Kembali ke masa sekarang, bahkan ketika mereka menginjak dewasa, Luna tetap memiliki perasaan pada Aryo.
Pagi itu Luna berjalan melewati koridor menuju kelasnya, kelas bahasa asing. Kelas masih sepi belum terlalu banyak anak yang datang.
Saat akan memasuki ruang kelas, Luna menghentikan langkahnya di depan pintu masuk, dia terkejut melihat sosok lelaki yang sedang duduk di bangku barisan belakang. Tanpa berpikir panjang dia melangkahkan kakinya mundur ke belakang perlahan.
Bersembunyi di balik tembok untuk mengintai lelaki itu. "Itu benar dia, bukan? aku tidak salah lihat, 'kan?" gumamnya, Luna mengedip matanya dan sesekali membenarkan kaca mata lalu dia kembali mengintip dari sela jendela kaca perlahan.
"Hayooo!!!" Cici tiba-tiba datang menepuk pundaknya mengejutkan Luna, seketika buku yang tertata rapih di tangannya berhamburan jatuh ke lantai.
"Iiihhhh, Lo sengaja mo bikin Gue cepet mati?! sengaja bikin Gue jantungan, ya? Dasar, Lo bikin Gue terkejut aja?!" Luna marah sembari membereskan bukunya yang berjatuhan.
"Ya sorry ... Lagian kenapa Lo berdiri di depan pintu nggak jelas kayak gini? Kaya orang ogeb ... Lo lagi nguntit siapa?" Cici bertanya penasaran sambil mencoba membuang pandangannya ke dalam ruang kelas.
"Itu ... coba lihat, itu benar Aryo, kan? atau Gue yang salah lihat? Apa perlu Gue ganti kaca mata?" ucapnya sembari melepas kacamatanya, membersihkan dan terus memakainya lagi.
Hhuuuft! Cici menghela nafas panjang terlihat sangat kesal karena Luna masih tak bisa move on dari lelaki itu. "Iya emanh bener itu Aryo, kenapa emangnya?" Cici membenarkan ucapan Luna sambil mengerutkan dahi.
"Yeessss ... Tuhan bener-bener tahu apa yang di inginkan hambanya." Luna berucap dengan penuh kegembiraan sambil menghentakkan kaki layaknya seorang anak.
Memang dasar Luna, sifat bucinnya mulai bergejolak. Kemana Aryo mengambil kelas, Luna selalu mengikuti. Tapi karena cita-citanya ingin menjadi desainer berkelas, dia memilih tambahan kelas bahasa asing untuk menunjang karirnya nanti.
Untuk kelas yang satu ini, Luna benar-benar tidak tahu kalou Aryo juga ikut kelas bahasa asing. Maka dari itu dia merasa histeris saat mengetahui Aryo juga berada di kelas yang sama dengannya.
"Aduh-aduuh kaya anak kecil yang baru aja dapet mainan baru, Lo sama sekali nggak pantang nyerah sama yang satu ini! Kalau Gue jadi Lo ... udah Gue hempas jauh-jauh itu lelaki playboy dari dulu! Yang lain masih banyak, 'kan?" Cici merasa kesal melihat tingkah Luna yang begitu memuja Aryo .
"Seharusnya Lo bangga memiliki sahabat yang pantang menyerah kaya Gue! Lo seharusnya beri Gue semangat ... Lo nggak suka liat teman Lo ini bahagia?" Luna mulai cemberut.
"Lagi pula ya, coba Lo liat perempuan yang berada di sekitar Aryo, mereka selalu mengekor kemana pun dia pergi, mereka keliatan–," ucapnya terhenti, Cici tak tega melanjutkan kalimatnya saat melihat wajah Luna mulai murung.
"Iya-iya! Gue tahu Gue jelek, penampilan Gue buruk! Gue nggak bisa dandan, Gue tidak bisa merawat diri, terus apa lagi!" Luna mulai jengkel, mengumpat untuk dirinya sendiri.
"Em ... itu, sebenarnya bukan gitu maksud Gue, Lun ... tapi–," Cici mencoba menenangkan.
"Tapi Lo lihat aja nanti, Gue bakal berusaha jadi seperti apa yang Aryo inginkan!" ucapnya menyemangati diri sendiri.
"Gimana? Lo bakal berubah jadi cantik? Pergi ke salon, misalnya? Iya?" cibir sahabatnya agar Luna mau pergi ke salon, bawasannya dia memang tergolong perempuan yang malas dan cuek soal penampilan.
"Hahh!! Kenapa harus ke salon? Lo tau sendiri kalau Gue bener-bener sangat males pergi ke tempat kaya itu. Tapi lihat aja nanti, Gue nggak bakal menyerah, kalau jadi diri sendiri nggak bisa bikin Aryo menyukai Gue, maka Gue harus jadi seperti orang lain, maksut Gue, harus berubah cantik!"
"Itu sama saja!! Dasar bodoh iiihhh." Cici mulai kesal saat melihat Luna selalu mengagung-agungkan Aryo.
"Kita lihat saja." Luna penuh percaya diri.
Dia pun melangkahkan kakinya perlahan memasuki kelas, sebelumnya dia sempat berhenti dan meletakkan tumpukan buku itu di atas mejanya, tidak lama setelah itu dia kembali berjalan perlahan menuju meja dimana Aryo dan teman-temannya sedang bercanda gurau.
Sementara itu Cici hanya diam dan menggelengkan kepala. Serta melihat tingkah Luna dari mejanya.
Jantungnya mulai berdegub kencang, aliran darahnya dari kaki menuju kepalanya terasa mulai semakin memanas, Luna terus mencoba mengatur nafas perlahan saat semakin lama semakin dekat posisinya dengan Aryo.
"Hei!" Luna memberanikan diri menyapa.
"Kenapa Gue merasa dejavu?!" Hal itu mengingatkan kejadian di masa lalu. Aryo kemudian bangkit berdiri dari tempat duduknya. Dia sama sekali tidak menatap ke arah Luna. Setelah mengambil tas ranselnya dia mulai berjalan melawatinya begitu saja.
"KENAPA??" seru Luna, suaranya menggema di ruang kelas membuat Aryo terpaku. "Sebegitu menjijikan, 'kah? Aku di matamu sampai Kamu tidak mau melihat ke arahku," kata-katanya berhasil menarik perhatian Aryo.
Lelaki itu memutar tubuhnya, kemudian berjalan mendekati Luna. "Kenapa? Lo tanya sama Gue, kenapa? Lo nggak sadar Lo bersikap kaya gini sejak SMP? Lo nggak bosan apa! Gue saja muak ngeliat tingkah Lo. Kalau Gue suka sama Lo, udah dari dulu Gue lahap juga, Lo. Dan Lo tanya sama Gue, kenapa? Seharusnya Lo tanya sama diri Lo sendiri, kenapa seorang lelaki ... oh nggak, bahkan seekor lalat pun nggak mau hinggal di rambut Lo itu. Dan Lo masih tanya sama Gue kenapa Gue Nggak mau natap Lo? ahh ... ya ampuunn apa Lo nggak sadar Lo begitu menji–,"
"Cukup hentikan!!!" sahut Cici memotong pembicaraan.
Aryo pun menoleh ke arah suara itu berasal.
Plak!!! Cici menampar Aryo dengan sangat keras.
Aryo hanya tersenyum tipis sembari memegangi pipinya yang masih terasa panas setelah mendapatkan tamparan.
"Ucapan Lo itu udah keterlaluan! Inikah sikap seorang lelaki yang di puja-puja oleh kaumnya?? Kalo Lo nggak suka, ya bilang aja nggak suka. Selama ini dia berjuang demi ngedapetin perhatian Lo! Nggak setahun dua tahun ... tapi bertahun tahun! Bagi Gue Lo yang lebih menjijikkan!!" Nada bicaranya begitu dipenuhi emosi saat melihat temannya di perlakukan seperti itu.
"Dasar kurang ajar Lo!" Salah satu teman Aryo berusaha membalas tamparan Cici namun di halau oleh Aryo.
"Stop!" Aryo menahan tangannya dengan kuat.
"Au, Aryo ... Lo terlalu kuat, tangan Gue sakit" rintih temannya, sembari berusaha melepaskan paksa tanganya.
"Kenapa? Kenapa Lo hentikan? biarin dia bales tamparan Gue? Atau Lo pengen nglakuinnya sendiri? Lo pengen menampar Gue, hm?? Nih ... disilakan!!!" Cici tak memiliki rasa takut sedikitpun, dia bahkan mempersiapkan diri melangkah mendekati wajah Aryo dan mendekatkan pipinya tepat di depan wajah Aryo.
Aryo terpaku, bukannya membalas tamparan itu kini justru pikirannya buyar karena aroma wangi dari tubuh Cici menyerbak tercium bebas olehnya.
"Kenapa Lo diam aja!" suara Cici membuyarkan lamunannya.
Aryo bergidik, setelahnya kembali fokus dengan permasalahannya. "Dengar ya!! Lo berhutang satu tamparan sama Gue! Dan bilang sama teman Lo itu untuk berhenti mengejar Gue!" ucap Aryo sambil berlalu.
"Dulu Kamu sendiri yang bilang kalau Kamu ngijinin aku agar bisa terus mendekatimu! Sampai bisa membuatmu menyukaiku, tapi–" ucapnya terhenti karena dadanya terasa sesak. Luna berusaha dengan keras untuk bersabar dan membela diri, Aryo pun menghentikan langkahnya.
"Lo pikir Gue serius dengan ucapan Gue waktu itu?" Aryo memotong ucapan Luna sembari berjalan mendekat ke arahnya, kemudian menghela nafas panjang. "Gue bener-bener udah muak dengan tingkah Lo yang kaya gini, jadi lebih baik Lo nyerah," tambahnya sambil berlalu meninggalkan Luna.
Begitu juga dengan para perempuannya yang terus mengekor di belakang sambil membuang senyum sinis ke arah Luna.
"Gila ya! Lihatlah sikap lelaki yang selama ini Lo perjuangkan, parah!!" Cici mulai menenangkan Luna yang sedari tadi hanya diam mendengar ucapan Aryo saat menghina dirinya.
"Lun? Luna! Lo nggak apa-apa, 'kan? Lun? Jangan diam aja!" Cici mencoba berbicara pada Luna yang terus melamun.
Pandangan Luna mulai kosong, dia menutup matanya yang berkaca dan kini air itu mulai menetes. Dia jatuh terduduk di kursi yang ada di belakangnya.
"Lo udah denger semuanya, kan? Ucapan dari lelaki yang paling Lo puja! Udahlah Lun, nggak usah mikirin lelaki kek gitu. Lebih baik kau fokus, fokus dan fokus dengan masa depan Lo." Cici menunduk sambil memegang tangan Luna mencoba meyakinkannya.
"Lo benar, Gue nggak boleh seperti ini terus." Luna mengusap air mata yang membasahi pipinya.
"Benar, Lo harus terus fokus dengan–," Cici mengepalkan tangannya penuh semangat namun ucapannya terputus.
"Gue harus terus fokus pada Gue sendiri untuk lebih bertekad berubah menjadi cantik seperti yang Aryo inginkan," ucap Luna penuh dengan semangat menggebu-gebu.
"Hhaaaaa?" Cici mulai putus asa karena sahabatnya itu. "Luna apa Lo udah gila! Kenapa Lo jadi semakin bersemangat!!!" Cici mengacak-acak rambutnya sendiri, karena mulai frustasi dengan sikap sahabatnya yang tidak pernah mau menyerah dengan Aryo.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 396 Episodes
Comments
erinatan
Luna emang SGT bodoh
2024-02-22
0
MamahMayang
kasihan lun.permak lh bodi mu lun.biar cantik.klo sudah cantik jangan mau sama Aryo.
2021-12-05
0
Selvi Tyas
sebagai perempuan aku maluuuu lihat luna🤦♀️🤦♀️🤦♀️
2021-06-27
1