NovelToon NovelToon

I Am VAMPIRE

CHAPTER 1

Derap langkah memasuki area taman kota, terlihat gadis cantik dengan rambut panjang berwarna kecoklatan tengah memperhatikan sekelilingnya seolah mencari seseorang.

Bruugh …

Seorang pria tiba tiba menabraknya dari arah depan, buku yang tadi berada ditangan pria itu kini jatuh berserakan di tanah.

“Maaf nona, aku tidak sengaja,” kata pria itu yang kini berusaha memunguti bukunya.

“Hmm, pergilah,” jawabnya.

Gadis itu menatap punggung pria tadi sampai menghilang dari pandangannya.

Perasaan apa ini. Batinnya.

Merasakan ponselnya bergetar di saku blazernya, gadis itu segera mencari tempat sepi untuk menerima panggilan, dilihatnya terdapat sebuah lorong kecil yang sepi di sekitar taman kota tanpa berfikir panjang dia segera menuju kesana.

‘Alena, dimana kamu?' tanya suara yang terdengar dari ponselnya.

“Ditaman kota," jawabnya.

‘Apa yang kamu lakukan disana? jangan membuat masalah dihati pertama kamu keluar dari hutan, Alena.’ Suara itu terdengar sedang kesal.

“Jangan salahkan aku, salahkan dirimu sendiri yang tidak memberitahuku lokasi tempat kita bertemu,” protes Alena.

‘Oke maaf, aku salah. Akan aku kirim lokasinya sekarang," jawabnya. 'Tapi ingat, jangan membuat masalah.," sambungnya lagi.

Tanpa menjawab lagi, Alena segera memutuskan panggilannya sepihak, dia terlalu malas jika harus mendengar ocehan dari seseorang yang melakukan panggilan dengannya itu.

Tak lama kemudian sebuah pesan masuk yang berisikan sebuah lokasi. Aena dengan segera menyusuri lorong tersebut yang rupanya searah dengan lokasi yang dia terima.

Suasana lorong yang terbilang sunyi tak membuatnya takut sedikitpun, dia terus berjalan normal sambil memainkan ponselnya.

“Halo, Nona”. Suara berat yang terdengar didepan sana membuat alena harus menghentikan langkahnya.

Terlihat tiga pria dengan banyak tato ditubuhnya tengah menghadang jalan.

“Sepertinya target kali ini bagus, Bos”. Mendengar ucapan anak buahnya pria berbadan besar yang berdiri ditengah itu tersenyum senang.

“Menyingkirlah, aku tidak ada urusan dengan kalian," pinta Alena.

“Serahkan uang dan ponselmu terlebih dahulu baru aku akan membiarkanmu lewat,” balas pria berbadan besar itu.

“Sebaiknya kalian memyingkir dan jangan bermain api denganku, aku sedang tidak ingin mencari masalah,” kesal Alena.

“Bos, dia ini terlalu banyak bicara, sebaiknya kita langsung rampas saja tasnya” saran salah satu dari mereka.

“JANGAN!" teriak seseorang dari arah belakang.

Alena dan ketiga preman itu pun menoleh. Ternyata terdapat pria paruh baya yang kini tengah berdiri dengan tubuh yang terlihat bergetar ketakutan.

“Jangan dekati wanita itu, dia … dia bukan manusia” sambungnya dengan suara bergetar saat melihat Alena.

“Jangan mengarang cerita kalau ingin menyelamatkannya, Pak Tua. Jika dia bukan manusia lalu apa. Siluman?,” timpal salah satu preman itu, kemudian terdengar gelak tawa dari mereka.

“Benar, dia bukan manusia. Dia … Dia seorang vampire,” jawabnya.

Tawa semakin terdengar keras dari ketiga preman tadi, namun tidak dengan Alena. Kini tatapannya lurus tajam kearah pria tua itu.

Dengan secepat kedipan mata kini Alena berada didepan pria tua tersebut.

“Bos, bagaimana bisa?.” Ketiga preman pun nampak terkejut dengan apa yang dilihatnya barusan.

“Pak tua, sepertinya anda tau sesuatu?” tanya Alena.

Kepala Alena yang tadi menunduk kini terangkat dan memperlihatkan bola matanya yang berubah warna menjadi biru.

“Katakan apa yang anda lihat!" desaknya.

Suaranya terdengar rendah namun sorot matanya sangat mengintimidasi lawan bicaranya.

“Kamu … Vampir. Semalam aku melihatmu menggigit seekor kelinci di belakang bangunan kosong yang terletak dipinggir kota," jawabnya jelas.

Sudut bibirnya terangkat setelah mendengar penjelasan dari pria tua didepannya.

"Ternyata benar, anda mengetahui apa yang seharusnya tidak pernah anda ketahui," ucap Alena.

Taring tajam mulai muncul di deretan giginya, langkah kakinya perlahan mendekat membuat pria itu mundur ketakutan.

“Kalau takdirmu mati hari ini, salahkan saja dirimu yang dengan berani mengetahui rahasia seseorang”. Geramnya.

“Jangan … Tolong, jangan bunuh saya." Pria itu memohon dengan mengatupkan kedua tangannya. Namun percuma, Alena tidak akan melepaskannya setelah mengetahui identitas asli Alena.

Aarghh …

Taring tajam itu dengan mudah menancap di lehernya, tidak peduli seberapa menyedihkan ekspresi yang di perlihatkan, taring itu tetap teguh pendirian dalam menghisap darah mangsanya sampai habis.

Tubuh yang terbilang tak lagi segar itu kini tergeletak tak bernyawa, wajah pucatnya nampak jelas dipenglihatan tiga preman yang masih berada ditempatnya.

Tubuh mereka bergetar, keringat dingin dirasa mulai keluar dari pori pori setelah menyaksikan langsung kejadian yang ada dihadapan mereka.

“Bos … kita … kita sepertinya salah target, Bos,” kata preman yang terlihat paling kurus diantara mereka.

“Lari bodoh," intruksi dari pria yang berada ditengah.

Baru dua langkah berlari kaki mereka kini tak lagi menapak tanah, tubuh mereka terangkat oleh kekuatan yang Alena keluarkan.

“Dari awal aku sudah memperingatkan kalian, jangan bermain api dengan ku. Lalu setelah kalian menyaksikan apa yang aku lakukan kalian bisa lepas begitu saja. Jangan bermimpi!" murkanya.

Kemarahan Alena membuat ketiga preman itu semakin tak berdaya. Dengan kekuatannya, Alena mencekram leher preman itu, dan tidak sedikitpun memberi ampun kepada mereka.

“To-tolong … lepaskan kami," pinta preman itu dengan sisa tenaganya.

Tidak perduli dengan apapun yang dia dengar, Alena semakin mencengkraman leher ketiga preman tersebut dengan kuat, perlahan tubuh mereka melemas.

Saat dirasa tidak ada lagi pergerakan Alena melepas kekuatannya dan membiarkan jasad itu terjun bebas.

“Gara gara bajingan ini aku mengingkari janji ku pada Tyson” gerutunya.

Dilihatnya sebuah pisau lipat berada di saku celana salah satu preman itu, lalu dia mengambilnya dan menoreh beberapa sayatan di leher pria tua untuk menghilangkan bekas gigitannya, dan membuatnya seolah perbuatan manusia.

Puas dengan hasil karya yang dia buat, Alena mengembalikan pisau itu dan meletakkan pada tangan pemiliknya, lalu dengan mudah dia menghapus jejaknya dari sana dan pergi meninggalkan mayat mayat itu.

...***...

Cafe yang tak begitu besar dan minim pengunjung membuat alasan mengapa Tyson memilih tempat ini untuk bertemu dengan Alena.

Namun sudah lebih dari setengah jam Tyson menunggu belum ada tanda tanda kehadiran Alena. Kesal dan khawatir itu yang dia rasakan ketika Alena tak kunjung menampakkan diri.

Ketukan jarinya yang menyamai hitungan detik jam dinding itupun terhenti saat sosok alena terlihat tengah berjalan kearahnya.

Tanpa rasa bersalah Alena segera mendudukkan dirinya berhadapan dengan Tyson.

“Dari mana saja? Jarak cafe dan taman kota dekat hanya butuh sepuluh menit untuk jalan kaki.” Itulah kalimat pertama yang Tyson lontarkan.

“Maaf, ada sedikit gangguan,” jawab Alena.

“Kamu tidak membuat masalah kan, Alena?," tanya Tyson penuh selidik.

Sudut bibir alena terangkat paksa dan menampilkan deretan giginya. “Sedikit, tapi tenang saja sudah aku bereskan semua.” balasnya.

“Oke, aku percaya," Ucap Tyson, yang sebenarnya bertentangan dengan hatinya, dia masih tidak bisa mempercayai perempuan didepannya ini karena jiwa vampirenya masih belum terkontrol sepenuhnya.

Tangan Tyson terulur mengambil tas yang berada di sampingnya, membawanya ke meja lalu membukanya, tangannya menyelinap masuk dan mengeluarkan beberapa map berwarna coklat.

“Ini kartu identitasmu dan beberapa dokumen penting lainnya. Mulai besok kamu bisa masuk sekolah,” jelasnya sembari menyerahkan map tersebut pada Alena.

“Kamu menjadikanku murid SMA?” Tanya alena tak percaya.

“Iya, itu cocok denganmu” jawab Tyson.

“Tidak cocok sama sekali, itu terlalu kekanakan Tyson, lebih baik aku menjadi mahasiswa yang setidaknya terlihat sedikit dewasa," protes Alena.

“Ini yang terbaik Alena, terima saja!" Tyson kekeh dengan jawaban yang dia berikan.

Alena menghela nafas pasrah menerima jika dirinya harus berpura pura menjadi gadis belasan tahun.

“Dan ini kunci mobil dan rumah mu, mulai sekarang biasakan menggunakan kendaraan atau berjalan kaki, jangan gunakan teleportasi atau langkah cepat mu, itu bisa mengundang kecurigaan orang orang,” Lanjutnya menjelaskan.

“Dan satu lagi, kamu akan bertemu seseorang disekolah mu nanti," sambung Tyson.

“Seseorang? Apa … dia?,” tanya alena.

Tyson mengangguk sebagai jawabannya.

Raut wajah yang awalnya datar kini tengah tersenyum licik, Alena menatap Tyson lekat dengan mata birunya, begitupun sebaliknya.

...***...

Hari ini seluruh siswa kembali melakukan aktifitas sekolahnya setelah dua minggu libur semester. Banyak yang datang dengan wajah senang dan ceria namun ada juga yang murung karena merasa hari liburnya berakhir dengan cepat salah satunya adalah Haidar, siswa kelas XI yang terkenal jahil dan sedikit pemalas.

“Kenapa sih kita harus sekolah?". Pertanyaan random yang tiba tiba keluar dari mulut Haidar saat dirinya dan kedua temannya tengah berjalan menuju kelas mereka.

“Karena udah jadwalnya masuk, Haidar,” jawab janu.

“Kamu sekolah saja masih bodoh, apalagi jika tidak sekolah,” cetus Mala.

“Salah satu alasan kenapa aku kurang pinter itu karena setiap hari mendengar suara mu, Kemala” jelas Haidar.

“Yang bodoh otakmu, kenapa malah menyalahkan orang lain” protes Alena.

Janu yang berada diantara mereka berdua hanya bisa memutar bola matanya, pemandangan seperti ini sudah biasa baginya, hanya saja ini adalah hari pertama masuk dia tidak ingin mengacaukan hari baik ini.

“Sudah ya, ini masih pagi. Jangan merusak mood ku yang sedang baik hari ini” lerai Juna dengan malas.

Langkahnya pergi meninggalkan kedua temannya yang masih saling menatap kesal.

Disisi lain, kini Alena berada diruang Kepala Sekolah bersama Tyson, mereka tengah membicarakan tentang Alena yang akan menjadi murid baru disekolah ini. Ralat, hanya Tyson dan Kepala Sekolah yang berbicara, Alena hanya duduk diam dengan memasang muka datarnya.

“Terimakasih Pak Tyson karena sudah mempercayakan Alena untuk sekolah disini.” Tangan Kepala Sekolah itu terulur kearah Tyson.

“Sama sama,Pak” balasnya dan membalas uluran tangan Kepala Sekolah.

Pintu ruangan diketuk menampilkan sosok wanita mengenakan seragam khas guru dengan rambut sebahu yang berjalan ke arah mereka.

“Alena, ini Bu Arin, guru yang akan menjadi Wali Kelas kamu. Kamu bisa ikut dia sekarang” ucap Kepala Sekolah itu memperkenalkan guru wanita yang saat ini berdiri disamping Alena.

“Baik Pak, terimakasih,” balas Alena.

Segera Alena beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mengekor di belakang guru wanita yang akan menjadi Wali Kelasnya itu.

“Ini kelas kamu. Maaf ya kalau ramai, sepertinya kamu terbiasa dengan suasana sunyi" ujar wanita yang di ketahui bernama Arin.

“Tidak apa apa, bu. Saya tidak keberatan” jawab Alena.

“Ya sudah, ayo masuk” ajaknya.

Saat bu Arin dan Alena memasuki ruang kelas, suasana yang tadinya gaduh berubah jadi tenang.

Mata seluruh siswa tertuju pada Alena yang terlihat asing bagi mereka.

“Anak anak, dia teman baru kalian namanya Alena. Selama ini dia homescooling, harap maklum jika Alena sedikit kesusahan dalam berinteraksi dengan kalian” Jelas bu Arin didepan semua muridnya.

Terlihat respon positif yang diterima dari anak muridnya membuat bu Arin lega dan senang.

“Alena, kamu bisa duduk di bangku kosong itu." Tangan bu Arin bergerak menunjuk meja kosong di barisan belakang.

“Baik, Bu.” jawab Alena.

Alena berjalan ke bangkunya, nampak siswa laki laki yang duduk disebelah mejanya tengah tersenyum menatapnya.

“Hai, aku Januar, panggil saja Janu." sapanya sembari mengulurkan tangan.

Alena membalas uluran tangan janu. “Alena.”

Janu terdiam raut wajahnya berubah seketika.

“Kenapa?” tanya Alena.

“Tangan kamu … dingin," Jawab Janu.

Dengan segera Alena menarik tangannya lalu menyembunyikannya di sweter yang dia pakai.

“Wah, Janu gk kesepian lagi nih," sahut Haidar yang berada di depan janu.

“Halo, Alena. Aku Kemala, panggil aja Mala” sambung Mala yang memlerkenalkan diri.

Kali ini Alena nampak ragu menerima uluran tangan dari Mala, namun dengan yakin akhirnya dia berani menerima uluran tangan itu.

“Alena" jawab Mala.

“Mana? Gak dingin tuh” ucap Mala pada Janu.

“Coba aku.” Mala dengan cepat menepis tangan haidar yang hendak memegang tangan Alena.

“Modus,” ketus Mala.

“Bukan modus, hanya memastikan” jawabnya.

"Dia Haidar, murid paling berisik dan pemalas dikelas" kata Mala memperkenalkan Haidar pada Alena.

"Kita teman kan, Mala? Tapi kenapa kamu tidak memperkenalkanku dengan baik," protes haidar.

"Itu sudah cukup baik, masih mending tidak semua keburukanmu aku ucapkan," jawab Mala.

Janu terdiam fikirannya terbang entah kemana, dia yakin tadi dia merasakan tangan Alena yang sedingin es.

Perlahan dia mengamati Alena yang tengah berbincang dengan kedua temannya. Matanya berbinar seolah mengingat sesuatu.

“Kamu yang kemaren aku tabrak waktu ditaman kota, kan?" tanya Janu.

“Oh, jadi itu kamu" balas Alena.

“Tapi, penampilanmu berbeda. Kemaren aku tidak berfikir kalau kita seumuran" kata Janu.

Alena hanya tersenyum menanggapi ucapan Janu, karena faktanya mereka memang tidak seumuran. Alena jauh lebih tua dari yang dia fikirkan.

Ternyata itu dia, pantas perasaan aneh ini muncul saat aku memasuki kelas. Batin Alena.

CHAPTER 2

“Tyson, kamu bilang kalung ini bisa memanipulasi ku agar terlihat seperti manusia, benar?" tanya Alena yang sedari tadi memperhatikan kalung yang melingkar dilehernya.

“Benar," jawab Tyson dengan tidak mengalihkan perhatiannya dari laptop.

“Termasuk suhu tubuh?” tanya Alena lagi.

“Tentu saja,” jawabnya

“Tapi kenapa Janu bisa merasakan suhu tubuh asliku?" Tanya Alena yang semakin terheran dengan yang dia alami sewaktu di sekolah.

“Janu?" Tyson menghentikan kegiatan kemudian menatap Alena yang duduk disampingnya.

“Teman baruku, dia bisa merasakan tanganku yang sedingin es," jelas Alena.

“Aneh, seharusnya manusia biasa tidak akan bisa" lirih Tyson.

“Apa aku harus membunuhnya," bisik Alena.

“Sepertinya jiwa vampire mu memang sedang bangun” Tyson menjawab dengan sedikit kesal saat melihat mata biru Alena yang nampak sangat terang.

“Pergi ke dapur, disana ada beberapa kantung darah” jelas Tyson.

Tanpa menunggu lagi Alena segera menghilang dari sana,  Tyson yang melihat itu hanya bisa menggeleng kepala.

“Dia masih sangat liar,” gumamnya.

“sepertinya hal seperti ini pernah terjadi, tapi kapan itu?" sambungnya yang bertanyanya pada diri sendiri dan berusaha mengingat namun hal didepannya saat ini lebih penting, laptopnya masih menyala seakan menyuruh Tyson untuk segera memyelesaikan pekerjaanya.

...***...

Hari kedua Alena menjadi seorang murid, kini dia berjalan menyusuri koridor sekolah seorang diri, menjadi pusat perhatian karena wajahnya yang nampak asing bagi siswa lainnya.

Sepanjang perjalanan pandangan yang tertuju pada Alena nampak tak biasa, namun hal seperti itu bukanlah sebuah masalah bagi Alena, dia terus melanjutkan langkahnya dengan ekspresi yang tidak bersahabat.

Sampai di kelasnya yang terletak di lantai dua Alena segera menuju ke bangkunya menghiraukan teman sekelasnya yang juga ikut memperhatikannya.

“Alena, boleh aku bertanya?” tanya Nando selaku ketua kelas.

“Silahkan," jawabnya.

“Kamu kenal Dion?" tanya Nando dengan hati-hati.

Kening Alena mengernyit menampilkan ekspresi bingung dengan pertanyaan yang diberikan Nando. “Dion? Siapa?” tanya Alena.

“Dion Nalendra," jawabnya. "Kamu tidak mengenalnya?" sambungnya bertanya lagi pada Alena.

Alena hanya bisa menggeleng kepala sebagai jawaban.

“Dia Alumni terbaik sekolah ini. Dia bekerja sebagai sekretaris sekaligus tangan kanan dari CEO Alenxia Grub setelah dua tahun lulus. Tadi dia mencarìmu bersama beberapa pengawalnya.” Jelas Nando.

“Alenxia Grub?” kening Alena kembali mengernyit mendengar penjelasan Nando.

“Iya. Dan jika kamu terlibat masalah dengan mereka segera selesaikan, atau semua akan menjadi runyam," pesannya pada Alena.

“Terimakasih sudah memberitahuku. Tapi aku sama sekali tidak terlibat masalah dengan mereka, jadi kamu tenang saja" ujar Alena.

Nando tersenyum lalu kembali ke tempat duduknya.

Lain halnya dengan Alena, kini dia tengah menahan kesal pada seseorang.

Padahal aku ingin menjalani peranku dengan tenang. Tyson, kamu membuatku dalam masalah. Batinnya.

...***...

Alena menatap lekat makanan di depannya, sesekali melirik ketiga temannya yang dengan nikmat melahap makanan mereka.

Apa dia bisa memakan makanan ini. Itulah yang menganggu pikiranmya sejak tadi.

“Alena, kenapa tidak makan? Gak suka ya?" tanya Mala.

“Suka, ini baru mau dimakan,” jawabnya.

Dengan ragu tangan Alena bergerak mengambil sendok lalu menyendok makanan dan memasukkannya kemulut.

Rasa aneh yang dirasakan Alena dari mulutnya, dia yang biasanya hanya menerima amis darah kini harus mulai terbiasa dengan makanan manusia yang terdapat berbagai macam rasa dan bentuk.

Perlahan Alena mulai mengunyah makanan dan berusaha menelannya dengan tidak memuntahkannya. Dia tidak ingin mengundang kecurigaan temannya sehingga dia terpaksa menghabiskan satu piring nasi goreng.

Alena meletakkan kembali sendok yang berada ditangannya, dia merasa lega setelah selesai berperang dengan mulut dan tenggorokannya, langkah terakhir dia akan berperang dengan perutnya ketika pulang nanti, Alena akan memuntahkan semua makanan yang dimakannya hari ini karena pencernaannya tidak bisa mencerna selain darah, dan berkat kalung yang diberikan Tyson makanan itu bisa bertahan paling lama 8 jam diperut Alena.

Sayang seribu sayang disaat Alena baru selesai bergulat dengan makanan, kini dia mencium aroma darah yang sangat membuatnya mual. Aroma darah itu semakin kuat dan membuat Alena ingin mengeluarkan isi perutnya.

Tahan, Alena. Kamu pasti bisa. Batinnya.

“Hai," sapa seseorang yang baru saja datang bersama dua temannya.

“Kamu Alena, kan?” tanya lelaki tinggi dengan wajah bak pangeran itu.

Alena mengangguk.

“Aku Javir,” katanya sambil mengulurkan tangan kearah Alena.

“Alena,” jawab Alena dengan membalas uluran tangannya.

Ketemu.

“Mereka temanku, Yuda dan Alan” kata Javir memperkenalkan kedua temannya yang juga terbilang tampan.

“Maaf, bisa kalian pergi, kedatangan kalian sedikit mengganggu waktu makan kita," sahut Janu yang terlihat tidak suka dengan kehadiran Javir dan temanya.

Javir mengacuhkan ucapan Janu, namun dari ekspresinya dia terlihat kesal dengan Janu. Respon Javir yang negatif cukup membuktikan bahwa mereka memang saling tidak menyukai.

“Aku pergi, kita akan bertemu lagi nanti” pamitnya pada Alena dengan senyum yang terlihat tulus.

Jam dinding terus berjalan, waktu menunjukkan pukul 15.30 selama itu pelajaran masih terus berlangsung, dan Alena juga masih terus berusaha untuk menahan rasa mualnya.

Entah kenapa semenjak dia mencium aroma darah itu, rasa mualnya tidak hilang sampai saat ini. Hingga bell pulang berbunyi Alena segera keluar dari kelas mendahului teman temannya, dia menuju kebelakang sekolah dimana disana tidak ada seorangpun.

Setelah memastikan keadaan aman, Alena segera menggunakan teleportasinya karena sudah tidak tahan ingin memgeluarkan isi perutnya.

Hampir setengah jam Alena berada di kamar mandi akhirnya keluar dengan keadaan lemas.

Tyson yang entah sejak kapan sudah berada dirumah Alena segera berdiri dan mendekati Alena dengan membawa dua kantung darah.

Ini lah alasan kenapa alena tidak memuntahkan makanannya saat masih disekolah, karena setelah itu dia akan merasa haus darah sangat berbahaya jika dia merasa haus ditengah tengah kerumunan manusia.

"Kenapa bisa sampai lemas, Alena? bukannya memuntahkan makanan tidak akan membuat vampire lemas?" tanya Tyson.

"Entahlah, tadi aku mencium aroma darah yang sangat kental dan menyengat, cukup menjijikkan bagiku sampai membuatku mual dan kehilangan tenaga," jawab Alena.

"Darah? Kamu menemukannya?" Tanya Tyson terkejut.

"Iya, dan aku tidak menduga jika aroma darahnya memberi efek negatif cukup besar bagiku" jawabnya.

"Hanya dengan mencium aromanya bisa membuatku mual dan lemas, sepertinya aku memang akan mati jika meminumnya," sambung Alena.

Tanpa Alena sadari Tyson tengah memperhatikannya dengan tatapan sendu. Kalimat terakhir yang dia ucapkan mampu membuat Tyson bungkam, kekhawatiran serta rasa takut kembali mengahantui Tyson.

"Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Tyson memastikan.

"Jauh lebih baik" jawabnya.

"Kalau begitu, pelajari ini." Tangan Tyson mengambil beberapa dokumen yang terletak dimeja, lalu memberikannya pada Alena.

"Apa ini?" tanya Alena saat dokumen itu sudah berada ditangannya.

"Itu berkas penting milik perusahaan, belum semuanya masih banyak berkas lagi yang belum ku bawa," jawab Tyson.

"Maksudku, kenapa aku harus memperlajari ini" tanyanya lebih jelas.

"Pertanyaan bodoh, perusahaan itu milikmu kamu yang membangunnya, jadi sekarang kamu yang akan mengelolanya langsung," jawab Tyson.

"Ayolah Tyson. Aku memang yang memulainya dan yang memyumbang ide dan strategi tapi kamu yang melakukannya di lapangan, aku tidak mau memgambil kedudukan mu, semua orang tau kamu CEOnya, aku hanya dibelakang layar" protes Alena.

"Tapi orang harus tau siapa otak dibalik suksesnya perusahaanku saat ini" bantah Tyson.

"Lalu apa orang akan percaya bahwa otak dibalik suksesnya Alenxia Grub adalah seorang murid SMA? Jawabannya tentu tidak," sahutnya kesal.

Alena beranjak meninggalkan Tyson yang masih duduk di ruang tengah, saat hendak membuka pintu kamarnya dia teringat akan sesuatu.

"Dan satu lagi, jangan pernah menyuruh Dion Nalendra dan anak buahnya mencariku disekolah, aku tidak ingin semua tau apa hubunganku dengan Alenxia Grub. Aku tau, kamu menyuruhnya karena aku tidak ada dirumah. Semalam-"

Alena menjeda kalimatnya, tarikan nafas darinya terdengar berat seakan kalimat selanjutnya sangat susah untuk diungkapkan.

"Aku pergi bukan untuk mencari mangsa, aku hanya kembali kehutan … karena aku merindukannya. Aku sangat merindukan Jarvis" sambungnya.

Alena menutup pintu kamarnya dan meninggalkan Tyson seorang diri.

Tangan Tyson meraih beberapa dokumen itu dan menatapnya lekat. Perusahaan ini adalah hasil dari pelampiasan kesedihan Alena, Tyson yang menyarankan Alena untuk sekedar membuat bisnis kecil agar bisa dia jadikan tujuan kelak saat dia mencari targetnya, namun siapa sangka bisnisnya bertambah besar dan memiliki nama di masyarakat.

Alenxia sendiri diambil dari nama Alena, yaitu Alena Bellenxia. Tyson lah yang memberikan nama itu, untuk mengingat perjuangan alena yang selama ratusan tahun menunggu targetnya untuk balas dendam.

"Sepertinya Jarvis memang akan selalu hidup dihatimu, Alena. Kita lihat, kedepannya kamu akan memilih orangtuamu atau Jarvis," ujar Tyson

Tyson beranjak pergi dari rumah Alena dengan membawa kembali dokumem perusahaannya.

CHAPTER 3

Alena yang tengah berdiri di tepi danau dengan pemandangan langit sore dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang tiba tiba menyelipkan bunga di telinganya.

“Cantik," celetuknya dengan senyuman merekah dibibir.

Alena menoleh dengan terlekut. "Jarvis.”

“Bunga itu cocok sangat cocok denganmu," sambungnya.

“Kamu kenapa disini, disini bahaya buatmu Jarvis,” ucap Alena panik.

“Tenang saja, aku hanya sebentar," jawabnya.

Jarvis selangkah lebih dekat dengan Alena, lalu menarik Alena kepelukannya. “Aku merindukanmu, Alena.”

Alena merasa nada bicara Jarvis berubah menjadi sendu, seolah menyimpan duka yang sulit diungkapkan.

“Jarvis, ada apa denganmu?,” tanya Alena dengan melepaskan pelukannya.

Jarvis menggeleng pelan. “Aku hanya ingin kamu tau, kalau perasaanku tulus dan nyata, Alena”

Alena tersenyum mendengarnya, lalu tangannya bergerak mengusap lembut pipi Jarvis.

“Aku tau. Itu sebabnya aku berusaha meyakinkan dunia bahwa perbedaan itu bukan sebuah masalah.”

Jarvis kembali membawa Alena kepelukannya, matanya terpejam merasakan hangatnya pelukan seseorang yang dia cintai. Perlahan air matanya keluar dan Jarvis berusaha tetap tenang agar Alena tidak menyadari hal itu.

“Alena, apapun yang terjadi nanti aku harap aku akan tetap hidup dihatimu. Tolong jangan salahkan siapapun untuk hal yang akan terjadi kedepannya.”

Alena melepas pelukan mereka dan menatap Jarvis dalam kebingungan.

“Apa yang kamu bicarakan, Jarvis. Kenapa kamu bicara seolah olah kamu akan pergi dariku?"

“Bukan apa apa. Waktu ku sudah habis, aku harus pergi dari sini sebelum ayahmu tau. Alena jaga dirimu baik baik. Kumohon tetaplah hidup, aku akan mencarimu dimasa depan nanti.”

Jarvis melangkahkan kakinya pergi dari danau itu, menghiraukan panggilan Alena yang terus memanggil namanya. Sungguh, hati Jarvis sakit ketika harus mendengar tangisan dari gadis yang sangat dia cintai.

Jarvis.

Jarvis.

“Jarvis.”

Alena terbangun dengan nafas yang memburu bersamaan dengan airmata yang mengalir dengan sendirinya.

“Mimpi itu, kenapa setelah sekian lama mimpi itu datang lagi," geramnya.

“Alena.” Suara berat Tyson terdengar bersamaan dengan terbukanya pintu kamar Alena.

“Tyson, kamu disini?", tanya Alena.

“Iya, aku mendapat firasat buruk tentang mu itu sebabnya aku datang," jawab Tyson.

“Tyson, mimpi itu datang lagi" adunya.

Tyson mengerti apa yang dimaksud Alena. Mendengar hal itu Tyson ikut merasa sedih dan segera memeluk untuk menenangkannya.

“Apa ini artinya Jarvis benar benar datang mencariku," harapnya.

“Alena, jangan terlalu berharap pada reinkarnasi, karena kita tidak tau seseorang itu akan benar benar bereinkarnasi atau tidak," saran Tyson.

Alena membisu. Ucapan Tyson seakan mematahkan harapan yang Alena tanam sejak lama.

“Mau berburu dengan ku ke hutan,” kata Tyson.

Alena menggeleng lalu menjawabnya dengan senyuman. “Aku tidak ingin kemana mana, kamu pergilah sendiri"

Tyson mengangguk, lalu pergi meninggalkan Alena sendiri.

Maafkan aku, Alena. Aku tidak bisa memberitahumu untuk saat ini, tunggu sampai aku mengetahui kebenarannya. Batin Tyson

“Semoga tidak terlambat untuk memberitahumu nanti.” ucapnya.

...***

...

Tenang dan sunyi, suasana perpustakaan memang sangat tepat untuk Alena saat ini yang tidak ingin berjumpa dengan banyak manusia.

Kakinya melangkah menyusuri setiap rak buku, bisa dibilang buku buku ini semua sudah pernah Alena baca. Selama dia tinggal dihutan seorang diri, Tyson tidak pernah absen memberinya berbagai macam buku setiap tahun. Itu sebabnya, selama menjadi murid Alena tidak perlu susah susah untuk belajar karena semua sudah tercatat di otak cerdasnya.

Alena segera menutup mulut dan hidungnya saat menyadari aroma darah yang membuatnya mual tiba tiba menyeruak di indra penciumannya.

Alena hendak melangkah pergi dari perpustakaan, namun tepukan dipundaknya serta sapaan seseorang membuatnya tak bisa pergi dari sana.

“Hai, kita ketemu lagi”

Alena menurunkan tangannya lalu dengan sekuat tenaga mencoba untuk tersenyum.

“Kamu masih ingat aku kan?” tanya pria yang berdiri didepan Alena saat ini.

“Iya, Javir” jawab Alena.

“Alena." Suara berat milik Janu itu mengontrupsi keduanya.

Janu berdiri di belakang Javir dengan raut wajahnya yang terlihat tidak senang.

Langkah Janu mendekat dan meraih pergelangan tangan Alena. “Ayo, yang lain sudah menunggumu di kantin," ajaknya lalu membawa Alena pergi tanpa berpamitan pada Jarvis yang masih berada disana.

Dalam hati Alena sangat senang karena kedatangan Janu dia bisa pergi dari aroma darah yang menjijikkan itu.

“terimakasih,” ucap Alena

“untuk apa?” tanya janu.

“Tidak ada” jawabnya.

Langkah mereka terus berlanjut sampai di kantin, disana sudah ada Haidar dan Mala dengan empat piring siomay didepannya.

“Alena, maaf. Aku tidak tau apa yang kamu suka, jadi … aku pesankan yang sama dengan kita” kata Mala.

“tidak masalah, aku suka ini" jawabnya dengan senyuman manis.

Mereka berempat langsung menyantap makanan didepannya sebelum jam istirahat berakhir.

Disisi lain, tepatnya diatas gedung yang berdekatan dengan sekolah Alena, terdapat seseorang dengan pakaian serba hitam dengan kepala yang tertutup tudung tengah tersenyum melihat pemandangan didepannya.

“Tyson merawatmu dengan sangat baik, Alena. Sepertinya kamu tidak bisa merasakan kehadiranku saat ini," ucapnya.

...***

...

Saat ini Tyson tengah menunggu kedatangan Dion dikantornya, tangannya tak berhenti mengetuk meja sebagai ganti rasa bosan yang menyelimutinya.

Suara pintu yang terbuka membuat Tyson segera berdiri dan menghampiri.

“Bagaimana, Dion?" tanyanya.

“Lokasi itu kini sudah dibangun sebuah perusahaan, dan kita tidak mungkin membongkarnya untuk mencari mayat itu, bukan" jawab Dion.

Tyson menghela nafas kecewa karena hasil yang tidak sesuai dengan harapannya.

“Dan ternyata, perusahaan itu adalah perusahaan yang akan bekerja sama dengan anda sore ini” sambung Dion.

Tyson tersenyum karena mendapat sebuah peluang untuk melanjutkan rencananya.

“oh ya, Bos. Tim vampir yang bertugas menjaga nona Alena menemukan keberadaan vampir asing dì sekitar nona Alena” lanjut Dion.

“vampir asing?" tanya Tyson.

Dion mengangguk sebagai jawaban.

"Apa ini arti dari firasat burukku akhir akhir ini?” gumam Tyson.

“Bos, apa yang harus saya lakukan selanjutnya?” tanya Dion.

“Pergi dan siapkan meeting untuk nanti, kita harus berhasil bekerja sama dengan perusahaan itu terlebih dahulu, baru kita fikirkan cara bagaimana mendapatkan mayat itu” jelas Tyson.

“untuk masalah Alena, selama tidak ada laporan yang mencurigakan, biarkan saja. Aku yang akan mengurusnya” imbuhnya.

“Baik bos." Dion segera keluar dari ruangan Tyson setelah mendapatkan perintah.

“siapa vampir itu?” Gumam Tyson.

...***

...

Matahari yang semakin turun membuat suasana sekolah kian sunyi.

Satu persatu siswa yang berdiri didepan gerbang dan halte mulai meninggalkan sekolah, kini hanya tersisa Alena dan beberapa siswa.

Tidak, Alena tidak menunggu jemputan ataupun kendaraan umum lainnya. Dia hanya enggan pergi dari sana karena perasaannya yang kacau entah karena apa.

Alena merasa perutnya mual, itu artinya pemilik darah itu tak jauh dari keberadaan Alena saat ini. Semakin lama semakin kuat aroma darah itu hingga seseorang tiba disebelah kanannya.

“Belum dijemput?” tanyanya.

“Belum,” jawab Alena seadanya.

“Ikut aku, aku akan mengantarmu pulang," ajak Javir.

“tidak, tidak perlu repot, aku masih bisa jalan kaki,"tolak Alena dengan cepat.

Dia tidak bisa membayangkan jika harus berada dalam satu mobil dengan Javir, tentu dia akan sangat mual karena aroma darahnya.

“Sudah, ayo ikut." Tanpa menunggu persetujuan, Javir menarik tangan Alena dan menuju mobilnya.

Alena yang bingung entah dengan cara apalagi dia harus menolak ajakan Javir, akhirnya dia hanya pasrah dengan nasibnya.

Mobil Javir melaju meninggalkan sekolah dan berjalan dengan kecepatan normal.

Selama perjalanan Javir sesekali melirik kearah Alena, memandangi wajah cantik itu meski selalu tampak tanpa ekspresi.

“jangan terlalu sering memasang wajah jutek, anak anak yang lain akan enggan mendekatimu,” kata Javir ditengah tengah kecanggungan yang ada.

“tidak peduli,” jawab Alena.

Tidak ada lagi pembicaraan setelah itu, Javir yang fokus menyetir dan Alena yang melempar pandangan keluar jendela mencari cara agar segera keluar dari mobil.

Bibirnya terangkat sebelah saat melihat sebuah bangunan tinggi didepan sana.

Alena lalu menginterupsikan Javir agar berhenti. “Berhenti didepan," kata Alena.

Javir menurut dan memberhentikan mobilnya di depan gedung yang nampak mewah itu.

“Kamu tinggal disini?” tanya Javir dengan sedikit terkejut.

“iya. Terimakasih untuk tumpangannya" jawab Alena.

Alena segera keluar dan berlari menuju kedalam bangunan. Akhirnya Alena bisa bernafas lega saat melihat mobil Javir pergi.

“Bisa mati, jika lama lama berada disana” gumamnya.

“Alena," spa sessorang yang berada di belakang Alena.

Mendengar namanya dipanggil Alena segera berbalik badan untuk melihat siapa pemilik suara itu.

“Tyson,” uacapnya.

“Kamu kenapa disini?" tanya Tyson.

“Ceritanya panjang," jawab Alema. "Kamu sendiri kenapa bisa disini?" tanya Alena.

Tyson mengangkat alisnya heran.

“Berkunjung," jawabnya

Jawaban Tyson bukan jawaban yang dengan cepat dimengerti oleh Alena.

Melihat wajah bingung Alena, Tyson sedikit tertawa mengejek.

“jangan bilang kamu tidak tau kalau apartemen ini salah satu bisnis yang didirikan oleh Alenxia Grub” sindir Tyson.

Bukan Cuma Tyson, bahkan Dion yang berada di belakang Tyson ikut tertawa karena Alena.

“Jangan tertawa. Aku bukannya tidak tahu bisnis apa yang dilakukan perusahaan, ,aku hanya tidak tau lokasi dan namanya saja” protes Alena.

Tyson memukul pelan kepala Alena dengan kertas yang dia bawa. “Sama saja, Alena” balas Tyson.

“Kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa kamu bisa disini?" sambungnya.

“Aku hanya asal turun dari mobil Javir karena tidak tahan dengan aromanya," jawannya kesal.

Tyson sedikit terkejut dengan jawaban Alena. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk mengajak Alena pulang. “Ya sudah, ayo ikut pulang dengan ku."

Mobil mereka kini menuju kerumah Alena terlebih dahulu sebelum Tyson kembali ke kantor.

“Jadi kamu yang datang mencariku di sekolah?" tanya Alena pada Dion yang tengah fokus menyetir.

“Iya, maaf nona” jawabnya.

“Tyson, kamu tidak salah memperkerjakan seorang manusia sebagai tangan kananmu?." Alena menoleh kearah Tyson yang duduk disampingnya.

“Kenapa? Bukankah bibi Lina juga seperti itu,” jawab Tyson.

Melihat Alena yang terdiam setelah mendengar jawabannya membuat Tyson merasa bersalah.

“Kamu sudah menemukannya?” tanya Tyson untuk mengalihkan pembicaraan.

“Iya, target ditemukan," jawab Alena.

Kini pandangan Alena menajam, sorot matanya penuh dengan amarah dan dendam.

“Lalu apa yang akan kamu lakukan?” tanyanya memastikan.

“Untuk saat ini aku tidak tau, karena mendekati dia saja sudah membuatku mual karena darahnya,"jawab Alena.

“Takdir sepertinya memang tidak memihakmu untuk balas dendam. Targetmu adalah bentuk kutukan yang kamu terima. Kamu membunuhnya itu artinya kamu juga membunuh dirimu sendiri," jelas Tyson.

"Aku akan mencari cara agar bisa membunuhnya tanpa harus menghisap darahnya. Namun jika memang sudah tidak ada cara lain aku akan tetap membunuhnya meski harus mengorbankan nyawaku," gerammya.

Hati Alena sudah tertutup oleh dendam kini amarahnya benar benar memuncak ketika sekelebatan masalalu terlintas diingatannya. Matanya sudah berubah warna menjadi biru, dan sorot matanya menajam lurus kedepan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!