Chapter 10

Api besar melahap pepohonan yang menghalangi jalannya. Berkat perhitungan yang tepat, asapnya tak menyebar menuju ke arah kota.

Namun sayang, tak lama setelahnya badai besar datang mengguyur dan sebuah sungai meluap karenanya, sehingga menimbulkan kehancuran besar-besaran di sepanjang tepiannya. Para Elf percaya bahwa banjir di Hutan Suci adalah pertanda bahwa malapetaka akan segera datang dan untungnya kami sama sekali tak dirugikan akan hal itu.

Di kota, kami menulis angka di setiap pergelangan tangan para Elf yang menyerah. Memberikan tanda dan bekas pasti bahwa kini, mereka bukan lagi makhluk bebas.

Melainkan masyarakat kelas ketiga yang tak lebih sebagai seorang budak yang hidupnya hanya untuk makan, tidur, dan bekerja tanpa di upah.

Aku tak menyangka pembangunan kembali kota berjalan cukup cepat. Para Elf yang dipaksa bekerja justru menghargai tindakan kami, karena selama mereka bekerja kami selalu memberi mereka makan dan waktu untuk beristirahat dengan cukup. Sehingga pandangan buruk mmereka secara perlahan mulai berubah.

Namun ada sedikit drama di kota. Ketika si Kepala Suku yang sebelumnya kita tangkap itu mulai melangkah keluar ke ranah publik, para Elf yang lain mulai mengolok-oloknya, menyebutnya sebagai seorang pengecut yang takut mati dan aib bagi para Elf karena lebih memilih untuk menjadi boneka bagi para Manusia.

Padahal akulah yang mengancam gadis itu. Jika saja dirinya tidak menuruti perkataanku, maka para Elf yang menyerah sekarang akan dibantai hidup-hidup tepat dihadapkannya secara langsung. Apalagi kata-kata dari Ketua Suku lebih dihargai daripada pengalaman dan pemikiran pribadi para Elf sehingga tak sulit bagiku untuk mengatur sekelompok Elf bodoh seperti mereka melalui ucapan Ketua Suku yang tak lebih sebagai boneka.

"Jadi bagaimana jika sejarah peradaban itu palsu? Bagaimana jika para Penulis sejarah adalah seorang pembohong?" tanyaku ke arah Victor disaat aku tengah melihat pembangunan kembali gedung pencakar langit secara langsung dengan menggunakan metode yang lebih rumit dikarenakan keterbatasan teknologi paska perang.

"Tak ada yang tahu pasti dan bisa membuktikan apakah sejarah peradaban itu benar-benar palsu," jawab Victor.

"Jadi apa yang akan kau lakukan?" tanyaku penasaran.

"Plan A, menjadi warga biasa. Atau Plan B, menjadi sepertimu."

Sontak karena jawabannya barusan aku tertawa puas. Aku benar-benar tak menyangka jika dirinya akan mengatakan hal itu.

...-...

...--...

...-...

Aku tak menyangka Pasukan Kerajaan akan bergerak secepat ini. Mereka mengira bahwa kota ini adalah reruntuhan kuno yang baru ditemukan dan kini tengah ditingali oleh para Manusia.

Memang benar jika kota ini terlihat seperti reruntuhan akibat perang, namun siapa sangka jika mereka akan mengirim banyak Pasukan setelahnya.

Bahkan dipagi buta aku dipaksa bangun dari tidur untuk ikut bersama dengan Doni menuju ke medan perang. Sehingga tanpa persiapan apapun dan dalam keadaan rambut yang sangat berantakan, aku sampai di medan perang.

Di sebuah padang rumput yang sangat luas, aku sedang duduk dibelakang para Prajurit yang tengah berbaris sambil ditemani oleh Evan yang berjaga di belakang.

"Jadi kenapa kau menarikku sampai ke tempat ini?" tanyaku ragu ke arah Doni yang tengah sibuk mengatur formasi.

Bahkan di kejauhan, aku dapat melihat Pasukan Elf dengan zirah besinya tengah melangkah mendekat sambil berbaris secara teratur. Kebanyakan diantara mereka membawa tombak dan menaiki kuda. Jelas jumlah mereka lima kali lebih banyak dari Pasukan kami saat ini.

"Kenapa kau hanya membawa sedikit Pasukan, bedebah?!" ucapku panik.

