Pagi harinya, Prajurit yang di tugaskan untuk menginterogasi seorang Elf datang sambil membawa sebuah kabar baik.
"Totalnya ada 17 suku Elf di hutan ini, semuanya saling berselisih sebelumnya. Namun disaat mereka tahu bahwa ada pemukiman manusia di Hutan Suci, kini mereka semua sepakat untuk bekerjasama dan berencana untuk menaklukkan kota ini. Langkah awal mereka adalah mengirim beberapa Kesatria Elit mereka menuju ke arah kota untuk memperhitungkan jumlah kekuatan kita secara pasti," jelas seorang Prajurit.
"Oh begitu rupanya ... lalu kenapa dengan gadis itu?" ucapku ragu saat mereka membawa seorang Elf yang terlihat linglung.
"Dia tak sanggup menahan teknik interogasi kami," jawab seorang Prajurit yang membuatku sedikit melirik ke arah Dokter Octo.
"Meh~ Barang rusak berikan saja ke barak," jawabnya.
"Aku menolak," sahut Evan merasa khawatir akan keadaannya. "Kita belum tahu pasti apa yang akan terjadi jika orang-orang kita mulai mencicipinya, b-bukankah Elf ini masih bisa dimanfaatkan untuk hal lain?" tanya Evan mencoba untuk melindungi gadis itu.
"Cepat atau lambat gadis itu akan mati. Bahkan mahluk rendahan seperti mereka tak seharusnya dikasihani," cibir Doni merendahkan Elf itu.
"Kalau begitu membuangnya ke barak bukanlah sebuah jawaban," ucap Evan.
"Oh ada yang berlagak sok menjadi pahlawan sekarang," ucap Doni.
"Apa kau bilang?!" tanya Evan terpancing emosi.
"Cukup," potongku. "Aku akan membawanya saat pengumuman kenegaraan nanti. Apa yang terjadi pada gadis ini akan diputuskan setelahnya," lanjutku yang mulai mempersiapkan diri di depan cermin.
Huh ... diperkirakan akan ada setengah juga orang yang akan menghadiri Istana Negara nanti. Belum lagi karena Evan, listrik sudah kembali normal dan pengeras suara sudah dapat digunakan. Karena itulah sekarang aku menjadi sedikit khawatir jika sewaktu-waktu malah membuat kesalahan.
...-...
...--...
...-...
Di atas sebuah balkon Istana Negara yang dihadiri oleh banyak sekali orang. Dengan tangan yang bergetar hebat aku memulai sebuah pidatoku dengan sambutan hangat dan berapi-api dari banyak orang.
"Atas keterbukaan informasi. Dengan ini kami menyatakan bahkan saat ini kita tidak lagi berada di bumi!" ucapku yang kemudian menarik seorang Elf ke hadapan banyak orang. Sehingga banyak dari mereka yang malah terkejut saat pertama kali melihatnya, "dia adalah Elf. Penduduk asli dunia ini, namun kalian tak perlu khawatir akan keberadaannya, karena kita sebagai manusia lintas dimensi akan melakukan ekspansi skala besar di dunia baru ini dan Elf rendahan seperti mereka akan menjadi mahluk pertama yang akan melayani kita!! Oleh sebab itu, jangan takut dan khawatir akan apa yang terjadi di masa depan nanti. Karena mulai saat ini ... Republik Nusantara secara resmi mendeklarasikan dirinya di dunia baru ini. Hidup Nusantara..." ucapku lantang yang diakhiri dengan kemeriahan banyak orang.
"Hidup Nusantara!!"
"Hidup Nusantara!!"
...(Aish omong kosong macam apa ini?)...
Kupikir pidatoku akan membingungkan banyak orang. Itulah mengapa aku hanya mengatakan apa yang ada di dalam kepalaku tanpa menfilternya lagi, karena aku berniat untuk mengirim beberapa delegasi ke seluruh penjuru kota agar mereka dapat memberikan penjelasan lebih rinci lagi.
"Wes mantep!" ucap Doni menyambutku.
"Not bad," ujar Evan.
...*Brak!*...
Secara mengejutkan ada yang melempar batu namun bukan ke arah kami, melainkan ke arah Elf itu. Dengan sigap para Prajurit langsung menarik gadis itu pergi dari hadapan publik.
"Ho~ Sepertinya benih-benih kebencian sudah tertanam di otak mereka," ucap Dokter Octo merasa senang akan hal itu yang tak lama kemudian mulai melangkah pergi meninggalkan kami.
