“Mar … kamu pakai ponsel siapa? Atau sudah beli ponsel baru?”
Mar berdiri dengan ponsel di telinga. Detik-detik yang baru saja berlalu ia pergunakan untuk meresapi kalimat sederhana yang diucapkan seorang pria bernama Harris Gunawan yang tidak ia kenal.
Suara Harris bagus. Rendah, tenang dan dalam. Kalau boleh menambahkan satu kata lagi, suara Harris sangat jantan. Mirip suara aktor empat puluh tahun berstatus lajang yang ia kagumi sejak dulu. Dan saat itu … suara Harris yang tenang dan tertata rapi malah membuatnya membisu.
“Mar? Kamu dengar saya? Kamu di mana? Apa semuanya baik-baik aja?”
Kapan terakhir kali ia dicari? Selain rekan kerja dan ibu kandungnya, ia tak pernah dicari. Bahkan Rama. Ya, benar. Ia juga sedikit abai soal Rama yang belakangan memang jarang mencarinya lebih dulu. Mar mengigit bibir. Hatinya pilu menguak kenyataan getir itu sendirian.
“Mar?” Harris kembali memanggil.
“Ya, Pak?” Mar tersentak. Kenyataan pilu lainnya adalah ia menyahuti suara jantan Harris dengan suaranya yang mencicit. Kecil dan tinggi. “Maaf mengganggu, Pak. Saya mau minta bantuan soal saudara saya yang kecelakaan. Saya bingung harus minta bantuan ke mana.”
Sekalian saja, pikirnya. Seganteng apa pun Harris tetap saja tak mungkin ia apa-apakan. Hidupnya saja sedang tak jelas. Bagaimana ia bisa memikirkan soal pria baru? Apalagi Harris sudah berkeluarga.
Majikan Mar udah beristri dan beranak-pinak, Git ....
Lagipula … sejak kapan ia menjadikan suara bagus seorang pria sebagai tolak ukur ketampanannya? Bisa saja fisik Harris sangat mengecewakan. Atau bisa jadi tidak lebih tampan dari Rama yang berengsek.
“Kecelakaan? Saudara kamu? Saudara yang mana? Bukannya kamu yatim piatu?” Nada khawatir Harris tidak dibuat-buat.
“Bapak dateng aja, deh. Ngobrolnya kalau Bapak di sini aja. Saya serius banget butuh pertolongan. Saudara saya kecelakaan dan belum sadar. Sekarang di ICU Rumah Sakit Daerah. Saya mau minta Bapak sebagai penjamin sampai saya bisa hubungi orang tuanya. Bisa bantu saya, kan? Saya, kan, nggak pernah minta macem-macem ke Bapak."
Persetan…persetan. Aku nggak peduli apa yang dipikirkan si Harris soal Mar. Yang penting dia dateng aja dulu. Gitu aja lama banget iyain-nya.
“Mar? Kamu…. Oke…oke. Saya ke sana sekarang. Kamu tenang, rileks, jangan panik. Jangan mengambil tindakan yang nggak….”
“Buruan, gih, Pak,” potong Mar.
“Iya. Saya ke sana sekarang. Kamu…kenapa, Mar ....”
Suara Harris terdengar menggantung saat menutup telepon.
Usai bertelepon Mar menyilangkan tangan di dada dan memandang perawat dengan wajah congkak. “Gimana? Udah yakin kalau saya keluarga wanita cantik itu? Bisa saya ambil barang-barangnya sambil menunggu bapak yang saya telepon tadi?” Mar meminta barang-barang Gita dengan dua tangan terulur.
Bukannya menyerahkan bungkusan, Perawat itu malah menggeleng dan meraih ponsel Gita dari tangan Mar. “Lorong ini disertai CCTV di tiap sudutnya. Ibu dan anak kecil ini saya himbau untuk tidak macam-macam. Kalau benar yang barusan Ibu telepon tadi adalah Bapak Harris Gunawan yang kita maksud, maka Pak Harris harus menandatangani surat sebagai penjamin bahwa segala sesuatu perihal pasien menjadi tanggung jawabnya. Kalau Pak Harris tidak bersedia maka masalah ini tetap harus dilimpahkan ke kepolisian untuk diselidiki. Upaya bunuh diri juga ada pidananya.” Perawat mengangguk puas dengan penjelasannya sendiri.
