KENAPA AYAH SELALU JAHAT?

Mark, Haechan, Renjun, Chenle serta Haruto buru-buru berlari menuju gudang saat desas-desus membicarakan Jaemin yang dikunci di gudang oleh Felix dan Hyunjin. Mereka memindahi meja dan kayu usang yang menghalangi pintu gudang tersebut.

Haechan batuk-batuk karena debu di sana sangat banyak. "Uhukk.. anjer banget debunya." Haechan lantas menutup hidungnya dengan tangan.

"Itu Jaemin," ujar Haruto sembari menunjuk Jaemin yang diam di kursi sembari menundukkan wajahnya.

"Jaemin, woi!" panggil Mark. Mark berlari menghampiri Jaemin, diikuti oleh Renjun, Haechan, Chenle dan Haruto.

Chenle dan Renjun lalu membuka tali yang mengikat kedua tangan Jaemin. Haechan menilik wajah Jaemin yang masih saja menunduk saat ini.

"Nangis lo?" tanya Haechan yang menyadari mata Jaemin berair. "Emang diapain aja lo sama si Felix?"

Haruto ternganga. "Hah? Seriusan dia nangis?" Haruto lalu menilik wajah Jaemin, dan benar, Jaemin menangis. "Jae, maafin gue, yaa. Gue gak tahu kalo jadi lo gini yang disalahin sama mereka."

Jaemin lantas mengusap air matanya. Kemudian berdiri. "Makasih, ya. Gue duluan." Saat Jaemin hendak melangkahkan kakinya, Chenle menahan.

"Lo diapain sama mereka?" tanya Chenle.

"Gue gak diapa-apain kok," jawab Jaemin.

"Jangan bohong. Itu wajah lo lebam," sahut Renjun.

"Gak apa-apa. Udah gue mau pergi." Lagi lagi sekarang ganti Mark yang menahan tangan Jaemin.

"Ada apa?" tanya Mark. "Kenapa panik gitu? Lo diancem sama mereka?"

Jaemin menghela napas panjang. "Gue gak diapa-apain. Gue mau pergi dulu. Tolong ijinin gue ke Pak Taeil. Gue izin pulang sekarang."

"Kenapa pulang?" tanya mereka serempak.

"Sekarang hujan. Lihat tuh." Haechan menunjuk jendela gudang. Dan saat mengetahui bahwa hujan datang, hati Jaemin semakin tidak tenang. Entah kenapa.

"Biarin." Jaemin berlari keluar dari gudang tanpa mempedulikan mereka.

"Jaemin! Gue anterin!" Itu suara Renjun. Mendengar itu Jaemin menghentikan langkahnya sejenak sebelum akhirnya menggeleng.

Sekarang mereka tidak lagi melihat Jaemin. Jaemin sudah menghilang dari pandangan mereka.

"Gue masih merasa bersalah banget sama Jaemin," gumam Renjun sangat pelan hingga tak ada yang mendengar.

...🌵🌵🌵...

Jaemin berlari menerjang derasnya hujan. Ia berlari-lari mencari taksi ataupun bis yang ada. Sampai ia mendapati taksi yang lewat, Jaemin menghentikan taksi itu lalu meminta pada supir untuk mengantarnya ke rumah sakit.

Napas Jaemin tak beraturan, untuk bernapas saja sulit karena memang sepanik itu dengan Jisung. Harusnya Jaemin senang karena Jisung sudah sadar, namun entah mengapa perasaannya sangat tidak tenang sekarang.

Lima belas menit, akhirnya Jaemin sampai di depan rumah sakit. Dengan langkah cepat, Jaemin menaiki berbagai tangga untuk sampai pada ruang di mana Jisung dirawat di sana.

Kala membuka ruangan itu, Jaemin dibuat bungkam karena tidak mendapati Jisung di sana. Jaemin buru-buru mencari suster yang menjaga Jisung.

"Suster, dimana Jisung?!" Deru nafas Jaemin naik turun tak beraturan. Berusaha berpikir positif namun tidak bisa.

"Tadi ada laki-laki yang membawa paksa Jisung keluar dari rumah sakit ini. Pihak rumah sakit sudah menahan, namun tidak bisa. Laki-laki itu tadi sangat keras kepala. Dan mohon maaf, Jaemin, kan? Anda kakaknya? Mohon untuk segera melunasi biaya administrasi, ya?"

Jaemin mengehla napas berat. "Baik, saya akan segera melunasinya."

...🌵🌵🌵...

Jaemin mendobrak dengan kasar rumah sang ayah. Dan yang Jaemin lihat, sang ayah sedang mabuk berat bersama dengan perempuan. Emosi Jaemin benar-benar naik kala itu juga.

"Maksud ayah apaan, ha?!" bentak Jaemin sembari berjalan menghampiri sang ayah.

"Mana Jisung?!" bentak Jaemin. "Mana, yah?!" Pertahanan Jaemin runtuh lagi. Laki-laki yang saat ini sudah basah kuyup itu menangis.

"Apa-apaan kamu ini, hm?" Ayah berjalan menghampiri Jaemin dengan langkah tak beraturan, nyaris saja sang ayah tumbang kalau saja Jaemin tidak memeganginya.

"Jisung mana, yah?" lirih Jaemin sembari terisak pelan.

"Kenapa kamu peduli banget sama dia, hm? Dia itu bukan adik kandung kamu, Jaemin."

"JISUNG MANA, YAH?!" Kesabaran Jaemin benar-benar habis. Rahangnya mengeras, urat urat diwajahnya pun terlihat jelas.

"Jisung cari uang buat ayah, kenapa, hm?" Jaemin yang mendengar itu benar benar kesal bukan main.

"Dimana, Jisung? Dia cari uang di mana, yah?!" Tidak bisa untuk tidak membentak. Jaemin benar-benar kesal.

Perempuan yang sedari tadi hanya duduk menyaksikan Jaemin dan ayah, ia lantas berdiri, mendorong Jaemin dengan tatapan tidak suka.

"Pergi sana!" bentak perempuan itu.

"Anda jangan ikut-ikut!" kesal Jaemin.

"Bawa dia pergi, sayang," ujar ayah pada perempuan itu.

Perempuan itu mengangguk lalu mendorong paksa Jaemin sampai Jaemin pun pasrah disuruh keluar paksa seperti itu.

Sekarang hujan masih sangat deras. Jaemin benar-benar tidak tenang.

"Jisung, kamu di mana?" Suara Jaemin bergetar hebat. Jantungnya seakan berhenti berdetak sekarang. Untuk sekedar berjalan pun rasanya kaku.

...🌵🌵🌵...

"Jisung takut, kak." Jisung terus menunduk kala suara petir terus menggelegar. Jalanan benar-benar sepi sekarang. Jisung tidak tahu harus minta bantuan pada siapa.

Hawa dingin sangat menusuk pada tubuh Jisung yang hanya mengenakan kaos panjang. Itu pun tidak terlalu tebal. Jadi rasanya benar-benar sangat dingin.

Jisung menggigil. "Jisung mau pulang, kak..."

Karena ketakutan sudah mendarah daging. Jisung memutuskan untuk menerjang hujan dan mencari bis atau taksi.

Tubuh Jaemin bergetar hebat kala air hujan membasahi seluruh tubuhnya. Pandangan Jisung mulai memburam. Tubuhnya akan terjatuh dijalanan jika tidak dengan cepat Jaemin menahannya.

"Jisung!" Jaemin tidak bisa berkata apa apa lagi selain memanggil nama Jisung berulang kali.

"Kakak," lirih Jisung.

Jaemin memeluk dengan erat tubuh rapuh adik semata wayangnya itu. Mendekapnya dengan penuh kasih sayang. Seluruh beban di dalam hati Jisung seakan hilang kala Jamin memeluknya dengan sangat erat.

"Jisung takut, kak..."

"Jangan takut, ya? Kakak di sini."

Di bawah hujan tanpa naungan, sepasang adik kakak itu saling berpelukan. Air mata keduanya pun luruh bersama. Seragam Jaemin pun kini penuh dengan darah yang keluar dari hidung Jisung.

...🌵🌵🌵...

Setelah selesai memasak air hangat untuk Jisung. Jaemin memasuki kamarnya, menghampiri Jisung yang meringkuk kedinginan di sana.

"Airnya udah siap. Kamu mandi dulu, ya?" ujar Jaemin.

