Sebenarnya sudah ratusan kali pikiran untuk resign itu muncul tiap Direktur Penjualan mereka bertindak gila. Namun segala keinginan itu menguap tiap sejumlah uang masuk di awal bulan. Gita masih menunduk menatap lembaran kertas yang baru mengguyur tubuhnya.
“Kamu dengar tidak? Sudah sebulan berjalan hasilnya begitu? Itu project yang kalian andalkan? Berengsek kalian! Gaji maunya tidak pernah terlambat, maunya gede, nggak mau lembur!” Pak Braja berdiri dari kursi dan memutari meja. Berjalan mendekati Gita. “Kamu dengar apa yang saya bilang? Jangan pura-pura budek! Pungut kertas itu semuanya.”
Gita merasa lututnya semakin lemas. Perutnya lapar dan tenggorokannya kering. Tadi ia sudah menangis meraung-raung, namun belum sempat minum seteguk air pun. Ia berjongkok dan memunguti semua kertas di lantai. Itu adalah laporan penjualan yang dibuat Monic dan dititipkan padanya.
“Kamu sadar kerja nggak becus?” Pak Braja berdiri persis satu langkah di depan Gita.
“Ini pekerjaan Monic, Pak,” sahut Gita.
“Kamu yang terima, kan? Kamu nggak cek lagi? Bukannya kamu yang selama ini meyakinkan saya buat ngasih project produk baru ke Monic? Kamu yang bilang Monic bisa menunjukkan kemampuannya kalau diserahi tanggung jawab sendirian. Lalu sekarang apa? Dana promosi launching produk baru sudah dibuat besar-besaran. Hasilnya penjualannya cuma sebegini?” Pak Braja kembali mengambil kertas di tangan Gita dan menghempaskannya ke meja. “Dan kamu tau apa yang paling berengsek hari ini?”
Mata Pak Braja sudah berkilat karena amarah. Harusnya Gita diam saja. Tapi dengan bodohnya ia menggeleng. “Tidak tau, Pak.”
Pak Braja mengambil selembar kertas di di meja dan menyodorkannya pada Gita. “Surat pengunduran diri Monic. Kamu sudah tau, kan? Kamu sudah tau makanya kamu berniat menggantikan Monic yang mengundurkan diri?”
Gita tak mendengar tuduhan Pak Braja. Buru-buru ia membaca surat pengunduran diri wanita yang merupakan sahabat sekaligus pengkhianat baginya itu. Ia menggeleng lemah. “Saya nggak tau Monic mengundurkan diri,” ucapnya pelan.
“Bohong!” kesal Pak Braja. “Dan agar kamu tau aja. Saya akan minta seluruh dana promosi diaudit. Pengeluaran dana promosi launching produk baru sangat janggal. Saya curiga teman kamu itu banyak bermain di dana. Saya akan minta orang finance audit semuanya. Termasuk semua rekening kamu. Kalau teman kamu itu terbukti menyelewengkan dana perusahaan, kamu juga harus ikut bertanggung jawab, Git!”
“Presentasinya? Jadi hari ini, Pak?”
“Presentasi? Lihat mukamu aja saya sudah males. Kepinteran kamu ngasih project itu ke Monic. Mending kamu ngga usah menampakkan diri depan saya sampai proses audit selesai. Sana…sana.” Pak Braja kembali ke balik mejanya. Memungut lembaran kertas yang tadi dipungut Gita dan menjejalkannya ke tong sampah. Pria itu tak memandang Gita lagi. Tangannya saja yang bergerak dengan gerakan mengusir.
Gita keluar ruangan atasannya dengan langkah gontai dan sorot mata bingung. Dalam waktu beberapa jam kehidupannya seakan direnggut paksa. Dalam waktu beberapa jam saja, ia merasa tak memiliki apa pun. Semuanya ludes. Bahkan pekerjaan yang ia sukai dan sering dipuji teman-temannya nyatanya bukan sesuatu yang membuat nyaman. Atau selama ini ia memang bertahan hanya demi gaji yang dikata orang cukup besar itu?
“Git? Udah ketemu Pak Braja? Beliau ngomong apa?” Lily kembali muncul dengan beberapa lembar kertas di tangannya. Sepertinya Lily baru dari ruang fotokopi.
“Beliau? Si berengsek maksudnya? Kayaknya mulai sekarang nggak perlu sopan sama orang yang nggak sopan ke kita.” Gita menggerakkan giginya.
“Git? Are you okay? Mau ke mana?” Lily mengikuti langkah Gita kembali ke mejanya. “Mau ke mana? Enggak kerja?”
Gita memasukkan pulpen dan sebuah agenda kecil ke tasnya. “Aku? Okay?” Gita menyandang tas kemudian memandang Lily. “Kurasa … aku nggak akan pernah baik-baik aja, Ly. Makasih karena tadi udah nahan aku nggak mempermalukan diri sendiri. Kayaknya aku mau pulang dan istirahat.”
Lily mengangguk dan membenarkan letak tali tas Gita di bahunya. “Pulang, makan, tidur, nonton film, dengerin musik, pokoknya kerjain apa yang mau kamu kerjain. Aku yakin kamu bakal baik-baik aja.”
“Makasih,” sahut Gita.