Gimana kalau Pak Harris nggak mau menjadi penanggung jawab? Kalau masalah sampai ke polisi, bisa-bisa Ibu tau. Semua orang bakal mengira aku memang bunuh diri.
Aku harus sadar. Aku harus balik ke tubuh Gita agar bisa bersaksi dan menjebloskan Samsul ke penjara. Biar tau rasa. Tapi ….
Gita melirik Jaya yang ternyata sejak tadi masih mencengkeram tepi kaus yang dikenakan ibunya. Wajah polos dan ceria Jaya membuatnya kembali berpikir.
Kalau si Samsul bajingan aku jebloskan ke penjara, Jaya bakal jadi anak narapidana. Atau … bisa aja Mar masih cinta suaminya. Apa aku tega? Ck.
“Jadi bagaimana, Bu Mar? Bersedia atau tidak? Mau tungg….”
“Saya yakin Pak Harris pasti datang. Saya dan anak saya tunggu di luar.” Mar menunjuk pintu yang menghubungkan lorong ICU dan lorong ke kamar rawat biasa. Mar merangkul pundak Jaya dan keluar lorong itu dengan sangat tertib. Peringatan soal CCTV di setiap sudut ruangan membuat Mar menjadi penurut.
Jaya memandang tangan Mar yang menggandengnya keluar lorong dan berjalan menuju lift. “Ibu juga sering gandeng aku begini. Lama-lama Tante jadi mir….”
“Jangan bilang aku mirip ibumu. Secara kasat mata aku memang ibumu. Bukannya malah aneh kalau kamu bilang ke orang aku mirip ibumu? Lihat rambut semak ini.” Mar meremaas rambut ikal mengembangnya. “Kamu tau siapa yang ngasih usul potongan gaya ini? Kalau udah tau rambut ikal bakal ngembang gini kenapa nggak dibiarin aja panjang dikit lagi. Bisa dicepol yang rapi ke belakang.”
“Kalau gitu bantu ibuku biar keliatan jadi lebih cantik. Biar Ibu bisa dapat suami lain. Enggak usah sama Bapak lagi.” Jaya mengatakan hal dengan sangat mantap. Membuat Mar terdiam dan melepaskan tangan bocah laki-laki itu.
“Kamu memang nggak mau punya Bapak kayak Samsul?” Mar membawa Jaya menepi agar tidak menghalangi pintu masuk UGD. Kini mereka berdua berdiri menunggu Harris di dekat pintu UGD.
Jaya menggeleng. “Sebenarnya kasian Ibu. Dulu katanya ibu cukup punya aku aja. Enggak mau ngasih aku adik karena kata Ibu, bapakku enggak bener. Sekarang ada Hasan. Tapi nggak apa-apa. Aku sayang Hasan,” jelas Jaya.
Bisa aja kamu yang kasian sama ibumu, tapi ibumu masih cinta bapakmu, Jay. Cerita seperti ibumu banyak. Ngaku kesulitan dan enggak cinta. Tapi nyatanya bisa nambah anak setiap tahun.
“Oh, gitu …. Bagus kalau kamu sayang adikmu. Mmmm … aku boleh nanya, nggak?” Mar merasa membahas soal Samsul hanya membuat kepalanya pusing saat itu. Lebih baik ia bersiap untuk bertemu dengan Harris yang suaranya aja sudah ganteng baginya.
“Nanya apa?” Jaya menyandarkan punggung di tembok luar UGD.
“Menurut kamu Pak Harris itu ganteng?”
“Ganteng!” jawab Jaya. Spontan dan tanpa pikir panjang.
Mata Mar berbinar dengan jawaban Jaya. “Kamu jawabnya yakin banget. Kalau gitu aku juga perlu verifikasi.”
“Verifikasi gimana?” Jaya berputar menghadap Mar. Kini terlihat penasaran akan setiap hal yang diperbuat ‘ibu barunya’.
