Mungkin kita sering sekali bertanya-tanya, adakah yang peduli denganku saat ini saja karena saya merasa hancur, lelah, dan letih. Jawabannya mungkin ada orang asing yang peduli dengan kita namun minim jumlahnya. Namun saat kita balik pertanyaan tersebut menjadi, adakah seorang yang berempati dan rela membantu kita dengan ketulusannya. Karena, seorang membantu kita mereka juga berharap bantuan kita nantinya, bukan. Sebuah balasan yang seringkali dipermasalahkan, mereka tidak meminta bantuan kita dan kamu pun tidak meminta bantuan mereka, tapi kamu tau mereka mengharapkan balasan atas bantuan yang dia berikan dan hal itu untuk dirinya nanti saat mereka ada pada posisi yang sama seperti yang kamu rasakan saat ini.
Dengan tubuh tegap nan gagah bagaikan seorang atlet, Kari menjadi pusat perhatian fokus dan sudut pandang manusia sekitar pada dirinya. Kari Arkara bagaikan tontonan gratis para wanita pecinta drakor korea, dengan kedua kancing atas kemeja yang terbuka menampakan dada bidang miliknya.
Berjalan dengan terburu-buru menemui sang resepsionis hotel untuk menanyakan, "Dimana ruang Kana, berada?"
Pandangan mata terpesona nampak jelas pada kedua bola mata sang resepsionis, kala melihat ketampanan Kari bak dewa yunani. Sebenarnya Kari sangatlah jenuh akan tatapan sekitar padanya, mengapa seseorang menatapnya seperti itu, apakah ada yang salah dengan dirinya saat ini. Padahal dia hanya menggunakan pakaian formal dengan sneli dokter masih terpasang pada badan tegapnya yang dimana Kari lupa untuk melepaskannya.
Kari berdeham, menatap sang resepsionis dengan tajam, "Bisakah anda beri tau saya dimana ruang Kana?"
"Untuk apa bapak bertemu dengan Ibu Kana, apakah bapak sudah membuat janji dengannya. Ibu Kana tidak bisa ditemui untuk saat ini, dia sangat sibuk dan tidak akan mau menemui seseorang yang tidak membuat janji dengannya. Karena waktu Ibu Kana begitu berharga hanya untuk perbincangan yang tidak penting dengan anda. Jadi sebaiknya anda pergi saja dari sini, karena Ibu Kana tidak akan mau ditemui oleh anda. kehadiran anda kesini untuk bertemu degannya, sangatlah sia-sia."
Dengan santai Kari mengambil handphone yang ada disaku bawah sneli dokternya, memperlihatkan pada sang pegawai pria yang tiba-tiba datang lalu menghardiknya untuk keluar. "Saya kesini karena diperintah oleh beliau,"
'Biarkan dia masuk, tunjukan padanya dimana ruangan saya berada. Siapapun itu yang baru saja berbicara dengannya antar dia kedalam ruangan saya, dengan kamu juga ikut kesini menghadap saya. sekarang juga!"
"B-baik bu," Suara yang tercekat dengan tubuh panas dingin kian menyelimuti dirinya saat ini, berjalan namun dengan ragu dan bergetar menuju ruang Kana yang ada di lantai lima. "Mari pak, saya tunjukkan ruangan Ibu Kana,"
Kana berjalan dengan lambat dan perlahan. Sungguh Kari ingin protes pada seorang yang berjalan di depannya ini yang menunjukkan cara berjalannya dia bagaikan seorang wanita. Namun kari menghargai pria itu, karena jika nanti ia protes maka Kana akan mendengar dan entah apa yang akan Kana lakukan nantinya pada orang yang ada didepannya ini.
"Mari pak masuk ke ruang kramat, e-maksud saya ruangan ibu Kana." Pria tersebut membukakan pintu mempersilahkan Kari masuk lebih dulu dan nampak di sana Kana tidak ada di kursi, hingga pintu ruang terbuka lalu muncullah Kana dari balik pintu tersebut.
