Seorang gadis tiba-tiba saja muncul tepat dihadapanku. Membuatku terkejut karena tak menyadari kedatangannya.
"Eh ada apa? Kok kaget gitu? Hayoo lagi mikirin apa?" tanya Kaila yang entah sejak kapan. Dirinya malah jadi Dokter kesehatan pribadiku.
"Aish ngagetin aja sih! Lain kali kalau masuk, di ketuk dulu pintunya! Diajarin gak sih sama Kakak kamu?!" cemoohku penuh akan emosi, yang malah membuatnya terkejut.
"M-maaf ... tadi udah aku ketuk tauu, cuman pintunya gak ditutup makanya aku masuk--"
"Bawel banget sih! Tck, yaudah kamu mau apa sekarang?" ucapku ketus.
"I-ini vitamin buat kamu, kata Kakak agenda kamu hari ini banyak--" jawab Kaila yang belum sempat dia selesai langsung pergi begitu saja sambil menaruh botol berisikan vitamin di atas meja karena tak sanggup menahan tangisnya.
"Aish anak itu..."
Karena apa yang terjadi barusan, aku menjadi sedikit bersalah sekarang. Semua ini terjadi gara-gara aku melamun memikirkan laboratorium yang aku masuki semalam.
...-...
...--...
...-...
Di Aula Singgasana aku membaca beberapa laporan yang mengatakan bahwa masyarakat yang mempelajari sihir mengalami cacat fisik secara permanen di hari-hari berikutnya paska masalah pada aliran Energi Mana terselesaikan. Namun untuk kasus-kasus tertentu seperti Evan, dirinya tak mengalami perubahan fisik apapun yang membuatku sedikit penasaran tentangnya.
"Mungkin itu terjadi karena aku tak menyerap Energi Mana," ucap Evan memberitahu.
"Hmm kau benar," sahutku.
"Lucky bastard!" cibir Doni yang mulai membakar cerutunya.
"Baiklah, apakah ada laporan lain?" tanyaku ke arah Victor.
"Jika diperkenankan Ratu Elf ingin bertemu dengan kalian," jawab Victor.
"Oh ... sang Ratu~ Baiklah. Aku mengizinkannya," ucapku.
Lalu tak butuh waktu lama sebelum akhirnya seorang gadis yang memiliki kaki panjang dan terlihat cantik itu mulai melangkah masuk ke dalam Aula Singgasana. Sontak mata kami terbuka lebar akan kedatangannya itu.
"Hoehoehoe~ Selain pakaiannya yang pink, kira-kira apa lagi yang pink?" ledek Doni yang membuat kami mulai senyum-senyum sendiri setelahnya.
"Aish anak ini," gumamku menahan tawa.
"Terima kasih atas kebaikan kalian dan telah memperlakukanku dengan sangat baik selama merawatku di rumah sakit," ucap sang Ratu yang mulai berlutut tepat di hadapan kami.
Dirinya terlihat sedikit terpaksa melakukan hal itu. Namun tak memiliki pilihan lain selain untuk tunduk di hadapan kami, sang Penguasa.
"Ho~ Walaupun begitu ucapan terima kasih saja tak akan pernah cukup!" ucapku menuntut lebih.
"Lalu apa yang kau mau?" tanya sang Ratu.
"Pake nanya," jawab Doni yang mulai menatap rendah gadis itu.
"A-aku akan menikahi kalian supaya hubungan politik antar Kerajaan terjalin dengan baik," ucap sang Ratu sedikit ragu dengan keputusannya itu.
"Aku menolak!" tegasku.
"Huh ... kenapa?" tanya Evan.
"Aku tahu betapa liciknya seorang Elf. Bahkan menjadikannya sebagai seorang Selir sekalipun adalah pilihan terburuk yang pernah ada, karena umurnya yang relatif panjang, cepat atau lambat dia akan mengambil alih singgasana kita. Itulah mengapa jangan terberdaya dengan ucapan Elf rendahan sepertinya," hinaku.
"Oh begitu rupanya," ujar Evan. "Kalau begitu gunakan saja gadis ini untuk memeras Kerajaan Elf--"
"A-aku khawatir kalian tak akan mendapatkan apapun," potong sang Ratu.
"BERANI SEKALI KAU MEMOTONG PEMBICARAAN KAMI!!" tegas Doni terpancing emosi.
"Tenang kawan," ucapku ke arah Doni. "Apakah ada alasan khusus?" tanyaku ke arah Elf itu.
"Dalam silsilah Kerajaan Elf. Mustahil bagi para pria untuk menjadi penguasa disaat anak gadisnya masih hidup. Jika aku kembali ke Istana tanpa seluruh Pasukanku, maka aku akan mati. Pangeran Pertama dan Kedua sudah sejak lama merencanakan pembunuhanku namun kerap kali gagal," jawabnya. "Bahkan setelah menguasai Kerajaan sekalipun. Mereka tak akan pernah mengirim Pasukan untuk menjemputku pulang," lanjutnya sedikit menghela nafas.
