"Saya nanya, Mar. Kamu denger? Seharian ini kamu aneh. Kamu seperti ...." Harris sedikit menjauh untuk kembali melihat pegawainya dari atas ke bawah. "Kamu seperti bukan Mar yang kemarin bekerja di sini. Kamu nggak pernah memanggil diri kamu dengan sebutan 'saya-saya'."
Kalau nggak pakai 'saya' apa biasanya Mar pakai 'hamba'? Terus Harris dipanggil paduka? Ih, yang bener aja, deh, Ris .... Apa lagi, dong, manggilnya?
"Ini kebawa karena sering nonton film, Pak. Saya kepengin memulai sesuatu yang lebih baik."
"Yang biasa juga baik, kok," sahut Harris. Nonton film apa pula, pikir Harris. Satu-satunya siaran yang sering diputar di kamar asisten rumah tangganya hanya kompetisi dangdut. Dua asisten rumah tangga itu tak pernah menonton dengan volume rendah. Selalu terdengar sampai dapur.
Ya, apa? Yang biasa itu apa, Ris? Ck.
Gita dalam tubuh Mar tidak tahu raut wajah seperti apa yang dibuat Mar ketika kesal dengan tuan rumahnya. Yang jelas saat itu Harris kembali mundur selangkah.
"Kamu ada masalah? Terakhir kali saya minta kamu menambah tugas dengan jagain Chika kamu nggak ada masalah. Hari ini kamu keliatannya keberatan dan terlalu lama di luar. Dan kamu tadi izinnya cuma sebentar. Awalnya Chika mau sama Surti, tapi menjelang sore Chika rewel. Mungkin karena demam. Saya sampai terpaksa mengiyakan tawaran Karin buat datang ke sini dan cek keadaan Chika karena masih meeting. Mar ... sekarang saya sedang butuh bantuan kamu banget. Kalau kamu ada masalah ngomong aja. Kita cari jalan keluarnya."
Dalam satu hembusan napas Harris membuat mata Mar berbinar. Semua nama yang ia inginkan diucapkan langsung oleh Harris.
Ternyata yang ngomongnya kayak kereta tadi Surti. Dan cewe yang di mobil sedan tadi namanya Karin.
Lalu ... kenapa Harris harus terpaksa mengiyakan tawaran tuh cewe buat jagain anaknya? Kalau suka kenapa harus terpaksa, ye kan?
Berarti handuk dan rambut Harris yang basah tadi nggak ada hubungannya sama cewe itu. Hahahaha. Pengen guling-guling gue.
"Mar? Saya nanya kamu. Kamu ada masalah?" Harris sekarang bertumpu dengan satu kaki dan menyilangkan tangan di dada.
"Kita cari jalan keluarnya?" Mar mengulangi ucapan Harris.
Harris mengangguk. "Kamu ada masalah apa tinggal bicara ke saya, Mar. Bahkan almarhumah istri saya juga ngomong hal yang sama ke kamu. Kamu mau jagain Chika juga karena maminya, kan?"
Tiba-tiba saja Mar memiliki ide. "Saya butuh bantuan untuk saudara saya, Pak. Gita." Mar merasa harus kembali menyebutkan nama Gita untuk melihat reaksi Harris.
"Saya sudah ikuti mau kamu untuk menandatangani form pertanggungjawaban pasien. Saudara kamu bakal baik-baik saja dan saya akan dikabari sebegitu kondisinya membaik. Kamu sudah hubungi orang tuanya, kan?" Harris berhenti bicara karena melihat kilat kekecewaan di mata Mar. "Ada masalah lagi?"
"Iya, benar. Bapak sudah mengikuti semua yang saya minta. Terima kasih. Saya nggak keberatan untuk terus standby jaga Chika. Saya sayang Chika. Tapi kalau saya tidak sering-sering melihat keadaan Gita, siapa yang bantu lihat dia? Saya nggak tega buat ngabarin ibunya soal keadaan putri tunggalnya yang sedang tidur antara hidup dan mati. Nasib Gita nggak tahu gimana. Entah bangun lagi, entah tidak." Mar menunduk. Mencoba menghalau air matanya yang sudah menetes. Ternyata menceritakan nasib diri sendiri tidak segampang itu. Terdengar seperti mengasihani dirinua sendiri. Ia malah merasa semakin terpuruk.
Apa aku perlu ngomong bahwa Samsul mondar-mandir di dekat rumah sakit dan bisa aja mencelakakan Gita?
Apa perlu ngomong kalau Samsul yang mendorong Gita ke sungai? Gimana nasib Jaya dan Hasan nantinya?
Ya, Tuhan ....
Hamba mau ngomong dengan Mar yang asli. Pertemukan kami dalam keadaan sadar dan sehat.
"Mar? Kamu nangis? Maaf kalau yang saya lakukan tidak sesuai dengan ekspektasi kamu. Kalau kamu mengkhawatirkan kondisi saudara kamu...."
"Namanya Gita. Sebut namanya, Pak."
"Oke. Kalau kamu mengkhawatirkan kondisi Gita, saya akan meminta salah satu asisten saya buat mengecek keadaan Gita secara berkala. Saya akan memantau semua kebutuhannya selama di rumah sakit. Yang penting ... kamu tetap jagain Chika buat saya. Gimana, Mar?" Harris memandang Mar lekat-lekat. Sangat berharap Mar bisa menjadi orang kepercayaan soal menjaga putri tunggalnya.
Baiklah, Harris. Mungkin yang kamu pikirkan sekarang cuma soal putri kamu. Aku mengkhawatirkan tubuhku sendiri di saat aku harus mengkhawatirkan bagaimana cara Mar mempertahankan pekerjaannya.
Apa Tuhan ingin mengajarkan padaku bagaimana untuk tidak egois? Apa selama ini aku kurang mengalah? Aku harus setertindas apa lagi, Tuhan?
"Mengecek Gita setiap hari, Pak? Bisa sekalian memantau perkembangan kondisi fisiknya? Saya mau tubuh Gita tetap terawat. Kuku, kulit, rambut. Saya mau Gita tetap cantik meski kondisinya begitu. Hmmm ... bisa nggak, Pak? Kasian Gita, Pak," ucap Mar pelan pada kalimat terakhirnya.
"Bisa, Mar. Bisa. Meski saya sendiri juga belum bisa mengerti dari mana hubungan kamu dengan wanita itu. Saya nggak paham."
"Gita anak tunggal. Ayah dan ibunya sudah bercerai sejak Gita kecil. Ayahnya entah ke mana. Dia hanya dibesarkan ibunya dan nggak pernah pisah dengan ibunya sampai beberapa tahun belakangan sewaktu diterima di perusahaan yang sekarang. Gita Sales manager handal yang diskors karena kesalahan rekan kerjanya." Mar menunduk. Menyatukan kedua tangannya di belakang tubuh dan memainkan ujung ibu jari kakinya. Harris memperhatikan itu.
"Jadi karena diskors Gita harus lompat dari tepi jembatan?" Harris menodong Mar dengan pertanyaan spontan. Entahlah. Ia memang penasaran kenapa wanita cantik berseragam kantor bisa tiba di tepi jembatan itu. Sangat tidak masuk akal.
Mar tersentak dan menggeleng cepat. "Nggak, Pak. Bukan gitu, bukan. Kalau cuma soal pekerjaan Gita nggak secengeng itu. Gita belum lompat. Dia masih mikir-mikir soal dosa. Soal kucing dan merpati yang biasa dia kasih makan. Soal ibunya. Hari ini hari yang terlalu menyakitkan buat Gita."
"Kenapa?" Pertanyaan Harris tak kalah cepatnya. Ia memang penasaran dengan sosok wanita yang diakui Mar sebagai saudaranya.
Mar beringsut. Sedikit terkejut dengan antusiasme Harris bertanya soal Gita. Mar bungkam. Tiba-tiba ia merasa mengkhianati raganya sendiri dengan menceritakan soal Gita dari raga Mar. Ia juga merasa jahat pada Mar yang asli. Bisa saja Mar aslinya tidak senyinyir itu.
"Enggak apa-apa. Nanti saya tanya Gita apa hal itu boleh diceritakan juga atau tidak." Mar mengatupkan mulut.
"Oke. Besok saya minta asisten saya ke rumah sakit. Saya akan minta asisten saya buat live report ke saya. Sekarang kamu bisa istirahat." Harris menegakkan tubuh dan menyisir bagian depan rambutnya yang setengah basah.
Mar terkesima dengan cara Harris merapikan rambutnya. Tak mau memperlihatkan keanehan rautnya, Mar kembali menunduk. Memandang dan menggerakkan dua ibu jari kakinya. Lalu kembali memandang Harris. "Bapak benar-benar meminta asisten yang jenguk Gita?" Sekali lagi Mar merasa perlu memastikan. Ia memang tidak berhak mengatur pria itu karena memang Gita adalah wanita asing yang tidak pernah bertemu pria itu. Tapi kesombongan Harris yang sama sekali tidak mau melihat Gita jelas membuatnya mendongkol.
Harris mengangguk. "Benar. Asisten saya."
"Tidak mau melihat Gita sebentar aja? Beberapa menit gitu ...."
"Saya sibuk, Mar." Harris mengangkat bahu.
"Oh, oke ...."
Oke! Oke! Baiklah Harris si paling sibuk. Kayak lo aja yang punya kerjaan. Liat aja besok-besok cewe lo dateng bakal gue sabotase. Gue bikin enggak betah di sini. Huh!
Tanpa pamit, Mar berbalik dan pergi meninggalkan Harris.
"Hari ini kamu sopan sekali, Mar," sindir Harris, memandang punggung Mar yang pergi menuju tangga. Harris mengeluarkan ponselnya dari saku dan memilih satu dari empat asisten kantor yang ia miliki. Salah satu yang paling junior dan masih dalam tahap probation. Ia akan meminta karyawati fresh graduated itu untuk mengurus Gita. "Halo? Ita? Maaf mengganggu malam-malam. Besok bisa ikut saya ke rumah sakit daerah? Langsung ke sana ya. Jam delapan pagi."
"Pak Harris menunggu di rumah sakit?"
"Nanti saya datang lebih awal. Kalau kamu sampai jam delapan kamu langsung masuk temui saya di ICU. Pasien atas nama Gita Safiya Nala. Oke? Terima kasih."
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
May Keisya
sebut pak biar bpk inget trs di otak trs turun kehati😂...Gita berhrp bgt ma bapak🤣
2025-02-01
0
May Keisya
ngarep bgt si Gita...biar Haris jatuh cinta😂
2025-02-01
0
Lalisa
aamiin.semoga secepatnya ya git
2025-03-08
0