MENCARI KEADILAN ATAS SEMUA INI

Pagi ini, Jaemin dipanggil di ruang guru untuk segera melunasi uang SPPnya. Sedari tadi, guru perempuan itu terus memarahi Jaemin hingga mengeluarkan kata kata yang tidak sepantasnya hanya karena Jaemin belum membayar uang SPP.

"Kalau kamu miskin, tidak seharusnya sekolah di sini!" bentak guru perempuan itu dengan menatap tajam Jaemin.

"Saya akan segera melunasinya," ujar Jaemin.

"Kamu dari kemarin bilangnya akan melunasi, tapi sampai sekarang apa?!" kesal guru itu.

Jaemin diam dengan tatapan kosongnya.

"Saya tidak akan segan segan mengeluarkan kamu dari sekolah ini kalau sampai besok kamu tidak segera melunasi tunggakan kamu!"

Jaemin menghela nafas samar. "Saya akan melunasinya besok."

"Jangan hanya bicara saja! Sudah, sana keluar!" bentak guru itu.

Jaemin lantas buru buru meninggalkan ruangan yang sangat ia benci. Langkahnya berjalan menyusuri koridor. Atensinya lalu beralih menatap Renjun yang saat ini sedang duduk di kursi yang berada di depan kelas.

Jaemin menghampiri Renjun yang nampak sedang membaca buku.

"Renjun?" panggil Jaemin sembari mendaratkan pantatnya pada kursi kosong di sebelah Renjun.

Renjun menoleh kemudian menutup bukunya. "Eh, iya? Ada apa?" tanyanya.

"Makasih buat yang kemarin," ujar Jaemin.

Renjun tersenyum kecil. "Iya, sama sama. Kalo boleh tau, kenapa kemarin lo pulang duluan?" tanya Renjun.

Jaemin menggeleng pelan. "Nggak apa apa kok." Atensinya lalu beralih pada buku yang saat ini Renjun bawa. "Buku apa?" tanyanya.

"Catatan rumus rumus. Olimpiadenya bakal dilaksanain hari ini, jujur gue deg degan banget sih, takut kalah. Jadi gue harus belajar sungguh sungguh," ujar Renjun.

Jaemin tersenyum sembari mengelus pelan bahu Renjun. "Jangan takut, buktiin aja kalo lo pasti bisa. Semangat ya? Banyak yang mau ada di posisi lo." Setelah mengatakan itu, Jaemin lantas berdiri. "Gue balik ke kelas dulu ya?"

Tanpa menunggu jawaban dari Renjun, Jaemin berjalan meninggalkan Renjun.

Jaemin menghela nafasnya berulang kali. Jujur, ia masih sangat sedih karena tidak bisa mengikuti olimpiade matematika hanya karena dirinya belum membayar uang SPP.

"Ternyata uang semenghambat ini ya," gumam Jaemin.

Semenjak satu minggu sebelum diadakannya seleksi untuk mengikuti olimpiade matematika, Jaemin sangat exaitied, ia ingin sekali bisa lolos seleksi itu, ia belajar dengan sungguh sungguh, bekerja keras sebisanya untuk bisa lolos. Namun, setelah ia dinyatakan lolos, keadilan tak berpihak padanya. Ia tidak bisa ikut hanya karena masalah uang.

Baiklah. Tidak apa apa. Sedih terlalu lama itu tidak baik. Pikir Jaemin saat ini.

Kala dirinya sudah sampai di kelas, ia mendaratkan pantatnya pada kursinya, kemudian meletakkan tasnya pada punggung kursi, pandangannya kemudian menatap kosong ke depan.

Brakkk

Jaemin terpelonjat kaget ketika tiba tiba Felix menggebrak mejanya dengan sangat keras. Felix menarik kerah seragam Jaemin hingga membuat laki laki itu tercekik.

Felix menatap Jaemin cukup lama sebelum akhirnya ia mendecih dan menghempaskan Jaemin di atas lantai.

