I Am VAMPIRE

I Am VAMPIRE

CHAPTER 1

Derap langkah memasuki area taman kota, terlihat gadis cantik dengan rambut panjang berwarna kecoklatan tengah memperhatikan sekelilingnya seolah mencari seseorang.

Bruugh …

Seorang pria tiba tiba menabraknya dari arah depan, buku yang tadi berada ditangan pria itu kini jatuh berserakan di tanah.

“Maaf nona, aku tidak sengaja,” kata pria itu yang kini berusaha memunguti bukunya.

“Hmm, pergilah,” jawabnya.

Gadis itu menatap punggung pria tadi sampai menghilang dari pandangannya.

Perasaan apa ini. Batinnya.

Merasakan ponselnya bergetar di saku blazernya, gadis itu segera mencari tempat sepi untuk menerima panggilan, dilihatnya terdapat sebuah lorong kecil yang sepi di sekitar taman kota tanpa berfikir panjang dia segera menuju kesana.

‘Alena, dimana kamu?' tanya suara yang terdengar dari ponselnya.

“Ditaman kota," jawabnya.

‘Apa yang kamu lakukan disana? jangan membuat masalah dihati pertama kamu keluar dari hutan, Alena.’ Suara itu terdengar sedang kesal.

“Jangan salahkan aku, salahkan dirimu sendiri yang tidak memberitahuku lokasi tempat kita bertemu,” protes Alena.

‘Oke maaf, aku salah. Akan aku kirim lokasinya sekarang," jawabnya. 'Tapi ingat, jangan membuat masalah.," sambungnya lagi.

Tanpa menjawab lagi, Alena segera memutuskan panggilannya sepihak, dia terlalu malas jika harus mendengar ocehan dari seseorang yang melakukan panggilan dengannya itu.

Tak lama kemudian sebuah pesan masuk yang berisikan sebuah lokasi. Aena dengan segera menyusuri lorong tersebut yang rupanya searah dengan lokasi yang dia terima.

Suasana lorong yang terbilang sunyi tak membuatnya takut sedikitpun, dia terus berjalan normal sambil memainkan ponselnya.

“Halo, Nona”. Suara berat yang terdengar didepan sana membuat alena harus menghentikan langkahnya.

Terlihat tiga pria dengan banyak tato ditubuhnya tengah menghadang jalan.

“Sepertinya target kali ini bagus, Bos”. Mendengar ucapan anak buahnya pria berbadan besar yang berdiri ditengah itu tersenyum senang.

“Menyingkirlah, aku tidak ada urusan dengan kalian," pinta Alena.

“Serahkan uang dan ponselmu terlebih dahulu baru aku akan membiarkanmu lewat,” balas pria berbadan besar itu.

“Sebaiknya kalian memyingkir dan jangan bermain api denganku, aku sedang tidak ingin mencari masalah,” kesal Alena.

“Bos, dia ini terlalu banyak bicara, sebaiknya kita langsung rampas saja tasnya” saran salah satu dari mereka.

“JANGAN!" teriak seseorang dari arah belakang.

Alena dan ketiga preman itu pun menoleh. Ternyata terdapat pria paruh baya yang kini tengah berdiri dengan tubuh yang terlihat bergetar ketakutan.

“Jangan dekati wanita itu, dia … dia bukan manusia” sambungnya dengan suara bergetar saat melihat Alena.

“Jangan mengarang cerita kalau ingin menyelamatkannya, Pak Tua. Jika dia bukan manusia lalu apa. Siluman?,” timpal salah satu preman itu, kemudian terdengar gelak tawa dari mereka.

“Benar, dia bukan manusia. Dia … Dia seorang vampire,” jawabnya.

Tawa semakin terdengar keras dari ketiga preman tadi, namun tidak dengan Alena. Kini tatapannya lurus tajam kearah pria tua itu.

Dengan secepat kedipan mata kini Alena berada didepan pria tua tersebut.

“Bos, bagaimana bisa?.” Ketiga preman pun nampak terkejut dengan apa yang dilihatnya barusan.

“Pak tua, sepertinya anda tau sesuatu?” tanya Alena.

Kepala Alena yang tadi menunduk kini terangkat dan memperlihatkan bola matanya yang berubah warna menjadi biru.

“Katakan apa yang anda lihat!" desaknya.

Suaranya terdengar rendah namun sorot matanya sangat mengintimidasi lawan bicaranya.

“Kamu … Vampir. Semalam aku melihatmu menggigit seekor kelinci di belakang bangunan kosong yang terletak dipinggir kota," jawabnya jelas.

Sudut bibirnya terangkat setelah mendengar penjelasan dari pria tua didepannya.

"Ternyata benar, anda mengetahui apa yang seharusnya tidak pernah anda ketahui," ucap Alena.

Taring tajam mulai muncul di deretan giginya, langkah kakinya perlahan mendekat membuat pria itu mundur ketakutan.

“Kalau takdirmu mati hari ini, salahkan saja dirimu yang dengan berani mengetahui rahasia seseorang”. Geramnya.

“Jangan … Tolong, jangan bunuh saya." Pria itu memohon dengan mengatupkan kedua tangannya. Namun percuma, Alena tidak akan melepaskannya setelah mengetahui identitas asli Alena.

Aarghh …

Taring tajam itu dengan mudah menancap di lehernya, tidak peduli seberapa menyedihkan ekspresi yang di perlihatkan, taring itu tetap teguh pendirian dalam menghisap darah mangsanya sampai habis.

Tubuh yang terbilang tak lagi segar itu kini tergeletak tak bernyawa, wajah pucatnya nampak jelas dipenglihatan tiga preman yang masih berada ditempatnya.

Tubuh mereka bergetar, keringat dingin dirasa mulai keluar dari pori pori setelah menyaksikan langsung kejadian yang ada dihadapan mereka.

“Bos … kita … kita sepertinya salah target, Bos,” kata preman yang terlihat paling kurus diantara mereka.

“Lari bodoh," intruksi dari pria yang berada ditengah.

Baru dua langkah berlari kaki mereka kini tak lagi menapak tanah, tubuh mereka terangkat oleh kekuatan yang Alena keluarkan.

“Dari awal aku sudah memperingatkan kalian, jangan bermain api dengan ku. Lalu setelah kalian menyaksikan apa yang aku lakukan kalian bisa lepas begitu saja. Jangan bermimpi!" murkanya.

Kemarahan Alena membuat ketiga preman itu semakin tak berdaya. Dengan kekuatannya, Alena mencekram leher preman itu, dan tidak sedikitpun memberi ampun kepada mereka.

“To-tolong … lepaskan kami," pinta preman itu dengan sisa tenaganya.

Tidak perduli dengan apapun yang dia dengar, Alena semakin mencengkraman leher ketiga preman tersebut dengan kuat, perlahan tubuh mereka melemas.

Saat dirasa tidak ada lagi pergerakan Alena melepas kekuatannya dan membiarkan jasad itu terjun bebas.

“Gara gara bajingan ini aku mengingkari janji ku pada Tyson” gerutunya.

Dilihatnya sebuah pisau lipat berada di saku celana salah satu preman itu, lalu dia mengambilnya dan menoreh beberapa sayatan di leher pria tua untuk menghilangkan bekas gigitannya, dan membuatnya seolah perbuatan manusia.

Puas dengan hasil karya yang dia buat, Alena mengembalikan pisau itu dan meletakkan pada tangan pemiliknya, lalu dengan mudah dia menghapus jejaknya dari sana dan pergi meninggalkan mayat mayat itu.

...***...

Cafe yang tak begitu besar dan minim pengunjung membuat alasan mengapa Tyson memilih tempat ini untuk bertemu dengan Alena.

Namun sudah lebih dari setengah jam Tyson menunggu belum ada tanda tanda kehadiran Alena. Kesal dan khawatir itu yang dia rasakan ketika Alena tak kunjung menampakkan diri.

Ketukan jarinya yang menyamai hitungan detik jam dinding itupun terhenti saat sosok alena terlihat tengah berjalan kearahnya.

Tanpa rasa bersalah Alena segera mendudukkan dirinya berhadapan dengan Tyson.

“Dari mana saja? Jarak cafe dan taman kota dekat hanya butuh sepuluh menit untuk jalan kaki.” Itulah kalimat pertama yang Tyson lontarkan.

“Maaf, ada sedikit gangguan,” jawab Alena.

“Kamu tidak membuat masalah kan, Alena?," tanya Tyson penuh selidik.

Sudut bibir alena terangkat paksa dan menampilkan deretan giginya. “Sedikit, tapi tenang saja sudah aku bereskan semua.” balasnya.

“Oke, aku percaya," Ucap Tyson, yang sebenarnya bertentangan dengan hatinya, dia masih tidak bisa mempercayai perempuan didepannya ini karena jiwa vampirenya masih belum terkontrol sepenuhnya.

Tangan Tyson terulur mengambil tas yang berada di sampingnya, membawanya ke meja lalu membukanya, tangannya menyelinap masuk dan mengeluarkan beberapa map berwarna coklat.

“Ini kartu identitasmu dan beberapa dokumen penting lainnya. Mulai besok kamu bisa masuk sekolah,” jelasnya sembari menyerahkan map tersebut pada Alena.

“Kamu menjadikanku murid SMA?” Tanya alena tak percaya.

“Iya, itu cocok denganmu” jawab Tyson.

“Tidak cocok sama sekali, itu terlalu kekanakan Tyson, lebih baik aku menjadi mahasiswa yang setidaknya terlihat sedikit dewasa," protes Alena.

“Ini yang terbaik Alena, terima saja!" Tyson kekeh dengan jawaban yang dia berikan.

Alena menghela nafas pasrah menerima jika dirinya harus berpura pura menjadi gadis belasan tahun.

“Dan ini kunci mobil dan rumah mu, mulai sekarang biasakan menggunakan kendaraan atau berjalan kaki, jangan gunakan teleportasi atau langkah cepat mu, itu bisa mengundang kecurigaan orang orang,” Lanjutnya menjelaskan.

“Dan satu lagi, kamu akan bertemu seseorang disekolah mu nanti," sambung Tyson.

“Seseorang? Apa … dia?,” tanya alena.

Tyson mengangguk sebagai jawabannya.

Raut wajah yang awalnya datar kini tengah tersenyum licik, Alena menatap Tyson lekat dengan mata birunya, begitupun sebaliknya.

...***...

Hari ini seluruh siswa kembali melakukan aktifitas sekolahnya setelah dua minggu libur semester. Banyak yang datang dengan wajah senang dan ceria namun ada juga yang murung karena merasa hari liburnya berakhir dengan cepat salah satunya adalah Haidar, siswa kelas XI yang terkenal jahil dan sedikit pemalas.

“Kenapa sih kita harus sekolah?". Pertanyaan random yang tiba tiba keluar dari mulut Haidar saat dirinya dan kedua temannya tengah berjalan menuju kelas mereka.

“Karena udah jadwalnya masuk, Haidar,” jawab janu.

“Kamu sekolah saja masih bodoh, apalagi jika tidak sekolah,” cetus Mala.

“Salah satu alasan kenapa aku kurang pinter itu karena setiap hari mendengar suara mu, Kemala” jelas Haidar.

“Yang bodoh otakmu, kenapa malah menyalahkan orang lain” protes Alena.

Janu yang berada diantara mereka berdua hanya bisa memutar bola matanya, pemandangan seperti ini sudah biasa baginya, hanya saja ini adalah hari pertama masuk dia tidak ingin mengacaukan hari baik ini.

“Sudah ya, ini masih pagi. Jangan merusak mood ku yang sedang baik hari ini” lerai Juna dengan malas.

Langkahnya pergi meninggalkan kedua temannya yang masih saling menatap kesal.

Disisi lain, kini Alena berada diruang Kepala Sekolah bersama Tyson, mereka tengah membicarakan tentang Alena yang akan menjadi murid baru disekolah ini. Ralat, hanya Tyson dan Kepala Sekolah yang berbicara, Alena hanya duduk diam dengan memasang muka datarnya.

“Terimakasih Pak Tyson karena sudah mempercayakan Alena untuk sekolah disini.” Tangan Kepala Sekolah itu terulur kearah Tyson.

“Sama sama,Pak” balasnya dan membalas uluran tangan Kepala Sekolah.

Pintu ruangan diketuk menampilkan sosok wanita mengenakan seragam khas guru dengan rambut sebahu yang berjalan ke arah mereka.

“Alena, ini Bu Arin, guru yang akan menjadi Wali Kelas kamu. Kamu bisa ikut dia sekarang” ucap Kepala Sekolah itu memperkenalkan guru wanita yang saat ini berdiri disamping Alena.

“Baik Pak, terimakasih,” balas Alena.

Segera Alena beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mengekor di belakang guru wanita yang akan menjadi Wali Kelasnya itu.

“Ini kelas kamu. Maaf ya kalau ramai, sepertinya kamu terbiasa dengan suasana sunyi" ujar wanita yang di ketahui bernama Arin.

“Tidak apa apa, bu. Saya tidak keberatan” jawab Alena.

“Ya sudah, ayo masuk” ajaknya.

Saat bu Arin dan Alena memasuki ruang kelas, suasana yang tadinya gaduh berubah jadi tenang.

Mata seluruh siswa tertuju pada Alena yang terlihat asing bagi mereka.

“Anak anak, dia teman baru kalian namanya Alena. Selama ini dia homescooling, harap maklum jika Alena sedikit kesusahan dalam berinteraksi dengan kalian” Jelas bu Arin didepan semua muridnya.

Terlihat respon positif yang diterima dari anak muridnya membuat bu Arin lega dan senang.

“Alena, kamu bisa duduk di bangku kosong itu." Tangan bu Arin bergerak menunjuk meja kosong di barisan belakang.

“Baik, Bu.” jawab Alena.

Alena berjalan ke bangkunya, nampak siswa laki laki yang duduk disebelah mejanya tengah tersenyum menatapnya.

“Hai, aku Januar, panggil saja Janu." sapanya sembari mengulurkan tangan.

Alena membalas uluran tangan janu. “Alena.”

Janu terdiam raut wajahnya berubah seketika.

“Kenapa?” tanya Alena.

“Tangan kamu … dingin," Jawab Janu.

Dengan segera Alena menarik tangannya lalu menyembunyikannya di sweter yang dia pakai.

“Wah, Janu gk kesepian lagi nih," sahut Haidar yang berada di depan janu.

“Halo, Alena. Aku Kemala, panggil aja Mala” sambung Mala yang memlerkenalkan diri.

Kali ini Alena nampak ragu menerima uluran tangan dari Mala, namun dengan yakin akhirnya dia berani menerima uluran tangan itu.

“Alena" jawab Mala.

“Mana? Gak dingin tuh” ucap Mala pada Janu.

“Coba aku.” Mala dengan cepat menepis tangan haidar yang hendak memegang tangan Alena.

“Modus,” ketus Mala.

“Bukan modus, hanya memastikan” jawabnya.

"Dia Haidar, murid paling berisik dan pemalas dikelas" kata Mala memperkenalkan Haidar pada Alena.

"Kita teman kan, Mala? Tapi kenapa kamu tidak memperkenalkanku dengan baik," protes haidar.

"Itu sudah cukup baik, masih mending tidak semua keburukanmu aku ucapkan," jawab Mala.

Janu terdiam fikirannya terbang entah kemana, dia yakin tadi dia merasakan tangan Alena yang sedingin es.

Perlahan dia mengamati Alena yang tengah berbincang dengan kedua temannya. Matanya berbinar seolah mengingat sesuatu.

“Kamu yang kemaren aku tabrak waktu ditaman kota, kan?" tanya Janu.

“Oh, jadi itu kamu" balas Alena.

“Tapi, penampilanmu berbeda. Kemaren aku tidak berfikir kalau kita seumuran" kata Janu.

Alena hanya tersenyum menanggapi ucapan Janu, karena faktanya mereka memang tidak seumuran. Alena jauh lebih tua dari yang dia fikirkan.

Ternyata itu dia, pantas perasaan aneh ini muncul saat aku memasuki kelas. Batin Alena.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!