya dengan kasar. Stok kesabaran seorang beribu-ribupun akan langsung habis jika ibunya Vina menelfon orang tersebut.

"Intinya aja deh bu, ada apa telfon saya malam-malam?"

"Kamu ini perempuan macam apa, sudah menyusahkan saya tapi kamu dengan Mufi hanya main-main. Apa kamu tidak kasihan dengan Vina?"

"Saya tidak main-main ibu saya serius dengan kak Mufi,"

"Lalu suami kamu gimana?"

"Ya tidak gimana-gimana, udah yang penting ibu datang dan ikuti alur rencana kebahagiaan kami. Itung-itung ibu balas budi kebaikan saya selama ini membantu Ibu," Kana mematikan sambungan telfon, dengan di iringi hembusan nafas kasar keluar dari rongga hidungnya.

"Kenapa?" Tanya Kari dengan tangan merangkul pundak Kana yang sedang berdiri menghadap kaca rumah.

"Tidak apa-apa, lupakan. Mari kita tidur saya sudah lelah satu hari ini."

Terpopuler

Comments

Vilaa

Vilaa

Sepertinya saya sudah melenceng terlalu jauh dari naskah pikiran awal yang saya buat. maka dari itu saya akan memperbaiki semuanya dengan kembali ke jalan awal tujuan saya membuat cerita ini yaitu dengan mengakhiri segala konflik lalu fokus pada kebahagiaan. setelah bab 22 nanti saya akan fokus pada parenting.

2023-08-20

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!