Kana memandang teduh Kari yang ada di hadapannya, sebelum pandangan mata Kana jatuh pada seseorang yang ada di belakang Kari. Kana menatap orang tersebut dengan tajam dan membaca tanda pengenal yang tergantung di lehernya, "Rafi Prasaja, silahkan anda bisa keluar dari ruangan saya dan terimakasih ya."
Awalan nama lengkap yang Kana ucapkan tadi cukup membuat Rafi terkejut. Siapapun itu para karyawan di hotel ini tidak menginginkan namanya di kenal oleh Kana, karena apabila Kana telah mengenal dan mengetahui nama mereka maka orang tersebut harus mawas diri dan waspada, sekali saja dia melakukan kesalahan maka namanya akan langsung dilengserkan.
"Baik ibu, selamat malam." Dengan sopan dan membungkukkan badan dihadapan Kana, Rafi berjalan keluar. Sungguh Rafi tidak akan lagi melakukan kesalahan dengan sikap ketidak sopannya ini.
Kini tinggallah mereka berdua Kana dan Kari di dalam ruang ini, "Apa masih sakit perutnya?"
"Sedikit terasa sakit, namun tidak separah tadi sakitnya."
"Boleh saya periksa?"
"Boleh, maaf memanggil dokter malam-malam seperti ini."
"Tidak apa-apa, kesehatan kamu itu prioritas bagi saya sebagai seorang dokter."
Kana berjalan masuk kedalam kamar istirahat yang ada didalam ruangan ini dengan diikuti oleh Kari di belakangnya. Ruang yang tidak begitu luas yang hanya terisi satu kasur dan satu almari dengan meja kerja terletak disamping tempat tidur.
Kana membaringkan diri diatas kasur dengan Kari duduk disampingnya lalu mengeluarkan alat kedokteran yang dia bawa.
"Maaf ya," Kari menekan beberapa sisi bagian perut Kana yang nampak putih nan halus. "Jika kamu merasakan sakit atau rasa yang tidak nyaman tolong katakan pada saya,"
"Seperti dugaan saya sebelumnya, kamu maag. Kenapa tidak makan?" Dengan memposisikan diri duduk disamping kasur, Kari memandang wajah Kana yang tertidur.
"Tidak ada waktu dan saya sangat sibuk dok, akhir-akhir ini pekerjaan saya begitu banyak."
"Hmm, saya paham. Namun apa makan itu membutuhkan waktu berjam-jam. Apa kamu tidak bisa meluangkan waktu barang sejak saja, tidak lama hanya sepuluh menit saja. Makan itu harus diprioritaskan dari apapun, makan itu termasuk bentuk rasa peduli dan sayang pada diri sendiri. Jagan diulangi lagi yaa, harus makan tepat waktu. Paham?" Jelas Kari masih dalam posisi yang sama, ada disamping Kana memandang wajah Kana yang ada dibawahnya hingga nampak sedikit warna merah terpancar dikedua pipi Kana.
Posisi dan tatapan mata teduh Kari cukup membuat Kana terpana, terpesona, dengan jantung yang berdegup begitu kencang.
"Hmm,"
"Paham?"
"Paham,"
"Janji tidak akan diulangi lagi?" Kana hanya mampu tersenyum seperti dirinya habis diberi wejangan oleh seorang ayah yang menaburkan rasa tenang, teduh dan mendamaikan hati.
"Iya, janji dokter."
"Good, love yourself. Oke!"
"Hmm, O-oke."
Kana menarik sudut bibirnya, tersenyum bahagia. Merasakan sebuah rasa yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya, selama hidupnya. Rasa yang begitu aneh dan asing dimana hatinya berdetak begitu cepat tanpa kendali.
Kari mengukur tekanan darah Kana, lalu mengambil stetoskop yang di kalungkan di lehernya dan mengarahkan stetoskop tersebut pada jantung Kana berada. Namun dengan cepat Kana memegang ujung stetoskop itu sebelum mengenai dirinya,
"Jagan,"
"Why?"
