Semalam, Jisung dan Jaemin menginap di rumah paman Jung. Namun hari ini, karena Jaemin tidak ingin terus terusan merepotkan paman Jung, ia memutuskan untuk mengajak Jisung tinggal di rumah neneknya.
Saat ini, Jaemin sedang mencuci piring karena mereka bertiga baru saja selesai sarapan, sedangkan paman Jung dan Jisung berada di teras rumah, menikmati suasana pagi dengan angin sepoi sepoi yang menyejukkan.
"Paman Jung mau bantuin Jisung mengambil kembali rumah bunda yang diambil sama ayah nggak? Ayah nggak berhak ambil rumah itu, paman." Jisung menghela nafas berat. Wajah laki laki itu terlihat begitu sendu.
"Nanti paman bantu kalian bicara sama ayah kamu. Kamu nggak usah khawatir dengan tempat tinggal, kamu sama kak Jaemin bisa kok tinggal di sini." Paman Jung menepuk pelan puncak kepala Jisung.
Jisung tersenyum simpul. "Terimakasih ya, paman. Andai saja Jisung punya ayah seperti paman Jung. Sepertinya hidup Jisung bakal bahagia. Nggak menderita seperti ini."
Tak berlangsung lama setelah itu, paman Jung melihat kurir pengantar surat yang sedang meneriaki 'Paket' di depan rumah Jaemin. "Jisung, itu kayaknya ada paket deh. Sebentar, paman hampiri dulu, ya?"
Paman Jung berjalan memghampiri kurir itu. "Permisi, paket untuk siapa?" tanya paman Jung.
"Untuk Na Jaemin. Benar ini rumahnya, kan?" tanya si pengirim surat itu.
Paman Jung mengangguk. "Iya, benar. Na Jaemin sekarang ada di rumah saya, bagaimana kalau anda titipkan saja surat ini kepada saya? Atau kalau perlu saya panggilkan Jaeminnya?"
"Saya titipkan anda saja. Tolong, surat ini harus sampai di tangan Na Jaemin," ujar kurir itu.
"Baik," jawab paman Jung. Ia lantas kembali ke rumahnya untuk segera memberikan surat itu kepada Jaemin.
Paman Jung kemudian mengajak Jisung masuk ke dalam rumah dan memberikan surat itu kepada Jaemin.
Jaemin sudah bersiap hendak berangkat ke sekolah dengan pakaian lengkap dan rapi. Langkahnya terhenti manakala paman Jung memberikan surat itu kepadanya.
Paman Jung meminta Jaemin untuk duduk pada sofa terlebih dahulu, Jaemin lantas duduk dan mulai membaca surat itu. Selesai membaca surat dari sekolah itu, Jaemin terdiam seribu bahasa, tatapannya kosong. Tangannya mengepal kuat surat itu.
Paman Jung yang melihatnya pun lantas bertanya, "Kenapa, Jaemin?" tanyanya.
Jaemin tak menjawab, tatapannya masih kosong menerawang ke arah depan. Matanya memanas, nampak gumpalan bening dari mata laki laki itu yang terlihat ingin luruh.
Paman Jung yang melihat itu pun dibuat panik sekaligus bingung. "Jaemin, kenapa?" Paman Jung mencoba untuk mengambil alih surat itu dari genggaman tangan Jaemin.
Manakala surat itu beralih tangan dan kini dibawa oleh paman Jung, Jaemin masih terdiam. Paman Jung membuka surat itu, dirinya pun juga dibuat terdiam seakan tak percaya saat membacanya.
"Kenapa, paman?" tanya Jisung. Jisung yang ingin tahu pun menilik surat itu, manakala ia membacanya, ia mengerutkan keningnya karena bingung.
"Kakak dikeluarkan dari sekolah? Kenapa bisa, kak?" tanya Jisung.
Iya. Surat itu adalah surat pemberitahuan bahwa Jaemin telah dikeluarkan dari sekolah. Jaemin paham, apa alasan surat itu mendarat pada dirinya. Ini pasti akibat tuduhan kemarin. Sungguh, rasanya Jaemin ingin sekali marah. Kenapa mereka seakan malas untuk mencari tahu kebenarannya. Ini terkesan tidak adil!
"Jaemin, kamu buat kesalahan apa, nak?" tanya paman Jung. Jaemin masih diam. Ia masih benar benar tidak percaya.
Lidah Jaemin kelu untuk menjelaskan semuanya kepada paman Jung dan Jisung. Padahal ia ingin sekali menjelaskan semuanya, menjelaskan bahwa ia tidak bersalah. Jaemin tahu, paman Jung dan Jisung pasti akan mempercayainya. Namun, ia benar benar tidak bisa bercerita untuk saat ini.
...🌵🌵🌵...
