Hari yang sama, di sisi lain kota itu, tepatnya di Bandara, sebuah pesawat mendarat dengan sangat mulus. Beberapa saat kemudian pintu pesawat terbuka.
Seorang lelaki memiliki sepasang kaki panjang membuatnya begitu terlihat sangat tinggi, memakai sepatu warna hitam pekat edisi terbatas melangkahkan kakinya keluar dari pesawat. Dia berjalan turun menuruni anak tangga dengan gagah dan caranya yang elegan.
Dengan pasti dan penuh keyakinan lelaki itu bejalan penuh wibawa. Dia mamakai setelan jas hitam slim yang begitu terlihat menawan dan melekat seperti memang diukur agar pas dengan bentuk tubuhnya tanpa cela. Terlihat sekali dadannya yang sangat bidang dan punggungnya yang segitiga jika dilihat dari arah belakang menambah nilai plus untuknya.
Dia terus berjalan menyusuri bandara, semua mata tertuju pada sosok lelaki yang tak bisa membuat mereka berpaling saat lelaki itu berjalan melewatinya. Dia begitu tinggi, tatapan matanya begitu tajam dan rambut yang rapih dengan sedikit bantuan pomade untuk membantu rambutnya agar terlihat rapih dan berkilau.
Tidak lama setelah itu, dia menghentikan langkahnya tepat di depan pintu lobi Bandara. Lelaki yang kerap di sapa Barack oleh temannya, mulai membuang pandangan ke sekitar. Sesekali melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.
Nampak sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilat yang begitu bersih berhenti tepat di depannya. Terlihat seorang supir bergegas turun dan membukakan pintu untuk Barack.
"Silakan, Tuan," ucap sopir sembari membuang senyum ke arah lelaki jangkung itu.
"Mm!" Barack hanya memperlihatkan wajahnya yang dingin tanpa ekspresi sembari naik ke dalam mobil.
Sopir segera kembali menyetir dan memacu mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Di dalam mobil, supir mulai berkeringat dingin, sikap Barack seketika membuat suasana di dalam kabin mobil terasa dingin dan canggung. Sembari sesekali melihat Tuannya yang duduk di belakang melalui kaca sepion depan sopir mengusap keringatnya.
"Dua menit tiga puluh detik, dari dulu sampai sekarang tidak ada yang berubah! Tidak bisakah tepat waktu sedikit?" ucap Barack dengan nada ketus ke pada sopir yang telat menjemputnya.
Glek! sopir hanya bisa menelan ludahnya kesusahan.
Barack sempat melirik ke kaca sepion depan memperhatikan sopirnya, tapi tak lama kemudian dia mulai sibuk membuka alat elektroniknya dengan layar 14 inch yang bertumpu di pahanya.
"E, iya, Tuan, maaf tadi–," sopir berusaha membela diri, dia merasa canggung dan bingung mencari alasan. Takut salah berbicara di depan tuannya.
"Aku tidak menerima alasan apa pun!" sahut Barack memotong pembicaraan.
Jelas sopir ketakutan, Barack seorang lelaki yang selalu ingin segala sesuatu harus sempurna. Dia pun sangat menghargai waktu, ketus, jutek angkuh, arogan, dingin super cuek itu sudah mendarah daging pada dirinya, tapi kalau sudah menyangkut soal perempuan yang dicintai, semua sifat itu luntur dengan sendirinya.
"Langsung saja menuju kantor ayah!" ucapnya sembari terus sibuk dengan laptop.
"I–iya, Tuan." Sopir segera mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.
♡♡♡
Di kampus semua tempat terlihat begitu ramai, mereka berhamburan mencari tempat duduk untuk beristirahat. Ada yang sekedar duduk, bergosip, ada juga yang mengerjakan tugas, tapi di satu sisi lain Luna dan Cici sadang menikmati santapan makan siangnya.
"Setelah selesai kuliah nanti, Gue harus ngejar cita-cita Gue dulu, lanjutin kuliah lagi keluar negeri!" ucap Cici penuh ambisi sembari membola balikkan majalah di depannya.
"Serius Lo masih pengen kuliah lagi?? Masih mau pusing-pusing mikirin rumus dan berbagai macam pasukannya? Tugas mungkin, inilah itulah ... Lo masih mau? Hah! Kalau Gue lebih baik gantung saja kepala di pohon mangga! Sekarang saja otak Gue udah buntu mikirin semuanya." Luna berucap dengan mulutnya yang penuh bakso sampai terlihat kedua pipinya mengembang.
"Lo pusing bukan karena memikirkan materi! Tapi terlalu sering memikirkan lelaki playboy itu!"
"Kadang kalau bicara Lo selalu benar ya! Dasar! Nyebelin" Luna mengakuinya.
"Hahaha ... Gue pengen banget dapet gelar yang lebih tinggi di belakang nama Gue," ucap Cici mulai membanggakan diri sambil melebarkan ke dua tangannya seperti seekor burung yang sedang mengepakkan sayap.
"Gelar apa? Gelar tiker? Wkwkwkwk." Luna memotong pembicaraan, ucapannya memang sedikit tapi langsung menusuk ke dada Cici. Tawanya puas sebagai pembalasan karena ejekan Cici sebelumnya.
"Waah jahat banget mulut Lo!" Cici masih sibuk membuka majalah di depannya. Pandangannya mulai terhenti pada sebuah gambar seorang lelaki di dalam majalah yang menarik perhatiannya. "Uuuuwwwhhh ... sumpah ini orang tampan banget! Ya ampuuunnn, Barack!! Kenapa Lo bisa setampan ini. Mungkinkah dulu saat pembagian posi ketampanan Doi berdiri di barisan paling depan sehingga Tuhan memberikan lelaki ini melebihi porsi seharusnya? Bagaimana bisa Tuhan menciptakan makhluk sesempurna ini? Membayangkan dia memeluk Gue aja kenapa Gue ngerasa nggak pantas ya!" Cici bersedih hati, sengaja mendramatisir.
"Hei-hei-hei!!! Apa-apaan Lo ini? Ekspresi Lo jelek! Kalau kata sutradara ekspresi Lo berlebihan!" Luna sepertinya masih kesal dengan Cici. Mereka saling mematahkan kebahagiaan satu sama lain.
"Berlebihan di mananya? Coba Lo lihat sendiri penampilan Barack Putra Adiwibowo CEO muda, tampan di usianya yang masih tergolong sangat muda sudah memiliki perusahaan sendiri di luar negeri ... artikel ini berhasil membuat semua orang merasa iri dengannya. Hebat, 'kan? dia!" Cici merasa bangga membaca artikel majalah tersebut.
"Bodo! Gue nggak peduli dengan apa yang ditulis artikel itu," celetuk Luna yang sama sekali tidak tertarik dengan topik pembicaraan.
"Heh, jangan kaya gitu, dia juga putra tunggal dari keluarga wibowo, itu artinya dia ahli waris dari–," Cici terus mengoceh sembari berangan angan sendiri.
"Tau ah ... ganti topik pembicaraan dong! Nggam ada yang lain apa yang lebih penting untuk dibahas?" Luna memotong pembicaraan, sambil terus mengaduk mie baksonya.
"Ya ampuuun! Lo nyebalin banget sih!" Cici akhirnya kehilangan moodnya, dia menutup kembali majalah itu. "Tapi ngomong-ngomong kalau Lo gimana? Selesai kuliah nanti ... Lo mau lanjut ke mana?" sambungnya.
Luna hanya diam melamun, tatapan matanya mulai kosong sambil terus mengaduk bakso yang ada di depannya.
"Hei!! Kenapa Lo melamun!" Cici dengan menaikkan nada bicaranya, dia sengaja membuat Luna agar sadar dari lamunan.
"Gue nggak ngelamun, hanya sedang berpikir. Lo tahu sendiri, kan? Kalau Gue pengen banget nglakuin apa pun yang Gue inginkan tapi ... orang tua Gue pengen Gue menuruti semua perintahnya. Mau gimana lagi, Gue nggak bisa menentang keinginan mereka!" Terlihat wajah Luna mulai murung dan tak bersemangat.
"Maksud Lo?" Cici sedikit bingung dengan maksud ucapan Luna.
"Ya gitulah, ayah Gue pengen agar Gue meneruskan perusahaannya, Lo tahu sendiri Gue anak satu-satunya di keluarga Gue. Kalau bukan Gue, lalu siapa lagi yang akan meneruskannya?" ucap Luna, kini dia seperti sudah mulai kehilangan semangatnya.
"Serius Lo mau nerusin usaha keluarga Lo? Dengan penampilan dan ... gaya seperti ini? apa semua pegawaimu nggak melarikan diri? Hahahah." Nada bicara Cici terdengar santai namun terdengar sangat menjengkelkan di telinga Luna.
"Wah wah ... jahat sekali, Lo! Lo mau balas dendam ya!" Luna mulai jengkel dan melempar garpu ke atas meja sembarangan.
"Hahahahah ... puas Gue!" Cici semakin puas tawanya setelah berhasil membalas ucapan Luna.
♡♡♡
Di tempat lain, di perusahaan keluarga Wibowo di mana semua orang sibuk bekerja dengan urusan masing-masing, Barack mulai melangkahkan kakinya menuju lobi kantor menuju ke arah lift.
Alat berat itu mulai bergerak membawa Barack dari lantai dasar menuju ke lantai 10. Sesaat kemudian lift pun berhenti dan pintunya terbuka lebar, Barack melangkahkan kakinya keluar menuju ke sebuah ruangan.
Tok tok tok!!
kepribadiannya memang angkuh, tapi Barack tetap mempunyai sikap sopan santun, dia mengetok pintu kantor ayahnya sebelum masuk ke dalam.
"Ya! Masuklah" suara berat Pak Wibowo dari arah dalam mempersilakan Barack untuk masuk ke ruangannya.
Barack masuk dan membuang senyum tipis ke arah ayahnya.
"Barack, putraku, bagaimana kabarmu? Dan bagaimana perkembangan perusahaanmu di sana?" Pak Wibowo beranjak dari tempat duduknya menyambut kedatangan Barack dengan pelukan hangat.
"Seperti yang Ayah lihat, aku baik-baik saja, dan yang pasti begitu juga dengan perusahaanku." Barack menjawab singkat di selingi senyum tipis yang menghiasi bibir.
"Ayah sudah menduganya kalau kau pasti bisa melakukannya, tapi ingat jangan pernah mencoreng nama keluarga kita, oke!" ucap Pak Wibowo memperjelas dan memberi tekanan di kalimat terakhir agar Barack tetap fokus dengan perusahaan serta tujuannya.
Mendengar ucapan ayahnya senyum tipis di wajah Barack menghilang dan ekspresi wajahnya mulai berubah tegang. "Baiklah," jawabnya pendek.
"Kamu sudah bertemu dengan Ibumu?" tanya Pak Wibowo sambil duduk kembali di kursi kebesarannya.
"Aku rasa Ayah sudah cukup dengan baik menjaga Ibu selama aku di luar negeri?"
"Kelihatannya bagaimana? hahahahah ... baiklah. Oh ya, ada hal penting yang ingin Ayah dan Ibu bicarakan denganmu." Pak Wibowo melepas kacamatanya.
"Hmm, baiklah Ayah ... kita bertemu di makan malam dan akan membahasnya. Sekarang aku pamit pergi dulu, sudah ada janji dengan seseorang."
"Oke, jangan terlambat," ucap Pak Wibowo di penuhi rasa kekhawatiran yang mendasar.
Barack hanya tersenyum tipis saat meninggalkan ruang kerja ayahnya. Menuju ke lift dengan ekspresi wajah yang begitu dingin dan pandangan mata tajam. Dari ekspresi wajahnya menggambarkan seolah Barack sangat menahan tekanan dari ayahnya mengingat kembali ucapan pak Wibowo yang lebih terdengar seperti ultimatum baginya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 396 Episodes
Comments
Sarini Sadjam
barack sama luna...
2022-09-27
0
Nci Musniati
cici ayo ajak luna kesalon ganti kaca matanya pake lensa biar cauntttiek
2021-02-12
0
La Tahzan
barack pasti mau nemuin q,, q mau mand dulu ahh,,😁😁😁
2020-08-25
2