"Pokoknya, jagan!"
"Hufh... Jika saya tidak memeriksa kamu dengan benar bagaimana saya bisa mendiagnosis penyakit kamu."
"Jangan,"
"Yasudah," Kana mengalihkan stetoskop tersebut pada perut Kana, mendengarkan segala bunyi yang ada di sana lambung dan usus Kana.
"Terimakasih, dok."
"Sama-sama, kamu baru makan. Terdengar jelas saat usus kamu sedang bekerja,"
"Sudah dok tadi setelah perut saya tidak sesakit sebelumnya. Saya langsung makan dengan roti dan selai."
"Good, anak pintar makan sesuai aturan yaa." Kana hanya mampu menganggukkan kepala sebagai jawaban dari segala penjelasan yang Kari jabarkan.
Sungguh Kana pusing dengan sikap Kari ini, sehingga sulit bagi Kana menyimpulkan dan mengajaknya bicara. Tidak ada lagi pembicaraan ataupun topik di antara mereka, hingga cukup lama terdiam dalam pikiran masing-masing. Sedangkan di sisi lain semakin lama tubuh Kari semakin terasa panas, padahal suhu AC ruang ini begitu dingin. Sungguh, kari tidak paham lagi dengan keadaan tubuhnya.
"Dimana kamar mandi berada?" Tanya Kari dengan suara berat dan serak miliknya.
"Disana dok,"
"Terimakasih." Kari langsung berlari menuju kamar mandi yang telah Kana tunjukan padanya.
Dengan berat hati Kari membasuh wajahnya berkali-kali, badannya masih terasa panas. Sungguh dirinya sudah tidak sanggup lagi, menyiram kepalanya kedalam air berkali-kali, hingga memukul dinding kamar mandi, namun tidak memberikan efek perubahan sama sakali. Ini sudah terlalu lama, pikirkan nya kian berputar hingga berhenti pada satu titik bagian dimana dirinya minuman kopi pemberian dari Asta.
"Obat apa yang kamu masukan dalam minuman saya Asta!" Dengan tangisan yang tak terbendung, Kari menangis meraung layaknya perempuan yang sedang dilanda menstruasi. "Tadalafil, pasti obat itu yang kamu masukan. Iyaa... Pasti tadalafil yang Asta masukan di dalamnya, karena hanya obat itu yang bekerja setelah satu jam lebih sejak dia memberikan kopi itu kepada saya, hingga saya sampai hotel ini. Brengsek. Jahat lo Asta, lo jahat." Kari terus menangis dengan seluruh pakaian yang telah terlepas dan hanya tersisa boxer yang melekat pada tubuhnya.
"Saya butuh pelepasan, namun saya tidak ingin menjadi pria brengsek."
"Dokter, are you okay? Mengapa dokter begitu lama didalam kamar mandi. Apa ada masalah dok? Ini handphone dokter berdering." Kana mengetuk pintu kamar mandi tiga kali, karena dirinya sangat cemas dan khawatir sadari tadi dengan keadaan Kari yang tidak kunjung keluar.
Kari yang mendengar suara Kana dari luar langsung membuka pintu itu, lalu menarik Kana masuk kedalam kamar mandi. "Saya, not fine. Can you help me?"
"Apa yang bisa saya bantu?" Kana mengerutkan dahi bingung melihat keadaan dokter Kari yang sangat kacau saat ini.
"Maaf, saya harus melakukan hal ini." Dengan cepat Kari mencium bibir natural Kana tanpa balutan lipstik apapun di sana sedangkan kana sempat menolak dan meronta. Namun, apa bisa buat jika kamar ini kedap suara terlebih dengan akses utama pintu kamar yang tidak bisa dibuka tanpa sidik jari dan sandi yang hanya Kana dan Vina yang mengetahui. Ditambah tenaga Kari sangatlah besar dibandingkan dirinya yang seorang perempuan lemah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Defi
Poor Kana 😟😭
2023-10-09
0
Defi
Karyawanmu Kana 😂
2023-10-09
1