Renjun mendecak kesal saat lagi lagi panggilan telfonnya tidak dijawab oleh Yoora. Renjun yang notabenenya adalah ketua kelas, ia diminta oleh kepala sekolah untuk menghubungi Yoora agar gadis itu kembali bersekolah.
Sudah dua puluh kali Renjun menghubungi Yoora, namun tetap saja tidak terjawab. Hingga akhirnya ia memilih menyerah dan meletakkan ponselnya di atas meja. Renjun menopang dagunya, tatapannya mengarah pada jendela kelasnya. Pikirannya saat ini mengarah pada Yoora, ia khawatir dengan kondisi mental gadis itu.
Hingga tak berlangsung lama setelah itu, ponsel Renjun bergetar, manakala ia mengambil ponselnya, ia dibuat terkejut karena bergetarnya ponsel itu karena panggilan masuk dari Yoora. Buru buru Renjun mengangkatnya.
^^^"Halo, Yoora?"^^^
^^^panggil Renjun melalui sambungan telfon.^^^
Tak ada jawaban. Samar samar Renjun mendengar isak tangis dari sambungan telfon itu.
^^^"Yoora?"^^^
^^^panggil Renjun lagi.^^^
"Renjun, aku izin nggak sekolah dulu. Aku masih takut," ujar Yoora dari sambungan telfon. Suara gadis itu terdengar parau.
^^^"Iya. Nanti gue kasih tahu ibu guru. Keadaan lo sekarang gimana?"^^^
^^^tanya Renjun.^^^
"Aku baik baik aja kok. Cuma butuh waktu untuk tenang," jawab Yoora.
^^^"Misal gue ketemu sama lo bisa nggak? Gue khawatir sama kondisi mental lo. Atau kalo perlu, gue anter lo ke psikiater gimana?"^^^
"Aku nggak apa apa kok, Renjun. Makasih udah khawatir. Ya udah, aku tutup telfonnya, ya?"
^^^"Bentar, Yoo. Jangan ditutup dulu."^^^
"Ada apa?"
^^^"Lo harus perhatiin kesehatan mental lo. Gue tahu lo nggak baik baik aja saat ini. Yoora? Jangan kebiasaan mendem apa apa sendirian. Lo nggak perlu takut sama gue. Gue bukan laki laki jahat. Gue mau bantuin lo sembuh."^^^
"Aku cums perlu waktu untuk sendiri."
^^^"Kalo udah tenang. Telfon gue kalo misal mau dianterin ke psikiater. Oke?"^^^
"Iya. Aku tutup telfonnya, ya?"
Panggilan diputus sepihak oleh Yoora.
Renjun menghela nafas lega karena paling tidak Yoora masih bisa dihubungi. Renjun lalu berjalan menuju ruang kepala sekolah untuk memberi tahu kondisi Yoora saat ini.
Saat berjalan menuju ruang kepala sekolah, tangan Renjun ditahan oleh Cesslyn. Masih ingat Cesslyn, kan?
"Nih, birthday card. Minggu depan gue ulang tahun." Tangan Cesslyn terulur menyodorkan satu lembar birthday card kepada Renjun.
Setelah menerima itu, Renjun lantas berlalu meninggalkan Cesslyn. Ia mempercepat langkahnya untuk segera sampai di ruang kepala sekolah.
Sampai di ruang kepala sekolah, Renjun menjelaskan semuanya tentang kondisi Yoora saat ini.
"Suruh dia secepatnya kembali ke sekolah ini. Bilang saja dengan dia kalau Jaemin sudah dikeluarkan dari sekolah ini." Ucapan Kepala Sekolah barusan membuat Renjun terkejut.
"Ha, Jaemin dikeluarkan?" tanyanya memastikan apakah ia salah dengar atau tidak.
Kepala sekolah itu mengangguk. "Iya. Kalau Jaemin masih ada di sekolah ini, Yoora pasti tidak akan mau berusaha sembuh, dia pasti sangat trauma dengan Jaemin. Maka dari itu, sekolah memutuskan untuk mengeluarkan Jaemin."
"Apa anda sudah benar benar yakin bahwa Jaemin pelakunya?" Renjun sendiri kurang percaya kalau pelakunya adalah Jaemin.
"Sangat yakin. Sudah, kembali saja kamu ke dalam kelas. Oh iya, saya minta tolong, kamu ke rumah Yoora saja pulang sekolah nanti. Ajak dia bicara agar tidak terlalu lama terpuruk dalam ketraumaannya."
Renjun mengangguk paham. Setelahnya ia keluar dari ruang kepala sekolah.
"Jaemin, gue janji bakal buktiin ke semua orang kalo lo nggak salah. Gue yakin banget lo nggak salah." Renjun menghela nafas panjang, kemudian berjalan menyusuri koridor untuk kembali ke dalam kelas.
...🌵🌵🌵...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments