CHAPTER 12

Hari semakin sore Alena masih memilih menyediri di sebuah taman mini di dekat kantor, entah harus bagaimana mengekspresikan perasaannya setelah mendengar cerita dari Eron. Sebuah fakta yang baru saja dia ketahui tentang kekasihnya Jarvis memberi sedikit rasa kecewa padanya.

Eron yang sedari tadi hanya memperhatikan Alena dari jauh memberanikan diri untuk mendekati untuk sekedar memberinya sandaran karena dia tahu sehancur apa perasaan Alena saat ini.

"Jadi, Jarvis juga ikut terlibat dengan pembantaian waktu itu?" tanya Alena saat menyadari kehadiran Eron disebelahnya.

"Jarvis memang bagian dari mereka, dia datang karena suruhan para manusia serakah itu tapi dengan bodohnya kita tidak tahu niatnya karena sihir yang digunakannya. Tapi … Jarvis tidak berbohong tentang perasaannya padamu, Alena. Dia menyerahkan dirinya pada ayahmu karena dia merasa bersalah padamu," jawab Eron.

"Setelah mengetahui jika dia adalah mata-mata sekarang aku meragukan perasaannya, Eron. Memang seharusnya aku tidak pernah mencintai manusia itu," lirihnya pelan.

"Tolong jangan ragukan perasaan Jarvis, Alena. Dia bahkan rela dihukum oleh kelompoknya demi jujur pada ayahmu," jelas Eron yang memohon pada Alena.

"Lalu bukankah Jarvis mati ditangan ayahku, tapi kenapa dia bisa menyelamatkanmu?" tanyanya dengan mematap Eron serius.

"Aku menyelamatkannya saat dia sekarat karena panah dari ayahmu, aku menyembunyikannya disuatu tempat berharap dia akan bertahan, dan benar tiga hari sebelum pembantaian itu dia sadar, dan saat Tyson memberiku kabar tentang pembantaian itu aku segera pergi tanpa aku tahu ternyata Jarvis diam diam mengikutiku dan akhirnya menemukanku saat kondisiku sekarat," jelas Eron menjawab pertanyaan Alena.

"Lalu setelah itu Jarvis?" tanyanya penasaran.

"Setelah menyembunyikanku didalam Goa dan memberiku ramuan bunga tulip hitam, diberniat mencarimu tapi dia malah terbunuh oleh kelompoknya sendiri," jawab Eron dengan hati hati karena dia tahu itu akan terdengar menyakitkan untuk Alena.

Alena hanya diam menahan air matanya, perasaan bersalah menyelimuti dirinya dia telah menganggap kekasihnya itu penjahat namun ternyata dia masih memikirkan dirinya didetik terakhir hidupnya.

Setelah berusaha menahan akhirnya airmata itu tumpah mengalir deras dipipi Alena. Eron segera membawa Alena kedalam dekapannya untuk sekedar menenangkan.

Tanpa mereka sadari dari jarak yang cukup jauh ada sepasang mata yang memperhatikan mereka dengan tatapan sendu.

...***...

"Alena," sapa Mala yang baru saja memasuki kelas bersama dengan Haidar dan Janu.

"Bagaimana keadaanmu sudah baikan?" tanya Haidar setelah mendudukan dirinya dibangku miliknya.

"Hah" Alena mengerjapkan matanya bingung dengan pertanyaan Haidar, pasalnya dia tidak merasa sedamg sakit.

"Janu bilang kemarin kamu sakit itu sebabnya kamu pulang lebih dulu, ya kan," sahut Mala.

Alena manatap janu lalu kemudian kembali menatap Mala dan berusaha menjawab agar temannya itu tidak curiga.

"Iya, sekarang sudah jauh lebih baik. Terimakasih sudah mengkhawatirkanku," jawab Alena.

"Sama-sama, kita kan teman," jawab Haidar.

Janu hanya tersenyum kecut saat mendengar penuturan Mala yang menganggap mereka semua teman, itu karena kedua temannya tidak tau siapa Alena sebenarnya, bahkan Janu sendiri merasa apa pantas berteman dengan Vampir yang bisa kapan saja membunuh mereka.

"Janu, pulang nanti aku ikut denganmu," ucap Alena yang membuat Janu terkejut dan bingung.

"Untuk apa?" tanyanya tidak mengerti.

"Ada seseorang yang ingin aku temui dan kebetulan kamu mengenalnya," jawab Alena yang tidak berterus terang karena mengingat didepannya kini masih ada Mala dan juga Haidar.

Janu mengerti maksud Alena dan kemudian dia mengangguk menyetujuinya.

"Kakak ku akan menyusul nanti," sambung Alena.

...***...

Alena berdiri di atas gedung sekolah menikmati pemandangan ramai dibawah sana dimana para siswa masih bersemangat dengan pertandingan mereka.

Alena memandang mereka semua demgan tatapan kosong, senyum dan tawa mereka sama sekali tidak membuat Alena merubah ekspresi datarnya. Sampai suara langkah kaki terdengar berbarengan dengan bau menyengat yang mulai merasuki rongga hidungnya membuatnya tersadar dari lamunan. Alena tau betul siapa yang kini tengah berjalan kearahnya.

"Kenapa disini?" tanya Javir tepat saat dirinya berada disamping Alena.

"Bukan urusanmu," jawabnya acuh tanpa menoleh sedikitpun.

"Apa kamu baik baik saja, wajahmu terlihat pucat kemarin?" tanyanya lagi yang berusaha memcari topik pembicaraan.

"Tidak," Jawaban Alena membuat Javir menoleh cepat kearahnya dengan raut wajah khawatir yang terlihat jelas.

Javir melihat jelas raut kesedihan yang tersirat dimata Alena, itu sebabnya Javir tidak ingin melanjutkan pertanyaan yang mungkin hanya akan mengganggu gadis disampingnya ini.

Kini mereka sama-sama terdiam bersama isi pikiran masing masing, pandangan mereka sama tertuju pada sebuah bukit yang jauh didepan mereka.

Meski sebenarnya Alena sangat merasa mual dengan aroma darah Javir namun ia tetap enggan pergi dari sana, dia sengaja membiarkan dirinya tersiksa dengan berada didekat Javir.

'Alena, pergi dari sana atau kamu akan mati.' Suara yang sangat dikenalnya tiba tiba menggema di indra pendengarannya.

'Eron, kamu disini?' tanya Alena yang mendapat panggilan telepati dari Eron.

'Aku selalu mengawasimu. Alena. Sekarang kamu pergi dan jauhi anak itu,' pinta Eron pada Alena.

'Tidak Eron, dengan cara ini mungkin aku bisa merasakan penderitaan Jarvis dan aku akan segera bertemu dengannya,' Alena menolaknya dengan menggelengkan kepala membuat perhatian Javir sekarang tertuju padanya.

'Jangan bodoh Alena, Jarvis tidak akan suka melihatmu seperti ini begitu juga dengan orang tuamu, ingatlah tujuanmu datang kesini, jika kamu melupakan tujuanmu maka lebih baik kita kembali kehutan. Jangan menyakiti dirimu sendiri,' ucap Eron yang terdengar mengancam.

Alena membuang nafasnya kasar kemudian dia berbalik berniat pergi dari sana, namun javir menahannya dengan pertanyaan yang membuat Alena harus kembali menoleh kearahnya.

"Bolehkah jika aku berusaha mendekatimu, Alena?" tanya Javir.

Alena tersenyum saat mendengar pertanyaan Javir yang terdengar bodoh menurutnya.

"Boleh," Jawab Alena, kemudian berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Javir sendiri.

"Permaianan dimulai, Darian Javir," gumam Alena dengan senyum menyeringai disertai dengan aktifnya mata biru miliknya.

Terpopuler

Comments

Silvi Aulia

Silvi Aulia

makin seru cerita nya 😍

2023-07-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!