Itu berarti krisis politik tengah terjadi karena ketiadaannya di Kerajaan Elf.
"Jika kau kembali ke Kerajaanmu sekarang, kau akan mati. Namun jangan harap kau dapat hidup enak jika tinggal di tempat ini," ucapku.
"Benar! Statusmu tak lebih sebagai seorang budak rendahan," sahut Doni. "Oleh sebab itu, ketahuilah batasanmu!" tegasnya.
"Namun karena kerendahan hati kami. Kau akan menjadi budak Istana," ucapku.
"Namun budak tetaplah budak!!" tegas Doni memberitahu posisinya.
"Akan aku terima apapun takdir yang menantiku. Bahkan akan aku serahkan jiwa, raga, dan tubuh suciku ini untuk kalian. Aku tak akan pernah membeci kalian dan keputusan kalian!" ucapnya merasa putus asa.
...Selanjutnya aku mulai melambaikan tangan. Memberikan sebuah tanda agar para Pengawal segera membawanya pergi meninggalkan Aula Singgasana....
"Kapan dia siuman?" tanyaku penasaran ke arah Victor.
"Saat kudeta terjadi. Ledakan bom dari pesawat fighter telah menyadarkannya," jawab Victor.
"Oh menarik..." ujar Evan.
Gadis itu memiliki rambut pirang yang panjang. Kulitnya seputih salju dan wajah secantik Ratu-- tidak dia memang seorang Ratu.
"Dia lebih tinggi dari kita," sahut Evan merasa malu.
"Yah aku tak suka cewek berkaki panjang," ujar Doni.
"Aku sih fine-fine aja," ucapku sedikit tersenyum nakal ke arah mereka berdua.
"Nyenyenyenye~" ledek Evan yang membuatku terkekeh geli setelahnya.
...-...
...--...
...-...
Setelah agenda yang ada di Aula Singgasana telah selesai. Aku menahan tangan Evan saat ia ingin melangkah pergi.
"Hmm ... ada apa?" tanya Evan.
"Adikmu dimana?" tanyaku ragu.
"Oh tumben banget nyariin dia. Biasanya sih dia ada di taman," jawabnya singkat.
"Oh makasih," ucapku singkat yang langsung melangkah pergi begitu saja.
Selanjutnya aku mulai pergi untuk mencari Victor di ruangannya. Sebuah ruangan yang terdiri dari berbagai macam rak buku dan kamar yang terlihat nyaman.
"Oh apakah aku mengganggu waktu istirahatmu?" tanyaku disaat dia tengah mencari beberapa buku.
"Oh Yang Mulia! Tentu saja tidak, ada yang bisa aku bantu?" tanya Victor.
"Emm..." ucapku ragu. "Tolong beliin boneka dong," lanjutku yang membuatnya tersenyum.
"Saya ingin membantu namun sayang. Pabrik boneka belum tersedia, namun saya memiliki saran lain. Bagaimana jika setangkai bunga mawar?" tanya Victor.
"Hmm boleh! Dan satu lagi, jangan biarkan orang lain tahu. Paham?" tanyaku ragu.
"Tentu Yang Mulia. Tenang saja! Selagi aku mencari, tolong tunggu di tempat ini."
Lalu selama beberapa saat aku menunggu di dalam kamarnya. Aku mulai melihat beberapa buku di rak dan tanpa sengaja menemukan sebuah buku harian dengan sampul berjudul 'Demi milyaran bintang'.
"Hmm..." gumamku.
Seorang pria yang menulis buku harian, bukankah itu sedikit menarik? Walaupun aku penasaran dengan isinya, setidaknya aku tahu apa itu privasi dan memutuskan untuk tidak membaca buku itu sampai akhirnya Victor datang sambil membawa setangkai bunga mawar merah.
"Oh makasih," ucapku yang dengan cepat langsung pergi menuju ke sebuah taman besar yang letaknya ada di belakang Istana Negara.
Selama beberapa saat mencari, aku bertemu dengan beberapa Penjaga dan Tukang Kebun. Selama beberapa saat aku mulai bertegur sapa dengan mereka dan selanjutnya mulai menanyakan keberadaan Kaila.
Sesuai dengan yang diberitahu oleh mereka. Rupanya Kaila tengah berada di tepi danau, memberi makan angsa-angsa yang sedang ada di sana.
Lalu depan perasaan hati yang berdebar kencan tak karuan. Aku mulai melangkah mendekatinya.
"Kaila!" ucapku yang membuatnya menengok ke belakang. "A-aku minta maaf. Nih buat kamu!" ucapku ragu memberikan setangkai bunga mawar ke arahnya.
Namun Kaila yang melihat hal itu malah terlihat terkejut dan entah kenapa merasa ragu untuk menerimanya.
"Cepetan ambil!" ucapku emosi.
"Ish iya-iya," jawabnya menahan malu yang dengan cepat langsung melangkah pergi begitu saja setelahnya.
...(Astaga! Niat hati buat minta maaf, malah aku marahin lagi orangnya.)...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments