Dia Bukan Ayahku, Dia Jahat!

...🌵🌵🌵...

"Lucu banget, sihh." Jisung gemas sendiri dengan ikan hias milik Jaemin. "Sudah besar ya sekarang. Sama, Jisung juga sudah besar sekarang," ujar Jisung pada ikan itu.

"Bosen," gumam Jisung saat ia benar-benar merasa jenuh.

Satu hal yang Jisung inginkan selain sembuh adalah sekolah. Ia ingin bersekolah seperti remaja pada umumnya. Namun, setelah ia didiagnosa terkena leukimia, sang ayah melarangnya untuk sekolah. Jisung sempat menolak berkali-kali, namun sang ayah tetap kekeh tidak memperbolehkan Jisung sekolah.

Karena merasa sangat jenuh, dan Jisung sangat benci ke jenuhan, ia memutuskan untuk keluar rumah, menghirup udara malam diluar mungkin sedikit mengurangi rasa jenuhnya.

Jisung menyipitkan matanya kala melihat sosok yang ia kenali. Kala merasa itu benar sosok yang ia kenali, Jisung lantas melambaikan tangannya pada sosok itu.

"Chelsea?" panggil Jisung. Yang dipanggil pun menoleh kala menyadari namanya dipanggil.

"Hai, Jisung?" Gadis bernama Chelsea itu berlari kecil menghampiri Jisung.

"Kamu nggak sekolah?" tanya Jisung pada gadis dengan dress berwarna putih dan surai yang dikuncir kuda itu.

Chelsea menggeleng. "Enggak. Aku mau pindah." Ucapan Chelsea barusan membuat Jisung megerutkan keningnya.

"Pindah kemana?" tanya Jisung.

"Papa ada kerjaan di Amerika, jadi aku, mama sama adik harus ikut pindah kesana," jawab Chelsea dengan raut muka sendu.

"Berapa lama kamu di sana?" tanya Jisung sembari mempersilahkan Chelsea duduk pada kursi yang ada di teras rumahnya.

Kala keduanya sudah duduk dengan posisi tenang, Chelsea nampak menghela napas berat. "Aku nggak tahu. Kata papa, nanti kalau aku sudah lulus SMA aku baru kembali lagi kesini. Tapi itu belum pasti," ujar Chelsea.

Jisung mendecak kesal. "Kalo kamu pergi nanti aku main sama siapa?!" kesalnya dengan raut wajah yang ditekuk.

Sejauh ini, teman Jisung satu-satunya adalah Chelsea. Teman seumuran, mereka sama sama berumur 16 tahun. Biasanya ketika pulang sekolah, Chelsea akan bermain di rumah Jisung sembari mengajarinya materi yang ibu guru ajar di sekolah.

"Maaf, Jisung." Chelsea menundukkan wajah sembari memilin jemarinya.

"Chelsea?" panggil Jisung.

Chelsea menoleh, ia mendapati wajah sendu Jisung yang menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.

"Jisung, maaf," lirih Chelsea.

Jisung menghembuskan napas panjang. "Gak apa-apa, Chelsea. Tapi jangan lama lama, ya?" Tangan Jisung terulur mengusap lembut punggung tangan Chelsea.

"Jisung.. aku takut kalo tiba tiba kangen sama kamu," ujar Chelsea dengan suara yang bergetar.

"Kenapa takut?" tanya Jisung. Tangannya masih setia mengusap lembut punggung tangan temannya itu.

"Itu pasti bakal sakit banget," lirih Chelsea.

"Chelsea?" panggil perempuan paruh baya dari sebrang sana yang sudah siap dengan membawa beberapa koper.

Chelsea menoleh pada sumber suara. "Iya, mami, sebentar," jawab Chelsea.

"Jisung, aku pergi dulu, ya." Tanpa menunggu jawaban dari Jisung, Chelsea berlari menyusul kedua orang tuanya yang sudah siap akan melajukan mobilnya menuju bandara.

Jisung berlari menghampiri Chelsea, namun ia menghentikan langkahnya sejenak. Menatap Chelsea dengan tatapan menyedihkan. Sesaat setelah itu, Jisung melihat Chelsea yang melambaikan tangannya dari dalam mobil.

Jisung membalas lambaian tangan itu. Perlahan, netra Jisung tidak bisa lagi menatap mobil yang Chelsea dan keluarganya naiki tadi.

"Semoga kita betulan bisa bertemu lagi dilain waktu, Chelsea," lirih Jisung dengan suara parau.

Jisung lalu berjalan memasuki rumahnya, ia merasa haus saat ini. Jisung berjalan ke dapur untuk mengambil air di sana.

Saat mengambil gelas, Jisung menjatuhkan gelas itu kala dirinya merasakan pusing yang menjalar di kepalanya.

Prangg

Suara pecahan gelas menggelegar. Tubuh Jisung mendadak sangat menggigil. Keringat dingin bercucuran, tangannya bergetar hebat.

"Arghhh. Sakittt!" Jisung memegangi kepalanya sembari sesekali menjambaknya.

Jisung terduduk di lantai. Darah kental mengalir dari hidungnya. Pandangan Jisung memburam, rasa sakit di kepalanya benar benar terasa sangat nyata.

"Kak Jaemin! Sakit, kakk!" Jisung menangis. Ia terisak hebat karena rasanya benar benar sesakit itu.

Brakkk

Jisung mendengar dengan sangat keras pintu rumah yang terdobrak. Perasaan Jisung sudah tidak enak. Ia tahu siapa itu.

"JISUNG?!"

Jisung semakin ketakutan kala mendengar suara itu. Itu suara sang ayah. Jisung berusaha berdiri, ia berjalan dengan langkah tertatih. Jisung bersembunyi di dalam lemari yang terbilang cukup besar.

"JISUNG? KELUAR KAMU!" teriak sang ayah.

Di dalam lemari itu, Jisung sudah bergetar ketakutan. Air mata tak berhenti mengalir kala itu. Deru nafasnya pun naik turun tak beraturan.

Suara pecahan piring menggelegar. Nampaknya ayah sangat marah besar. Sampai semua barang barang dibanting.

Jisung takut, kak..

Sampai entah mengapa bisa sang ayah mengetahui dimana Jisung bersembunyi. Ayah membuka dengan kasar pintu lemari itu. Di sana, Jisung meringkuk ketakutan, badannya sudah panas dingin.

Ayah menarik Jisung dengan sangat kasar.

"Mana uangnya, ha?!" bentak ayah.

Jisung menggeleng kaku. "G-gak ada, yah," jawabnya yang lantas membuat kemarahan ayah semakin bertambah.

"Terus kemarin kamu ngapain?! Kamu kan ayah suruh kerja, Jisung!" bentak ayah lagi.

"J-jisung kemarin---"

"APA?! MAU ALASAN LAGI KAMU, HA?!"

Pertahanan Jisung runtuh. Jisung menangis tersedu-sedu. Rasa sakit yang menjalar diseluruh tubuhnya kini tergantikan dengan rasa takut.

"Ikut ayah!" Ayah menarik paksa lengan Jisung. Laki laki paruh baya itu membawa Jisung pada kamar mandi. Menyeretnya tanpa rasa kasihan sedikit pun.

Byurrr

Ayah menyiram Jisung dengan air berulang kali, padahal Jisung sudah sangat kedinginan saat itu.

"Ayah, ampun!" lirih Jisung. Ia sudah sangat lemas hanya untuk sekedar berbicara saja. Tubuhnya menggigil, gemetar hebat kala air yang sangat dingin itu terus mengguyur tubuhnya.

Suara dering ponsel dari saku ayah berbunyi. Pergerakan tangan ayah beralih mengambil ponsel itu. Ayah keluar dari kamar mandi sembari menerima panggilan telfon yang masuk. Jisung menghela napas lega. Ia merubah posisi meringkuknya menjadi duduk. Jisung menyandarkan tubuhnya pada dinding kamar mandi. Dirinya terus menjatuhkan air mata sendunya. Tangannya memukuli dada berulang kali karena sangat sakit.

"Bunda saja gak pernah begini sama Jisung. Kenapa ayah yang padahal bukan ayah kandung Jisung kayak gini?" ujar Jisung dengan suara yang disertai dengan isakan.

...🌵🌵🌵...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!