Jisung mengangguk. Lalu berjalan masuk ke dalam kamar mandi.

Setelah Jisung sudah tidak lagi di dalam kamar. Jaemin berjalan mendekat ke arah nakas, membuka laci nakas, kemudian mengambil kotak perhiasan peninggalan sang bunda.

"Bunda.. maafin Jaemin, ya. Jaemin butuh uang sekarang," ujar Jaemin dengan suara pelan. Matanya memanas akibat dada yang terasa sangat sesak.

Sekitar lima belas menit berlalu, Jisung keluar dari kamar mandi dengan hoodie yang membalut tubuhnya. Jisung menghampiri Jaemin yang tengah mengerjakan PR di meja belajar.

"Kak?" panggil Jisung.

"Iya? Kenapa, dek?" tanya Jaemin yang masih fokus pada coretan buku yang penuh dengan rumus matematika yang mematikan.

Mematikan bagi Jisung, namun tidak bagi Jaemin yang ahli dengan rumus-rumus seperti itu.

Jisung menghela napas. "Dingin, kak."

Jaemin terkekeh. "Bilang aja kalo mau dipeluk." Jaemin meletakkan bolpoin pada meja belajar, kemudian berdiri di depan Jisung.

Jaemin merentangkan kedua tangannya. "Sini kakak peluk." Mendengar itu, Jisung langsung memeluk tubuh sang kakak.

Jaemin mengelus lembut surai Jisung. Sementara Jisung, ia melingkarkan tangannya pada perut Jaemin, memeluknya dengan sangat erat. Seakan tak mau melepaskan pelukan itu.

"Jangan dilepas ya, kak? Jisung nyaman banget. Kalo kayak gini rasanya hangat, nggak dingin lagi."

Jaemin terkekeh lagi. "Iyaa, Jisungnya kakak. Ayo makan terus tidur," ajak Jaemin.

Jisung mendongak menatap lekat kedua bola mata Jaemin. "Jisung mau tidur sambil dipeluk kakak."

"Yaudah, ayo makan dulu terus tidur."

"Tapi masih jam segini, kak. Jisung mau temani kakak kerjain tugas sekolah aja dulu, yaa?" pinta Jisung.

"Tugas sekolah kakak udah selesai. Ayo makan. Kamu harus banyak istirahat, Jisung. Lihat tuh bibir kamu pucet banget."

Jisung kembali menyelipkan kepalanya pada dada bidang Jaemin. Jaemin yang gemas pun, ia memeluk Jisung lebih erat lagi.

"Cepet sembuh ya adik Jisung."

-

Setelah keduanya selesai menyantap makanan. Jisung lalu meminum obat, setelah itu kemudian beranjak pada ranjang, membaringkan tubuh lelahnya di atas sana.

Jaemin pun ikut membaringkan tubuhnya di atas ranjang kala selesai mencuci piring.

"Jisung?" panggil Jaemin. "Gimana keadaan kamu sekarang? Kenapa tadi kamu mau aja dibawa paksa sama ayah?" tanya Jaemin sembari menatap Jisung dengan tatapan serius.

Jisung menghembuskan napas panjang. "Jisung gak punya tenaga banyak buat ngelawan ayah, kak."

"Maafin kakak, ya. Maaf karena kakak gak bisa lindungin kamu saat itu." Raut wajah Jaemin berubah sendu.

"Harusnya Jisung yang minta maaf. Kakak gak pernah salah. Jisung yang salah, Jisung lemah, gak bisa jaga diri sendiri, selalu aja nyusahin kakak."

"Ngomong apa kamu ini!" kesal Jaemin. "Udah ayo bobok, sini kakak peluk." Jaemin melingkarkan tangannya pada perut Jisung.

Jisung diam, tidak membalas pelukan Jaemin. Pandangannya kosong menatap atap kamar. "Jisung kangen sama bunda, kak," lirih Jisung.

"Kakak juga kangen sama bunda. Kangen banget malahan."

"Jisung udah gak tahan, kak. Rasanya kangen banget banget banget sama bunda. Jisung pengen banget nyusul bunda."

Jaemin refleks memukul lengan Jisung. "Tidur. Jangan banyak bicara."

"Iyaa, kak."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!