"Tenanglah. Kebetulan sekali, seorang Ratu yang berasal dari Kerajaan Elf melakukan ziarah ke Hutan Suci dan siapa sangka jika kita akan bertemu dengan mereka sekarang," ucap Doni menjelaskan. "Ratunya bahkan sangat cantik, lihatlah!" lanjutnya yang memberikan teropong ke arahku.

"T-tidak perlu. Masalahnya mereka punya gajah," ucapku semakin khawatir akan realitas yang ada.

"Kita juga punya tank," ucap Doni meremehkan.

...(Oh astaga anak ini!)...

Setelah Pasukan musuh dan Prajurit kita berbaris saling berhadap-hadapan. Dapat terlihat jelas betapa kuno senjata dan pakaian yang digunakan oleh Pasukan Elf. Jelas pedang dan tombak tak akan mampu melawan senjata api.

"Hmm..." gumamku.

Aku baru sadar jika posisiku duduk saat ini sangatlah mencolok. Sialan Doni, bagaimana jika aku yang malah diincar pertama kali?

"Wahai Manusia! Ini adalah sebuah ultimatum. Kalian semua diberi waktu hingga tengah hari untuk menyerah, Pasukan kalian tak akan mampu mengalahkan Pasukan Kerajaan kami beserta isinya. Bagi mereka yang menyerah sebelum tengah hari, maka Yang Mulia Ratu akan berbelas kasihan kepada kalian dan memberikan kematian tanpa rasa sakit!" ucap salah seorang delegasi Elf yang membacakan beberapa titah dari kejauhan.

Setelah mendengar hal itu, Doni melangkah mendekat ke arah mereka dan mulai membacakan seutai kertas lusuh yang ia keluarkan dari dalam saku celananya.

"Blup blup blup blup! Blup blup blup~" ucap Doni yang membuat kami semua terkejut saat mendengarnya.

"Pfffft~" bahkan Evan nyaris tertawa karena hal itu.

"Yang Mulia Agung kami akan memberikan kalian waktu untuk menyerahkan sang Ratu, jika kalian menolak maka Kerajaan kalian beserta seluruh isinya akan mendapatkan sebuah kutukan yang berasal langsung dari langit!" lanjutnya yang kemudian mulai melangkah mendekat ke arahku.

"Apa-apaan itu? Lalu kenapa harus Ratunya?" tanyaku ragu.

"Evan berkata tak baik melakukan perang berkepanjangan," jawab Doni.

"Oh tumben kau menyetujui pendapatnya," ucapku.

"Aku selalu menyetujui pendapatnya namun dia tak pernah menyetujui pendapatku," ucap Doni tersenyum tipis ke arahku.

"Walaupun begitu aku selalu bersikap profesional. Tak seperti dirimu," sahut Evan.

"Oh benarkah? Lalu beraoa jumlah Penyihir yang ada di rombongan itu?" tanyanya penasaran.

"Tak banyak. Namun Energi Mana mereka bukan kaleng-kaleng," jawab Evan yang entah kenapa masih dapat merasa tenang.

Lalu kami semua saling menunggu hingga tengah hari tanpa ada yang bergerak dari posisinya sedikitpun. Aku paham betul kenapa kita saling tunggu, Pasukan Elf jelas akan kelelahan karena baju zirah yang mereka gunakan. Bahkan kuda-kuda mereka terlihat akan pingsan sewaktu-waktu.

Kemudian seorang Ratu yang tengah menunggangi gajah perang mulai bangkit dari duduknya. Ini pertama kalinya aku melihat gajah perang yang dihias dan memiliki rengga alias tempat duduk di punggung gajah yang biasa digunakan untuk mengangkut orang penting dalam pertempuran atau perburuan.

"Kalian Manusia telah menyia-nyiakan kesempatan yang aku berikan. Jangan salahkan aku jika mulai bersikap kejam!" ucapnya yang diakhiri dengan sebuah tiupan trompet setelahnya.

Secara perlahan, pasukan bertombak mereka mulai melangkah maju. Namun Doni yang mengetahui hal itu hanya menepuk pundakku dan berbisik "V-1."

Dalam sekejap aku tersenyum bahagia. Aku lupa jika saat ini kami memiliki roket generasi pertama yang tersimpan rapi di tempat penyimpanan bawah tanah kota, sepertinya Dokter Octo tengah mempersiapkan mereka untuk sebuah serangan kejutan.

"Mwehehe~"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!