"Kenapa lo berani kabur kemarin, ha?!" bentak Felix. "Lo pengecut tau nggak?! Lo kabur dari kesalahan!"

"Bukan gue yang laporin kalian ke guru bk." Jaemin berdiri, ia menatap Felix dengan tatapan kesal.

Felix mendecih lagi, kemudian ia dorong Jaemin hingga laki laki di depannya itu nyaris saja jatuh jika saja tidak bisa menjaga keseimbangannya.

"Lo itu nggak pantes sekolah di sini tau nggak?! Lo itu anak yang nggak jelas asal usulnya!" Felix menyunggingkan satu sudut bibirnya.

"Bokap lo pengangguran dan pecandu minuman keras, kan?" Felix tertawa, tawa yang terdengar meremehkan.

"Woi semua?!" teriak Felix pada teman teman sekelas. "Kalian harus tau kalo si Jaemin ini anak dari pecandu minuman keras," lanjut Felix dengan suara yang sengaja ia keraskan.

"Jangan jangan anaknya juga kayak gitu nggak sih?" Tawa Felix semakin keras.

"Oh iya, selain pecandu minuman keras, bokapnya si Jaemin juga hobinya mainin wanita loh, HAHHAHAA!"

Mendengar Felix yang membawa bawa orang tua, tangan Jaemin terkepal kuat, ia menonjok dada Felix hingga laki laki itu terjatuh.

Karena emosi yang sudah naik, Jaemin menarik kerah seragam Felix, menatap laki laki itu dengan sorot mata tajam.

"Kenapa lo marah? Jadi bener kan kalo bokap lo itu orang nggak bener." Ucapan Felix barusan membuat emosi Jaemin semakin meninggi.

Kala hendak melayangkan tinjuan pada Felix, pergerakan Jaemin terhenti karena ada guru yang meneriakinya.

"Jaemin, apa yang kamu lakukan?!" teriak guru perempuan itu sembari berlari kecil menghampiri Jaemin dan Felix.

Jaemin berdiri, ia mengatur nafasnya yang tak beraturan, netranya masih menatap Felix dengan sorot mata tajam.

Felix mmegangkat kedua tangannya. "Saya tidak berbuat apa apa, bu. Jaemin tiba tiba saja-"

"Felix yang mulai duluan," sahut Jaemin.

Felix menggeleng. "Enggak bu, serius. Tadi ibu bisa lihat sendiri, kan?"

"Sudah! Jaemin, ikut saya ke ruang bk!" Ibu guru itu berjalan keluar kelas.

Jaemin menghela nafas samar, kemudian berjalan mengikuti ibu guru itu. Tidak apa apa, Jaemin akan menjelaskannya di ruang guru nanti, pikirnya saat ini.

Saat sampai di ruang guru, Jaemin terus terusan disalah salahkan tanpa diizinkan untuk mejelaskan semuanya.

"Saya minta nomor telfon orang tua kamu?!" ujar guru itu.

"Saya tidak punya nomor orang tua saya," jawab Jaemin. Benar, ia tidak memiliki nomor telfon sang ayah, karena memang komunikasi keduanya sangat buruk.

"Jangan banyak alasan kamu, Jaemin!" bentak guru itu.

"Saya tidak tinggal satu atap dengan ayah saya, bunda saya sudah meninggal," ujar Jaemin dengat tatapan datarnya.

"Saya tidak mau tahu, kalau memang kamu tidak punya nomor telfon ayah kamu, berikan ini saja pada ayahmu." Tangan Guru itu menjulurkan satu surat panggilan orang tua kepada Jaemin.

Jaemin menerimanya.

"Karena kamu sudah melakukan tindakan bullying, kamu juga harus dihukum! Pulang sekolah, kamu bersihkan semua toilet laki laki. Dan jangan lupa, besok orang tua kamu harus kesini!" ujar guru itu. "Baiklah, silahkan kamu kembali ke kelas."

...🌵🌵🌵...