"Kenapa harus Republik?" tanya Doni sedikit merasa kecewa.
"Sudahlah ... urusan politik dan tata kelola negara dapat kita bicarakan nanti," ucapku yang kemudian menepuk pundaknya.
...-...
...--...
...-...
Di dalam Istana Negara. Kami mengadakan rapat dadakan. Mayoritas orang yang sebelumnya telah menghadiri pidato kenegaraan rupanya dapat menerima informasi yang aku berikan, mereka malah merasa lega karena tak harus menanggung rasa malu akibat kalah perang dan berencana untuk membangun kembali kota.
"Maaf ... tapi aku memutuskan untuk pensiun. Karenaku, negara tercinta kita kalah perang dan masyarakat tidak buta akan hal itu," ucap Mantan Perdana Menteri yang dengan cepat langsung melangkah keluar dari dalam ruangan.
Tak lama kemudian, seluruh kabinetnya memutuskan untuk mengikuti langkah sang Perdana Menteri.
"F!" ucap Doni yang kemudian mulai mematikan cerutunya ke arah asbak. "Aku tak menyangka kau malah membawa orang seperti mereka ke dunia ini," sindir Doni ke arah Dokter Octo.
Sedangkan Dokter Octo yang mendengar hal itu hanya dapat terkekeh geli setelahnya.
"Aku sengaja membawa mereka karena harus ada orang yang disalahkan akan hal ini," ucapnya.
"Baiklah ... lalu bagaimana dengan sistem pemerintahan kita sekarang?" tanyaku menengahkan. "Sebenarnya aku berencana untuk menata ulang kota yang hancur ini dan mencipta masyarakat yang bebas, adil, dan tanpa ada kesenjangan sosial."
"Di dunia baru ini. Apalagi setelah perang-- tidak! Perang baru saja di mulai, jelas gaya kepemimpinan Otoriter adalah jawaban yang pasti untuk ketertiban dan keberlangsungan negara baru kita," jawab Doni yang terdengar cukup masuk akal bagiku.
"Aku menolak. Diktator tetaplah Diktator! Sebuah otoritas yang berujung sama, yaitu penindasan, ketidakadilan, dan membuat masyarakat menjadi tak bebas. Lebih baik dengan sistem Perlementer," sahut Evan.
"Apakah kau tahu kenapa kita kalah perang? Karena sekelompok tua bangka itu bedebah! Karena sistem itulah kita kalah dalam berbagai pertempuran," ucap Doni menggebrak meja.
"Sejak pihak militer seperti kita mengambil alih Pemerintahan apa kau pernah mengerti penderitaan rakyat yang dipaksa mobilisasi?!" ucap Evan merasa emosi.
Kemudian kedua berdebat cukup lama dan berakhir tanpa ada pemenangnya.
"Aku setuju dengan pernyataan Doni sebelumnya. Negara kita masih tak stabil di dunia baru," ucapku.
"Nah 2 banding 1! Pemenangnya sudah ditentukan," ucap Doni tersenyum puas.
"Oh ayolah..." keluh Evan.
"Walaupun begitu Partai-- tidak. Lebih baik menyebutnya sebagai organisasi. Aku memperbolehkan keberadaan mereka," ucapku.
"Tck. Rezim tetaplah rezim!" ucap Evan merasa kesal yang langsung melangkah keluar begitu saja.
Karena ada tiga pemimpin utama di dalam kemiliteran. Biasanya kami bertiga melakukan pemungutan suara dan pemenangnya keluar dengan jumlah suara terbanyak.
Walaupun di dalam ruangan ini berisikan banyak sekali orang, keberadaan mereka tak lebih sebagai saksi hidup. Apalagi mayoritas orang yang hadir adalah anggota militer sehingga keberadaan mereka tak ada bedanya seperti kambing bisu yang menaati omongan atasannya.
"Kalian semua pergilah ke penjuru kota, katanya kepada masyarakat apa yang kalian dengar dan apa yang kalian lihat di tempat ini. Pastikan ekspedisi pertama kita mendapat dukungan penuh dari masyarakat," perintahku.
Bahkan setiap orang yang loyal di tempat ini tahu cara mengagungkan Pemerintahan. Sehingga aku berkesimpulan bahwa mereka dapat memenangkan hati rakyat.
"Siap Komandan!" jawab para Tentara dengan kompak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments