Selesai membuat makanan, Ziana menaruhnya di meja makan. Lalu bergegas pergi tapi dicegah oleh Oma Rasti.
"Temani aku makan," ucapnya.
Ziana pun duduk di depan Oma Rasti, seperti seorang ibu yang sedang mengawasi anaknya makan. Hal itu membuat Oma Rasti kesal.
"Temani aku makan itu artinya makan bersama Zia! Kamu ikut makan juga! Jangan cuma liatin doang!" marah Oma Rasti.
"Bilang dong Oma. Saya kan sudah pernah bilang, kalau saya bukan cenayang."
Suasana makan malam kala itu terasa berbeda, karena Oma Rasti lewati berdua dengan Ziana yang super duper banyak bicara.
"Jadi Oma kalau Tuan Saka ada acara gini, sendirian terus kalau makan? Kasihan sekali. Aku tiap hari selalu makan sama-sama terus di panti asuhan. Kecuali kalau di jam makan siang, pasti makannya di tempat kerja," ungkap Ziana.
"Nggak ada yang tanya," jawab Oma Rasti.
"Ya emang sih Oma. Cuma mau cerita aja."
Acara makan malam pun selesai. Ziana langsung menaruh piring kotor ke wastafel dan mencucinya. Walaupun memang bukan tugasnya, tapi itung-itung membantu pekerjaan orang lain.
Setelahnya, Ziana melihat Oma Rasti yang duduk termenung di teras samping dekat kolam renang.
Ziana datang-datang dengan ucapan yang selalu membuat Oma Rasti kesal.
"Udah tua jangan banyak ngelamun Oma. Kenapa? Galau mikirin apa? Pacar baru?"
Plak!
Ziana langsung digeplak lengannya oleh Oma Rasti. Tidak terlalu keras tapi mampu membuat Ziana sedikit meringis.
"Sakit Oma," cicitnya.
"Lagian kamu itu kalau ngomong suka asal aja!" ucap Oma Rasti tapi tak melihat ke arah Ziana.
"Lagian Oma juga, udah malam malah keluar, kan dingin. Kenapa sih Oma?" tanya Ziana yang penasaran.
"Kamu itu pengasuhku tidak usah banyak tanya kenapa?"
"Oma itu ketus banget. Saya jadi penasaran, si Susi itu sesabar apa ngadepin Oma yang kaya begini. Saya aja kalau bukan karena butuh uang sudah keluar mungkin," ucapnya dengan jujur.
"Hidup kamu semiskin apa sih?"
Ditanya seperti itu, Ziana tersenyum tipis.
"Ya intinya jika dibandingkan dengan semua yang ada di rumah ini paling cuma butiran debunya Oma. Yang penting cukup untuk makan, sekolah adik-adik panti. Untuk kebutuhan sendiri, saya selalu mengesampingkannya."
Oma Rasti jadi prihatin dengan kehidupan Ziana, tapi ia tak mau memperlihatkannya karena selalu dibuat kesal oleh wanita muda itu.
"Masuk ke dalam yuk Oma. Udaranya udah terasa dingin banget. Nggak bagus buat orang yang kaya Oma."
"Maksud kamu kaya Oma gini, tua begitu?" Oma Rasti langsung nyambung kesana padahal Ziana tak bermaksud ke arah sana.
"Terserah Oma deh mau bilang apa,"ucap Ziana yang tak mau ambil pusing.
Ketika mereka masuk ke dalam rumah, rupanya Saja pun baru saja tiba dan baru banget menutup pintu depan rumah.
"Baru pulang, abis dari mana?" tanya Oma Rasti.
"Pergi sama Oliv Oma," jawab Saka yang tak ingin berbohong dengan Oma Rasti.
"Kalian itu udah kenal lama banget. Kenapa cuma jadi teman aja? Emangnya kamu nggak suka sama Oliv?" tanya Oma Rasti yang heran dengan cucunya yang masih aja senang menjomblo. Bahkan satu pun Oma Rasti tak pernah melihat Saka jalan dengan wanita lain selain Oliv. Tapi kenapa hubungan mereka cuma berhenti di yang namanya persahabatan.
"Apa sih Oma? Nggak usah nanya-nanya kesana-sana deh."
"Kesana-sana gimana? Umur kamu loh udah 27 tahun, tapi pacaran sekali pun belum pernah. Oma takut kalau kamu punya kelainan s*ksual."
"Astaghfirullah, omongannya Oma. Aku ini laki-laki normal. Aku hanya belum menemukan yang cocok aja," kilah Saka yang tidak mau dituduh penyuka sesama jenis.
"Itu, itu aja terus yang diomongin. Lantas kapan nemu yang cocoknya? Nunggu ayam beranak? Iya? Keburu Oma mati itu mah."
"Ya ampun Oma!"
Saka tak habis pikir dengan Oma nya. Iya kalau memang nanti ia tertarik dengan wanita, pastinya ia pun tak akan diam saja. Tapi, memang sampai sekarang masih belum ada yang mampu menggetarkan hatinya.
"Oma aku ke kamar dulu ya. Mau bersih-bersih badan dulu."
Oma Rasti mengangguk. Ia pun duduk di ruang keluarga ditemani oleh Ziana. Intinya, sebelum Oma Rasti tidur, Ziana akan seperti anak ayam yang selalu mengikuti kemanapun induknya pergi.
Sampai waktu pun berlalu dengan cepat, Oma Rasti sudah masuk ke dalam kamarnya begitu juga dengan Ziana. Ia berbaring di kasur sambil menatap ke arah langit-langit kamar.
Sudah beberapa hari ia bekerja, belum ada kabar lagi dari panti asuhan. Padahal ia sangat merindukan adik-adik pantinya dan ingin tahu keadaan Ibu Hesti di rumah sakit. Ia merindukan tingkah-tingkah lucu anak panti ketika malam hari. Makan bersama dengan mereka dan tertawa juga. Apa kabar dengan dirinya nanti jika tidak diizinkan untuk pulang. Mungkin rindunya bisa menggunung.
Ziana menatap foto wallpaper di layar ponselnya. Foto dimana ia dan Ibu Hesti tersenyum dengan memperlihatkan jari jempolnya.
"Zia kangen Bu, kangen manja-manja sama Ibu. Meskipun ibu bukan ibu kandung Zia, tapi kasih sayang ibu melebihi apapun. Teruslah hidup dan berjuang demi kesembuhan ibu. Zia ingin memperlihatkan kesusksesan Zia dan membahagiakan Ibu."
Tanpa sadar air mata Ziana mengalir begitu saja. Rasanya sesak di dada. Apalagi terakhir kali ia melihat Ibu Hesti di rumah sakit, kondisinya sangat buruk. Penyakit diabetes nya terus menggerogoti tubuhnya sampai kini terlihat kurus.
*
*
Besoknya, Ziana melakukan tugasnya seperti biasa, membangunkan Oma Rasti, memasak untuk Oma Rasti, baru setelahnya ia akan mengajak Oma Rasti untuk olahraga pagi, entah itu jalan-jalan, lari ataupun cuma senam di halaman rumah. Ya, walaupun untuk mengajak Oma Rasti olahraga pagi agak susah-susah gampang.
Di halaman rumah, keduanya tampak meluruskan kakinya yang cape karena habis berlari memutari halaman rumah.
"Oma itu tidak punya teman ya? Makanya selalu sendirian terus? Selama aku beberapa hari kerja disini. Oma tak sekalipun keluar bertemu teman-teman."
"Untuk apa punya teman kalau semuanya cuma palsu. Dari dulu teman Oma ya cuma almarhum Opa."
"Ya emang sih lebih baik nggak punya teman daripada punya teman tapi palsu Oma. Saya juga cuma punya teman satu doang. Dia yang tahu banyak hal tentang saya. Dia yang selalu menerima keadaan saya dan saya jadikan dia tempat untuk bersandar. Terkadang, sesuatu itu tak bisa jika harus dipendam. Harus dikeluarkan supaya bisa lega. Jadi, mulai sekarang Oma bisa menganggap saya sebagai teman, alih-alih sebagai pengasuh. Lagipula selama saya bekerja, tugas saya bukan seperti pengasuh pada umumnya yang membantu semua keperluan majikannya. Biasanya kan kalau mandi, ya kita sebagai pengasuh bantu mandiin, makan disuapin. Karena kebanyakan mereka sakit dan keluarganya sibuk bekerja makanya menyewa pengasuh. Tapi, Oma kan berbeda, Oma sehat, masih bisa melakukan semuanya sendiri. Kalau dipikir-pikir pakai logika mah, cuma buang-buang uang aja Oma menyewa pengasuh tuh. Tapi, ya itu mah kan cuma pikiran saya aja Oma. Beda cerita dengan Oma yang banyak uang. Mungkin saking banyaknya sampai bingung gimana makenya, makanya di rumah ini banyak pekerjanya. Maka dari itu, supaya aku tidak makan gaji buta. Oma bisa menumpahkan segala unek-unek di hati Oma yang tidak bisa Oma ceritakan ke cucu maupun anak Oma sendiri ke saya. Tenang saja Oma, rahasia Oma akan aman."
Oma Rasti menatap ke arah Ziana. Kesan Oma padanya selalu dibuat terheran-heran dengan segala pemikiran dewasa wanita muda itu. Susi memang pengasuh muda yang baik, tapi dia tidak seperti Ziana yang bisa baik dan buat kesal di satu hari. Tapi memang mengobrol dengan Ziana lebih nyambung karena mendapatkan feedback, berbeda dengan Susi yang hanya mendengarkan ceritanya saja.
*
*
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Aiko_azZahwa
zi cerewet srkali y oma...tp it yg membuat oma tdk kesepian lgi,,😁😁
2023-06-19
0