Sebuah kesalahan memang bisa diperbaiki, namun sebuah trauma apa mungkin bisa terhapuskan jika tidak dibuktikan dengan pengakuan bahwa saya benar-benar berubah menjadi lebih baik karena kamu.
Dengan keadaan tanpa busana dibalik selimut tebal dan kasur yang nyaman, alarm jam berbunyi tepat pada pukul tiga dini hari. Membangunkan sepasang sejoli yang baru saja tertidur 3 jam yang lalu.
Baik Kana dan Kari saling menatap satu sama lain, berhadapan dan saling memancarkan pandangan mata kesedihan.
"Maaf, saya tidak bermaksud. Itu terjadi diluar kendali saya."
"Tapi kamu bisa menahannya bukan?"
"Saya bisa menahannya, bahkan saya bisa untuk tidak melakukan hal tersebut apabila tubuh saya tidak terpengaruhi oleh tadalafil, maaf."
"Persetan, lo cowok punya nafsu setinggi langit. Udah berhubungan dengan siapa aja lo, berapa orang?"
Kana mengusap wajahnya gusar, mengapa nasib buruk menimpa dirinya. Padahal dia sama sekali tidak pernah berbuat salah dengan orang lain. Tapi, mengapa seseorang tega berbuat jahat padanya.
"Dengarkan saya Kana, saya tidak pernah melakukan hal tersebut dengan siapapun dan baru kali ini saya melakukannya. Saya akan bertanggung jawab atas perbuatan saya. Will you marry me?"
Kari meringis kesakitan setelah Kana menampar pipi kanannya. "Nikah-nikah enteng bener mulut lo. Kau pikir nikah tidak butuh kesiapan fisik dan mental kah. Kau pikir dengan nikah sebagai jalan keluar urusan masalah kita sudah kelar? Bodoh, nikah itu sengsara, nikah itu tidak akan membuat saya bahagia. Menikah hanya akan mengikat saya dalam hubungan kejam yang penuh penyesalan dan kesedihan. Jika saya tidak hamil, maka saya tidak akan meminta pertanggung jawaban dari anda tuan Kari Arkara, tapi saya pastikan jika saya tidak akan hamil."
"Lalu, apabila kamu hamil. Apakah kamu mau menikah denganku?"
"Anda dokter kandungan bukan? So, gugurin anak itu dengan tangan lo sendiri."
"Apa! Saya tidak akan melakukannya. Membunuh janin yang tidak bersalah itu perbuatan keji Kana terlebih janin itu anak saya sendiri." Kari memekikkan kedua bola matanya diiringi pandangan mata tajam, menatap Kana yang ada di hadapannya.
"Kalau begitu, saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi pada diri saya. Berikan obat untuk mencegah hal buruk itu, kirimkan pada saya dalam kurun waktu satu hari dua puluh empat jam nanti. Paham!"
Kari tak menjawab pandangan matanya kosong menatap keatas, butiran air mata kian keluar membasahi bantal yang dia gunakan. Persetan dengan genre seorang laki-laki tidak boleh menangis, karena nyatanya air mata tidak bisa dia bendung begitu saja.
"Itu sama saja dengan membunuhnya Kana, bisakah kamu tidak melakukan apapun dan biarkan sang kuasa yang berkehendak atas hadir atau tidaknya dia. Usia saya sudah kepala tiga dan saya belum menikah jika kamu ingin tau hal itu. Kamu bisa bayangkan bukan, saya seorang dokter kandungan yang memeriksa para ibu hamil yang didampingi seorang suami yang mendambakan buah hati tercinta mereka dengan perasaan bahagia. Saya juga ingin merasakannya," Kari menoleh kesamping menatap Kana yang ada disebelah tempat tidurnya, tangannya terulur berada diatas perut Kana dan mengelusnya. "Biarkan kuasa ilahi yang berkehendak Kana, saya mohon."
"Kenapa tidak menikah, bukankah mudah bagi anda melakukan hal tersebut dalam posisi anda yang menjanjikan sebagai seorang dokter kandung. Saya yakin dengan anda berkedip tiga kali, mereka akan langsung berbaris untuk anda nikahi."
"Bukan itu masalahnya, saya memiliki penyakit sperma saya lemah bisa dibilang sama dengan mandul, itu yang menguat saya ragu untuk menikah. Jadi akan sulit bagi saya untuk memiliki seorang anak, kamu tidak perlu khawatir. Kuningan hamil itu presentasenya sedikit sekali Kana." Kari berucap dengan mengusap kepala Kana yang ada disampingnya. "Maaf atas perbuatan saya yang sudah kelewat batas, tolong izinkan saya untuk mempertanggung jawabkan perbuatan saya Kana."
"Tidak! Anggap saja ini sebuah hal yang tidak pernah terjadi diantara kita, tolong lupakan hal itu. Saya tidak ingin menikah."
"Mengapa?" Kari menatap Kana cemas dan bingung dengan jalan pikiran seorang perempuan yang ada disampingnya ini. Apa penyebab dia tidak ingin menikah, padahal hal buruk telah terjadi diantara mereka dan tentunya Kanalah yang paling merasakan dampak kerugian dari hal ini
"Bukan urusan dokter, kita lupakan saja dan anggap tidak pernah terjadi apapun diantara kita."
"Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Tapi tolong jika terjadi suatu hal dengan kamu. Tolong beri tahu saya."
"Hmm, setelah kita keluar dari ruangan ini. Itulah akhir dari permasalahan kita tadi malam. Dokter tidak sepenuhnya salah, karena sayalah yang memanggil dokter kesini, terimakasih."