Pulang sekolah ini, seperti yang ibu guru bk perintahkan, Jaemin harus membersihkan semua toilet laki laki terlebih dahulu. Sore hampir petang, dan nasib baiknya Jaemin sudah menyelesaikan semuanya.

"Sakit dibalas dengan sakit."

Jaemin menoleh kala mendengar suara itu. Suara berat yang disertai dengan tawa yang mengerikan.

"Felix," gumam Jaemin manakala melihat sosok itu adalah Felix.

Felix berjalan mendekat kearah Jaemin, kemudian berbisik, "Ini masih belum seberapa. Lo akan ngerasain sakit yang paling sakit!" Setelah membisikkan itu, ia menendang ember berisikan air pel pelan kemudian pergi dari area kamar mandi.

"Dasar, aneh!" gumam Jaemin sembari membersihkan air pel pelan yang tumpah di lantai akibat ulah Felix.

Tak berlangsung lama setelah itu, Jaemin mendengar suara isak tangis yang tak terdengar begitu jelas. Jaemin meletakkan pel pelan yang ia bawa, kemudian berjalan menghampiri arah suara.

Jaemin keluar dari area kamar mandi, ia berjalan menuju tempat parkiran yang tidak jauh dari kamar mandi.

Semakin Jaemin mendekat ke arah parkiran, suara tangis itu terdengar semakin jelas.

Jaemin melihat gadis dengan surai panjang tengah menangis di parkiran yang saat ini sudah sepi dengan memeluk kedua kakinya dan menyembunyikan wajahnya pada sela sela lututnya.

Jaemin hendak menghampiri gadis itu, namun meurutnya itu tidak penting. Tapi, ketika mendengar tangis yang sangat menyakitkan itu, ia tidak tega untuk meninggalkannya begitu saja. Akhirnya Jaemin mendekat, menghampiri gadis itu.

"Permisi?" sapa Jaemin sembari berjongkok dan menepuk pelan bahu gadis itu.

Gadis itu menoleh dengan wajah yang basah akibat air mata yang tak hentinya berderai. Melihat Jaemin, gadis itu buru buru berdiri dan menghapus air matanya.

"Yoora?" Jaemin terkejut bukan main manakala gadis itu adalah Kim Yoora, teman sekelasnya yang dikenal sebagai murid pendiam. Jaemin pun ikut berdiri saat Yoora berdiri.

"Kenapa?" tanya Jaemin sembari menilik wajah Yoora karena gadis itu menyembunyikan wajahnya.

Yoora menggeleng, ia membuang pandangannya tak menatap Jaemin.

Jaemin menghela nafas samar. "Bentar lagi sekolah ditutup, kamu nggak pulang?"

Yoora mengangguk kemudian berjalan mendahului Jaemin.

Jaemin menggedikkan kedua bahunya, ia mengambil sepedanya yang masih terparkir di sini, kemudian menuntunnya. Jaemin berlari kecil sembari menuntun sepedanya menghampiri Yoora. 

"Udah dijemput?" tanya Jaemin sembari menyamakan langkahnya dengan langkah Yoora.

Yoora diam, nampak gadis itu menahan mati matian air matanya yang berlomba lomba untuk keluar.

Sampai di ambang gerbang sekolah. Keduanya menghentikan langkahnya. Langit sore sudah mulai gelap, dan Jaemin tidak melihat tanda tanda Yoora dijemput.

"Aku tungguin kamu sampai kamu dijemput." Jaemin memarkirkan sepedanya di depan kursi yang ada di depan sekolahnya.

Jaemin duduk di sana, ia menepuk nepuk space kosong, meminta Yoora duduk di sampingnya.

"Kamu pulang dulu saja," ujar Yoora. 

Jaemin menggeleng. "Nggak apa apa, aku tungguin kamu di sini." Laki laki itu tersenyum kecil.

Yoora nampak mendecak kesal. "Aku nggak mau kamu tungguin. Aku nggak bakal dijemput, aku pulang sendiri!" Nada bicara Yoora meninggi.

Jaemin sempat terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya ia berdiri dan menaiki sepedanya.

"Naik, aku anter kamu pulang."