Mar celingukan mencari seorang pria untuk ia jadikan contoh. Lalu ia menemukan seorang pria yang sedang merapikan rumput di taman. Pria itu memakai boot karet dengan celana cargo, bertubuh kurus tinggi, berpipi cekung dengan dua gigi atas yang sedikit menonjol keluar. “Lihat bapak yang bersih-bersih taman? Itu ganteng nggak?” Mar menunggu jawaban Jaya dengan senyum simpul. Ia percaya Jaya pintar menilai orang.
“Ganteng!” Jawaban Jaya sama bersemangatnya dengan jawaban soal Harris.
Mar lemas, tapi mau mencoba lagi. “Nah … jangan buru-buru, dong, jawabnya. Gimana, sih. Pelan-pelan dilihat. Baru dijawab setelah melalui pertimbangan matang.”
“Itu udah dipertimbangkan dengan matang, kok.” Jaya juga menjawab dengan sangat yakin.
“Kalau mas-mas yang di sana gimana? Itu yang baru turun dari motor besar. Yang baru aja buka helm. Coba diliat baik-baik.” Mar membekap mulutnya karena khawatir tawanya akan meledak.
Wajah Jaya sangat serius memperhatikan pria yang dimaksud Mar. Tubuh pria itu tidak terlalu tinggi. Berkulit sawo matang dengan rambut lurus yang jatuh ke bagian depan dahinya. Tulang pipinya tinggi dan saat pria itu meringis memperlihatkan giginya yang besar-besar.
“Itu juga ganteng!” seru Jaya. Masih dengan suara yang sama bersemangatnya.
Mar menghela napas panjang. Ia manggut-manggut. Tangannya mengusap kepala Jaya. “Kamu benar…kamu benar. Semuanya memang ganteng dan cantik. Andai semua pria punya pandangan yang sama kayak kamu, nggak bakal ada pria yang selingkuh dengan alasan wanitanya nggak cantik lagi atau selingkuhannya lebih cantik.” Mar cemberut.
Imajinasi Mar yang sejak tadi sibuk mencocok-cocokkan suara dan rupa Harris ia sapu bersih detik itu juga. “Kita nantikan aja Bapak Harris yang R-nya dua dateng ke sini. Semoga dia benar-benar peduli dengan pegawainya. Dan rupanya sesuai sama suaranya." Mar memandang pria bermotor keluar dari ATM dan pergi meninggalkan halaman rumah sakit.
Keduanya berdiri dalam diam menatap lokasi parkir sepeda motor yang sedikit, tempat parkir mobil dan dua mesin ATM yang terletak di sisi lain pintu UGD. Keheningan Mar dan Jaya dipecahkan oleh suara jantan dari seorang Harris Gunawan.
“Jaya! Ternyata Jaya ikut ke sini juga?”
Mar langsung menoleh ke arah datangnya suara. Detik itu juga rasanya ia ingin merebut kembali raga Gita untuk bisa mengobrol dengan Harris melalui raganya.
Harris turun dari mobil yang dikendarainya sendiri. Sebuah sedan hitam dengan jenis yang biasa dipakai komisaris perusahaannya. Pria itu memakai kemeja dan celana dengan warna senada. Kemeja lengan panjang abu-abu tergulung sampai ke siku, celana bahan hitam dengan garis seterika lurus, juga sepasang sepatu kulit yang Gita yakin kalau bagian tapak sepatu itu hanya ada debu.
“Mar? Kamu baru permisi pulang pagi tadi tapi kenapa kamu ….” Harris memandang asisten rumah tangganya dari dekat. Dengan lebih teliti.
Mar maju mendekati Harris dan meraih tangan pria itu. "Pak, tolong bantu saudara saya. Perempuan, 28 tahun. Gita Safiya Nala. Aries. Belum menikah. Hobinya yoga dan pecinta semua binatang. Pagi tadi kecelakaan dan sekarang di ICU. Sebelum Bapak menolak membantu, setidaknya Bapak harus liat dia dulu.”
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Teh Mbak Sri
Dasar si Njuss..
Konsep cerita sesedih dan sesusah apapun bisa di selipin humor segar.
Tetap bahagia dalam kondisi apapun.
👍👍👍
2025-02-24
0
Lalisa
nih kamu lagi promosi git wkwkwk
2025-03-08
0
Lalisa
astaga Gita masa kyk semak sih, 😂😅
2025-03-08
0