CHAPTER 3

Alena yang tengah berdiri di tepi danau dengan pemandangan langit sore dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang tiba tiba menyelipkan bunga di telinganya.

“Cantik," celetuknya dengan senyuman merekah dibibir.

Alena menoleh dengan terlekut. "Jarvis.”

“Bunga itu cocok sangat cocok denganmu," sambungnya.

“Kamu kenapa disini, disini bahaya buatmu Jarvis,” ucap Alena panik.

“Tenang saja, aku hanya sebentar," jawabnya.

Jarvis selangkah lebih dekat dengan Alena, lalu menarik Alena kepelukannya. “Aku merindukanmu, Alena.”

Alena merasa nada bicara Jarvis berubah menjadi sendu, seolah menyimpan duka yang sulit diungkapkan.

“Jarvis, ada apa denganmu?,” tanya Alena dengan melepaskan pelukannya.

Jarvis menggeleng pelan. “Aku hanya ingin kamu tau, kalau perasaanku tulus dan nyata, Alena”

Alena tersenyum mendengarnya, lalu tangannya bergerak mengusap lembut pipi Jarvis.

“Aku tau. Itu sebabnya aku berusaha meyakinkan dunia bahwa perbedaan itu bukan sebuah masalah.”

Jarvis kembali membawa Alena kepelukannya, matanya terpejam merasakan hangatnya pelukan seseorang yang dia cintai. Perlahan air matanya keluar dan Jarvis berusaha tetap tenang agar Alena tidak menyadari hal itu.

“Alena, apapun yang terjadi nanti aku harap aku akan tetap hidup dihatimu. Tolong jangan salahkan siapapun untuk hal yang akan terjadi kedepannya.”

Alena melepas pelukan mereka dan menatap Jarvis dalam kebingungan.

“Apa yang kamu bicarakan, Jarvis. Kenapa kamu bicara seolah olah kamu akan pergi dariku?"

“Bukan apa apa. Waktu ku sudah habis, aku harus pergi dari sini sebelum ayahmu tau. Alena jaga dirimu baik baik. Kumohon tetaplah hidup, aku akan mencarimu dimasa depan nanti.”

Jarvis melangkahkan kakinya pergi dari danau itu, menghiraukan panggilan Alena yang terus memanggil namanya. Sungguh, hati Jarvis sakit ketika harus mendengar tangisan dari gadis yang sangat dia cintai.

Jarvis.

Jarvis.

“Jarvis.”

Alena terbangun dengan nafas yang memburu bersamaan dengan airmata yang mengalir dengan sendirinya.

“Mimpi itu, kenapa setelah sekian lama mimpi itu datang lagi," geramnya.

“Alena.” Suara berat Tyson terdengar bersamaan dengan terbukanya pintu kamar Alena.

“Tyson, kamu disini?", tanya Alena.

“Iya, aku mendapat firasat buruk tentang mu itu sebabnya aku datang," jawab Tyson.

“Tyson, mimpi itu datang lagi" adunya.

Tyson mengerti apa yang dimaksud Alena. Mendengar hal itu Tyson ikut merasa sedih dan segera memeluk untuk menenangkannya.

“Apa ini artinya Jarvis benar benar datang mencariku," harapnya.

“Alena, jangan terlalu berharap pada reinkarnasi, karena kita tidak tau seseorang itu akan benar benar bereinkarnasi atau tidak," saran Tyson.

Alena membisu. Ucapan Tyson seakan mematahkan harapan yang Alena tanam sejak lama.

“Mau berburu dengan ku ke hutan,” kata Tyson.

Alena menggeleng lalu menjawabnya dengan senyuman. “Aku tidak ingin kemana mana, kamu pergilah sendiri"

Tyson mengangguk, lalu pergi meninggalkan Alena sendiri.

Maafkan aku, Alena. Aku tidak bisa memberitahumu untuk saat ini, tunggu sampai aku mengetahui kebenarannya. Batin Tyson

“Semoga tidak terlambat untuk memberitahumu nanti.” ucapnya.

...***

...

Tenang dan sunyi, suasana perpustakaan memang sangat tepat untuk Alena saat ini yang tidak ingin berjumpa dengan banyak manusia.

Kakinya melangkah menyusuri setiap rak buku, bisa dibilang buku buku ini semua sudah pernah Alena baca. Selama dia tinggal dihutan seorang diri, Tyson tidak pernah absen memberinya berbagai macam buku setiap tahun. Itu sebabnya, selama menjadi murid Alena tidak perlu susah susah untuk belajar karena semua sudah tercatat di otak cerdasnya.

Alena segera menutup mulut dan hidungnya saat menyadari aroma darah yang membuatnya mual tiba tiba menyeruak di indra penciumannya.

Alena hendak melangkah pergi dari perpustakaan, namun tepukan dipundaknya serta sapaan seseorang membuatnya tak bisa pergi dari sana.

“Hai, kita ketemu lagi”

Alena menurunkan tangannya lalu dengan sekuat tenaga mencoba untuk tersenyum.

“Kamu masih ingat aku kan?” tanya pria yang berdiri didepan Alena saat ini.

“Iya, Javir” jawab Alena.

“Alena." Suara berat milik Janu itu mengontrupsi keduanya.

Janu berdiri di belakang Javir dengan raut wajahnya yang terlihat tidak senang.

Langkah Janu mendekat dan meraih pergelangan tangan Alena. “Ayo, yang lain sudah menunggumu di kantin," ajaknya lalu membawa Alena pergi tanpa berpamitan pada Jarvis yang masih berada disana.

Dalam hati Alena sangat senang karena kedatangan Janu dia bisa pergi dari aroma darah yang menjijikkan itu.

“terimakasih,” ucap Alena

“untuk apa?” tanya janu.

“Tidak ada” jawabnya.

Langkah mereka terus berlanjut sampai di kantin, disana sudah ada Haidar dan Mala dengan empat piring siomay didepannya.

“Alena, maaf. Aku tidak tau apa yang kamu suka, jadi … aku pesankan yang sama dengan kita” kata Mala.

“tidak masalah, aku suka ini" jawabnya dengan senyuman manis.

Mereka berempat langsung menyantap makanan didepannya sebelum jam istirahat berakhir.

Disisi lain, tepatnya diatas gedung yang berdekatan dengan sekolah Alena, terdapat seseorang dengan pakaian serba hitam dengan kepala yang tertutup tudung tengah tersenyum melihat pemandangan didepannya.

“Tyson merawatmu dengan sangat baik, Alena. Sepertinya kamu tidak bisa merasakan kehadiranku saat ini," ucapnya.

...***

...

Saat ini Tyson tengah menunggu kedatangan Dion dikantornya, tangannya tak berhenti mengetuk meja sebagai ganti rasa bosan yang menyelimutinya.

Suara pintu yang terbuka membuat Tyson segera berdiri dan menghampiri.

“Bagaimana, Dion?" tanyanya.

“Lokasi itu kini sudah dibangun sebuah perusahaan, dan kita tidak mungkin membongkarnya untuk mencari mayat itu, bukan" jawab Dion.

Tyson menghela nafas kecewa karena hasil yang tidak sesuai dengan harapannya.

“Dan ternyata, perusahaan itu adalah perusahaan yang akan bekerja sama dengan anda sore ini” sambung Dion.

Tyson tersenyum karena mendapat sebuah peluang untuk melanjutkan rencananya.

“oh ya, Bos. Tim vampir yang bertugas menjaga nona Alena menemukan keberadaan vampir asing dì sekitar nona Alena” lanjut Dion.

“vampir asing?" tanya Tyson.

Dion mengangguk sebagai jawaban.

"Apa ini arti dari firasat burukku akhir akhir ini?” gumam Tyson.

“Bos, apa yang harus saya lakukan selanjutnya?” tanya Dion.

“Pergi dan siapkan meeting untuk nanti, kita harus berhasil bekerja sama dengan perusahaan itu terlebih dahulu, baru kita fikirkan cara bagaimana mendapatkan mayat itu” jelas Tyson.

“untuk masalah Alena, selama tidak ada laporan yang mencurigakan, biarkan saja. Aku yang akan mengurusnya” imbuhnya.

“Baik bos." Dion segera keluar dari ruangan Tyson setelah mendapatkan perintah.

“siapa vampir itu?” Gumam Tyson.

...***

...

Matahari yang semakin turun membuat suasana sekolah kian sunyi.

Satu persatu siswa yang berdiri didepan gerbang dan halte mulai meninggalkan sekolah, kini hanya tersisa Alena dan beberapa siswa.

Tidak, Alena tidak menunggu jemputan ataupun kendaraan umum lainnya. Dia hanya enggan pergi dari sana karena perasaannya yang kacau entah karena apa.

Alena merasa perutnya mual, itu artinya pemilik darah itu tak jauh dari keberadaan Alena saat ini. Semakin lama semakin kuat aroma darah itu hingga seseorang tiba disebelah kanannya.

“Belum dijemput?” tanyanya.

“Belum,” jawab Alena seadanya.

“Ikut aku, aku akan mengantarmu pulang," ajak Javir.

“tidak, tidak perlu repot, aku masih bisa jalan kaki,"tolak Alena dengan cepat.

Dia tidak bisa membayangkan jika harus berada dalam satu mobil dengan Javir, tentu dia akan sangat mual karena aroma darahnya.

“Sudah, ayo ikut." Tanpa menunggu persetujuan, Javir menarik tangan Alena dan menuju mobilnya.

Alena yang bingung entah dengan cara apalagi dia harus menolak ajakan Javir, akhirnya dia hanya pasrah dengan nasibnya.

Mobil Javir melaju meninggalkan sekolah dan berjalan dengan kecepatan normal.

Selama perjalanan Javir sesekali melirik kearah Alena, memandangi wajah cantik itu meski selalu tampak tanpa ekspresi.

“jangan terlalu sering memasang wajah jutek, anak anak yang lain akan enggan mendekatimu,” kata Javir ditengah tengah kecanggungan yang ada.

“tidak peduli,” jawab Alena.

Tidak ada lagi pembicaraan setelah itu, Javir yang fokus menyetir dan Alena yang melempar pandangan keluar jendela mencari cara agar segera keluar dari mobil.

Bibirnya terangkat sebelah saat melihat sebuah bangunan tinggi didepan sana.

Alena lalu menginterupsikan Javir agar berhenti. “Berhenti didepan," kata Alena.

Javir menurut dan memberhentikan mobilnya di depan gedung yang nampak mewah itu.

“Kamu tinggal disini?” tanya Javir dengan sedikit terkejut.

“iya. Terimakasih untuk tumpangannya" jawab Alena.

Alena segera keluar dan berlari menuju kedalam bangunan. Akhirnya Alena bisa bernafas lega saat melihat mobil Javir pergi.

“Bisa mati, jika lama lama berada disana” gumamnya.

“Alena," spa sessorang yang berada di belakang Alena.

Mendengar namanya dipanggil Alena segera berbalik badan untuk melihat siapa pemilik suara itu.

“Tyson,” uacapnya.

“Kamu kenapa disini?" tanya Tyson.

“Ceritanya panjang," jawab Alema. "Kamu sendiri kenapa bisa disini?" tanya Alena.

Tyson mengangkat alisnya heran.

“Berkunjung," jawabnya

Jawaban Tyson bukan jawaban yang dengan cepat dimengerti oleh Alena.

Melihat wajah bingung Alena, Tyson sedikit tertawa mengejek.

“jangan bilang kamu tidak tau kalau apartemen ini salah satu bisnis yang didirikan oleh Alenxia Grub” sindir Tyson.

Bukan Cuma Tyson, bahkan Dion yang berada di belakang Tyson ikut tertawa karena Alena.

“Jangan tertawa. Aku bukannya tidak tahu bisnis apa yang dilakukan perusahaan, ,aku hanya tidak tau lokasi dan namanya saja” protes Alena.

Tyson memukul pelan kepala Alena dengan kertas yang dia bawa. “Sama saja, Alena” balas Tyson.

“Kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa kamu bisa disini?" sambungnya.

“Aku hanya asal turun dari mobil Javir karena tidak tahan dengan aromanya," jawannya kesal.

Tyson sedikit terkejut dengan jawaban Alena. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk mengajak Alena pulang. “Ya sudah, ayo ikut pulang dengan ku."

Mobil mereka kini menuju kerumah Alena terlebih dahulu sebelum Tyson kembali ke kantor.

“Jadi kamu yang datang mencariku di sekolah?" tanya Alena pada Dion yang tengah fokus menyetir.

“Iya, maaf nona” jawabnya.

“Tyson, kamu tidak salah memperkerjakan seorang manusia sebagai tangan kananmu?." Alena menoleh kearah Tyson yang duduk disampingnya.

“Kenapa? Bukankah bibi Lina juga seperti itu,” jawab Tyson.

Melihat Alena yang terdiam setelah mendengar jawabannya membuat Tyson merasa bersalah.

“Kamu sudah menemukannya?” tanya Tyson untuk mengalihkan pembicaraan.

“Iya, target ditemukan," jawab Alena.

Kini pandangan Alena menajam, sorot matanya penuh dengan amarah dan dendam.

“Lalu apa yang akan kamu lakukan?” tanyanya memastikan.

“Untuk saat ini aku tidak tau, karena mendekati dia saja sudah membuatku mual karena darahnya,"jawab Alena.

“Takdir sepertinya memang tidak memihakmu untuk balas dendam. Targetmu adalah bentuk kutukan yang kamu terima. Kamu membunuhnya itu artinya kamu juga membunuh dirimu sendiri," jelas Tyson.

"Aku akan mencari cara agar bisa membunuhnya tanpa harus menghisap darahnya. Namun jika memang sudah tidak ada cara lain aku akan tetap membunuhnya meski harus mengorbankan nyawaku," gerammya.

Hati Alena sudah tertutup oleh dendam kini amarahnya benar benar memuncak ketika sekelebatan masalalu terlintas diingatannya. Matanya sudah berubah warna menjadi biru, dan sorot matanya menajam lurus kedepan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!