Yoora menggeleng lemah. "Jaemin, aku bisa pulang sendiri, kamu pulang saja duluan," lirih Yoora.

"Lihat." Jaemin menunjuk langit. "Kamu berani naik angkutan umum sendirian, secara ini udah malam?" Jaemin menatap Yoora cukup lama.

Yoora menghela nafas samar. Kemudian ia naik di boncengan sepeda Jaemin. Benar, tidak baik untuk perempuan kalau harus naik angkutan umum di malam hari seperti ini.

Jaemin tersenyum kecil sebelum akhirnya mulai menggayuh sepedanya.

"Aku mau kamu anterin pulang soalnya kamu anak baik baik," ujar Yoora tiba tiba.

"Aku emang anak baik." Jaemin terkekeh.

"Jangan macam macam sama aku!" Nada bicara Yoora meninggi.

Jaemin terkekeh lagi. "Emang aku mau apain kamu? Ah iya, aku mau culik kamu, mau ku bawa pulang aja deh." Tawa Jaemin terdengar sangat lepas.

Yoora menepuk punggung Jaemin sangat keras hingga membuat laki laki itu mengaduh.

"Enggak, cuma becanda," ujar Jaemin.

Tidak ada perbincangan lagi setelah itu. Keduanya diam dilanda keheningan, hanya ada suara kendaraan berlalu lalang di jalanan.

"Bener ini, kan?" Jaemin menghentikan laju sepedanya kala ia sampai pada pekarangan rumah yang Yoora jelaskan tadi.

Yoora turun dari sepeda Jaemin. "Makasih," ujarnya. Gadis itu lalu segera masuk ke dalam rumahnya meninggalkan Jaemin.

Jaemin lalu memutar balikkan sepedanya, ia berniat akan segera pulang saja, karena sudah terlalu lelah untuk bekerja, ia akan beristirahat dan tidak bekerja hanya untuk satu hari ini saja.

Di tengah perjalanannya, Jaemin tiba tiba berhenti manakala ia merasakan bannya yang oleng tidak seimbang. Saat turun dan mengeceknya, ternyata ban sepedanya bocor.

Jaemin mendecak kesal, kenapa harus saat saat seperti ini bannya bocor.

Jaemin lantas teringat saat tadi ia mengantar Yoora pulang, ia melihat ada ruko tambal ban di sana. Karena Jaemin belum jauh dari area rumah Yoora, ia memutuskan untuk kembali dan menambal bannya di dekat rumah Yoora.

Jaemin menuntun sepedanya, ia melambatkan langkahnya saat melewati depan rumah Yoora, seulas senyum terbit pada bibir Jaemin. Namun senyumnya seketika pudar manakala ia mendengar suara teriakan dari dalam sana.

"Papa, jangan! Yoora mohon, pa!" Itu suara teriakan yang Jaemin dengar.

Karena pikiran Jaemin yang sudah berkelana kemana mana, laki laki itu menjatuhkan sepedanya begitu saja, tanpa berpikir panjang, ia masuk mendobrak pintu rumah Yoora.

Jaemin tercekat, matanya membelalak lebar kala melihat laki laki berkepala 4 itu hendak membuka paksa baju Yoora.

Dengan segera, Jaemin mendorong laki laki itu. Sedangkan Yoora, ia berlindung di balik tubuh Jaemin, tangan gadis itu meremas ujung almameter yang Jaemin kenakan.

"Jaemin, aku takut," lirih Yoora dengan suara bergetar.

Napas Jaemin berderu tak beraturan, rahangnya mengeras, tangannya terkepal kuat, ia ingin sekali melayangkan pukulan pada laki laki sialan itu.

"Siapa kamu, ha?!" bentak laki laki di depannya yang diduga adalah papa Yoora.

"Kamu tenang ya, Yoora," ujar Jaemin.

"Pergi dari sini atau saya habisi kamu sekarang juga, ha?!" bentak laki laki itu.