Kari memandang Kana sedih, hatinya sangat teriris-iris mendengar tutur kata yang Kana lontarkan padanya. Ia tidak pernah menyangka betapa baik, kuat dan hebatnya sosok Kana. Padahal, dalam situasi itu nampak jelas siapa yang salah dan Karilah yang salah karena dirinya yang membuat situasi buruk itu terjadi dan seharusnya Kari yang berterima kasih pada Kana karena telah membantu saat dirinya dalam keadaan tidak berdaya.
"Sama-sama. Terimakasih juga Kana atas pertolongan kamu dan maaf, saya benar-benar minta maaf atas kesalahan itu."
Kana diam tidak menjawab apapun, namun derai air mata keluar membasahi wajahnya. Kari sempat tercengang melihat Kana menangis dan baru kali ini Kari melihat Kana menangis. Hingga, tanpa sadar tangan kari terulur mengusap air mata Kana yang keluar dengan bibirnya yang terus berucap kata maaf, maaf, dan maaf.
Setelah kejadian itu hari terus bergant dari siang berganti malam, matahari berganti rembulan. Lelah dan letih tidak tertahankan.
Tepat satu bulan lebih setelah kejadian mengenaskan itu, baik Kana ataupun Kari tidak ada yang membahas ataupun mempermasalahkannya lagi. Semua sibuk dengan urusan masing-masing, seakan bagikan tulisan pensil yang tertulis lalu di hapus begitu saja, begitu mudah bagi mereka menghapus goresan pensil itu tanpa mempermasalahkan bekas dari goresan tersebut.
Malam yang tenang, setenang senyuman rembulan dengan di ikuti oleh senyum indahnya bintang di awan malam. Simpel saja seorang perempuan bersedih hati dibawah cahaya bulan, entah apa yang dia pikirkan saat ini dengan keadaan menangis tanpa henti.
Dering ponsel berbunyi menampakan nama yang telah dia rindukan beberapa hari ini. Mufi, menelfon dirinya dalam keadaan yang tepat saat ini.
"Hello, kenapa?" Tanya Kana dengan suara serak miliknya.
"Tidak! Saya tidak bisa membujuk kedua orang tua Vina saat ini begitu sulit bagi saya menaklukkan mereka, bahkan ancaman yang saya berikan untuk mencabut investasi terbesar pada usaha mereka saja tetap tidak menghasilkan apapun, mereka tidak goyah dan tidak takut dengan ancaman tersebut."
Kana geram bukan main giginya saling bergemuruh setelah mendengar apa yang Mufi katakan, "Biarkan saya bicara dengan mereka!"
"Ada apa! Saya tidak memiliki waktu cukup untuk berbicara dengan perempuan sepertimu?"
"Saya juga tidak akan berbicara dengan orang tua seperti anda, jika saya tidak benar-benar membutuhkannya. Paham!"
"Katakan ada apa, jika tujuan kamu berbicara dengan saya sama dengan apa yang Mufi katakan pada kami, maka jawabannya tetap sama saya tidak setuju."
"Saya paham anak anda sedang hamil saat ini. Saya tau anda juga seorang ibu, tolong restui keinginan Kami. Mufi berhak bahagia dengan ide keinginannya dengan rencana indah yang sudah dia susun untuk kelangsungan masa depannya, walau sekalipun hal itu menyakiti hati anda."
"Kamu perempuan gila, apa kamu tidak memikirkan bagaimana dengan keadaan saya setelah mendengar apa yang Mufi katakan kepada kami! Saya terluka dan sangat tidak setuju dengan rencana kalian berdua walupun hal itu demi kebahagiaan Vina juga."
"Saya mohon, saya tidak akan sanggup lagi. Saya yakin Vina akan senang dan setuju dengan rencana kami setelah Vina mengetahui semuanya, saya ini sahabat Vina saya tau kebahagiaannya."
Terdengar suara tangisan, dari seberang telfon. Kana langsung mematikan sambungan telepon itu dia tidak sanggup mendengarnya. sudah banyak kebahagiaan yang telah dia hancurkan bahkan kebahagiaan dirinya sendiri telah ia hancurkan.
Dering telfon berbunyi kembali dan Mufi yang telah menelfon nya lagi, "Kenapa dimatikan, terimakasih. Sekarang mereka telah setuju dengan rencana keinginan kita. Apa kamu habis menangis, kenapa suara kamu serak sekali?"
"Saya tidak apa-apa kak, jangan pedulikan saya, saya senang mendengarnya bahwa mereka telah menyetujui rencana jita." Kana tersenyum senang mendengarnya.
"Ada apa? kelihatannya lagi tidak baik-baik saja."
"I'm fine."
"Tidak, kamu dimana sekarang?"
"Saya di hotel, beberapa hari ini saya tidak pulang."
"Sepertinya ada hal yang kamu sembunyikan dari saya, ada apa?"
"Dulu kakak lulus sarjana kedokteran sebelum menjadi psikiater kan, apakah mual, perut kram dan mudah lelah tidak seperti biasanya itu termasuk sakit apa kak ?"
"Kan kakak nggak memeriksa kamu dek, jadi kakak tidak bisa melakukan diagnosa hanya dari mendengarnya saja, ada apa?"
Kana mengais sesenggukan, hingga hidungnya tidak sanggup lagi untuk menghirup udara. Kama membayangkan apakah dirinya benar-benar hamil saat ini.
"Ada apa dek?"
"Tidak ada apa-apa kak, sungguh."
Diseberang telfon keadaan Mufi bagaikan tertusuk ratusan pisau tajam, hatinya benar-benar kacau, sakit dan berantakan mendengar suara tangis Kana yang begitu memilukan. Hingga, tanpa sadar satu tetes air mata mengalir melewati pipi seorang Mufi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Defi
ada apa dengan orang tua Vina.. Kana kamu hamil, Mufi beritahu Kari untuk tanggung jawab walau pasti Kana menolak
2023-10-09
1