"Jaemin, jangan pergi." Yoora terus meremas kuat ujung almameter Jaemin, gadis itu menangis, matanya terlihat sangat sembab saat ini.

Brukk

Laki laki paruh baya itu meninju perut Jaemin hingga Jaemin terjatuh karena pukulan yang sangat keras.

"Jaemin?!" Yoora menutup mulutnya manakala melihat Jaemin yang terlihat tak berdaya karena pukulan papanya.

Laki laki berkepala 4 itu menarik tangan Yoora.

"Papa, lepasin!" teriak Yoora.

Brukk

Setelah berdiri, Jaemin mendorong dengan sangat kuat laki laki itu hingga terjatuh, ia menarik pergelangan tangan Yoora, membawa gadis itu keluar dari dalam rumah itu.

"Jangan takut, ada aku di sini. Ayo ikut aku." Mendengar itu, Yoora mengangguk, ia mengikuti langkah Jaemin yang membawanya entah kemana.

Keduanya kini berada di taman kota, dimana tempat ini cukup ramai orang, tempatnya memang tak jauh dari rumah Yoora, namun Jaemin yakin bahwa tempat ramai seperti ini akan lebih aman untuk bersembunyi.

"Sebentar, kita di sini dulu ya?" tanya Jaemin sembari mengatur napasnya yang tak beraturan.

Yoora mengangguk, gadis itu masih menangis dengan bibir yang bergetar ketakutan dan kepala yang terus menunduk.

Jaemin meraih tangan Yoora. "Jangan takut ada aku."

"Jaemin, aku takut." Suara Yoora bergetar. "Aku takut.." lirihnya, lagi.

Jaemin mengajak Yoora ke tempat yang berada di ujung taman kota, di dekat perpustakaan. "Kita kesana dulu."

Sampai pada tempat yang hendak dituju, Jaemin meminta Yoora untuk duduk di dekat perpustakaan. "Tunggu sini sebentar, aku mau beli minum buat kamu."

Tak memerlukan waktu yang lama, Jaemin kembali dengan membawa satu botol air mineral, ia memberikannya pada Yoora.

Yoora meneguk air itu hingga sisa setengah.

"Dia siapa?" tanya Jaemin. "Ayah kamu?"

Yoora menggigit bibir bagian dalamnya untuk menahan air mata yang lagi lagi berlomba lomba untuk keluar.

"Bukan papa kandung," lirih Yoora.

"Apa itu pertama kalinya?" Pertanyaan Jaemin barusan berhasil membuat air mata Yoora luruh lagi.

Gadis itu menggeleng dengan tangisnya yang semakin pecah.

Jaemin sungguh masih tidak menyangka dengan apa yang papa tiri Yoora lakukan tadi. Sekarang ia tahu mengapa Yoora selalu diam di kelas, mengapa gadis itu selalu menghindar dari laki laki.

"Jaemin, aku takut.. aku takut pulang.."

"Aku takut papa bakal ngelakuin hal itu lagi. Aku takut. Setiap aku mau kabur, papa selalu menahan aku, bahkan dia nggak segan segan berbuat kasar. Aku takut.."

"Laki laki itu nggak pantas kamu sebut papa, Yoora!" kesal Jaemin.

"Mama kamu kemana?" tanya Jaemin.

"Mama pergi jauh, aku nggak tahu mama dimana," jawab Yoora.

Sepersekian detik setelah itu, Yoora tertawa getir. "Kamu jangan dekat dekat sama aku, aku ini gadis kotor, Jaemin."

"Jangan bicara seperti itu," ujar Jaemin.

"Jaemin, aku boleh benci sama papa, nggak?" Yoora menatap Jaemin dengan tatapan yang sulit diartikan.

Jaemin mengangguk. "Dia nggak pantas disayang, dia pantas dibenci. Kamu jangan pulang, kamu nggak boleh pulang ke rumah itu, Yoora."

Yoora menggeleng. "Nggak bisa, Jaemin." Tangis gadis itu semakin pecah.

"Kenapa?" tanya Jaemin.

...🌵🌵🌵...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!