Satu hal yang Gita tidak paham. Kesalahan apa yang pernah ia lakukan sampai seluruh dunia menjadi amat jahat buatnya. Ia butuh penjelasan. Menahan diri hanya akan membuatnya lebih sakit. Kalau harus ribut kenapa harus diam, pikirnya.
Tiba di mobil, Gita menghubungi Rama. Ternyata dugaan bahwa Rama akan mengabaikan panggilannya tidak benar. Telepon itu justru dijawab lebih cepat. Gita mengerling jam di dasbor mobil. Sudah mendekati jam makan siang. Apakah acara nikahan sudah selesai dan beberapa orang yang hadir tadi sudah bubar?
“Halo? Kamu di mana?” Nada suara yang biasa Gita buat manja, kini terdengar datar-datar saja.
“Aku di luar kota, dong. Belum pulang. Akhir minggu seperti biasa. Kenapa nanya? Tumben banget,” sahut Rama.
“Di luar kota ya? Tapi aku kepengin ketemu. Gimana, dong?” Gita mulai menguasai nada bicaranya meski detak jantungnya belum normal dan telapak tangannya sejak tadi berkeringat.
“Ya, sabar, dong, Beb …. Kamu tuh tumben banget. Biasanya jam segini nggak pernah nelfon. Aku lagi sibuk. Nanti aku telfon balik,” kata Rama.
Gita menarik napas panjang dan berat. Ia tak sanggup lagi menahan emosinya. “Eh, anjing! Beb...Beb?! Diem lo! Gue mau ketemu lo sekarang! Dateng ke taman tempat biasa kita jogging atau gue bawa bensin buat bakar rumah tempat lo biasa mesum sampai bikin temen gue bunting! Dateng nggak lo?!” Napas Gita terengah karena emosi yang memuncak. Dengan mata yang kembali mengembun Gita menggigit bibirnya menahan tangis.
“Git ….” Rama diam beberapa saat. “Git … nggak bisa sekarang. Aku...."
"Gue tunggu paling lama satu jam. Terserah gimana cara lo dateng ke sini dengan cara apa. Bawa buku tabungan kita. Gue bakal cek mutasi rekening.” Gita mengakhiri panggilan, lalu masuk ke mobil dan pergi menuju tempat yang dikatakannya tadi. Taman tempat ia dan Rama biasa jogging. Tidak jauh dari unit apartemennya.
Karena Rama tak ada menghubunginya lagi untuk menyampaikan keberatan, Gita menganggap kalau pria itu pasti datang ke taman. Dan dugaan Gita barusan terbukti. Sepuluh menit tiba di taman, Gita melihat mobil Rama mendekati mobilnya dan parkir tepat di sebelah. Pria itu langsung keluar dan mengetuk kaca.
“Masuk,” pinta Gita, membuka katup kunci dan menunjuk jok sebelahnya pada Rama. Pria itu masuk tanpa banyak protes. “Mana buku tabungan kita?” Gita menengadahkan tangan.
Rama menyerahkan buku tabungan pada Gita dengan wajah tegang. “Maaf, Git ….Uang kita kepake dikit,” ucap Rama takut-takut.
Gita langsung mengambil buku tabungan itu dan membalik-baliknya. Meneliti mutasi dan mencari nilai saldo akhir. Matanya lalu membelalak. “Uang gue ke mana Rama? Kepake dikit gimana? Uang kita? Ini uang gue Rama …. Ini uang hasil kerja keras gue. Lo belum ada kontribusi di sini." Gita tak kuasa kembali menahan tangisnya. Ia kembali memeluk setir dan menutupi kepalanya.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
nan_elok
ya ampuuun emosi banget rasane
2025-01-25
0
May Keisya
karna org iri padamu Gita...
2025-01-31
0
𝐝𝐞𝐰𝐢
𝐬𝐤𝐫𝐧𝐠 𝐥𝐠 𝐤𝐞𝐜𝐚𝐧𝐝𝐮𝐚𝐧 𝐤𝐫𝐲𝐚 𝐤𝐚𝐤 𝐣𝐮𝐬 𝐤𝐞𝐥𝐚𝐩𝐚
𝐝𝐥𝐮 𝐚𝐝𝐚 𝐤𝐫𝐲𝟐 𝐚𝐮𝐭𝐡𝐨𝐫 𝐥𝐚𝐢𝐧 𝐲𝐠 𝐚𝐪 𝐬𝐮𝐤𝐚𝐢
𝐚𝐝𝐚 𝐲𝐠 𝐦𝐚𝐧𝐝𝐞𝐠
𝐚𝐝𝐚 𝐲𝐠 𝐠𝐤 𝐚𝐪 𝐬𝐮𝐤𝐚 𝐠𝐞𝐧𝐫𝐞 𝐧𝐲𝐚 𝐣𝐝 𝐠𝐤 𝐛𝐜 𝐤𝐚𝐫𝐲𝐚 𝐧𝐲𝐚 𝐲𝐠 𝐥𝐚𝐢𝐧
𝐬𝐞𝐦𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭 𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐲𝐚 𝐤𝐚𝐤 𝐣𝐮𝐬 𝐤𝐞𝐥𝐚𝐩𝐚🤗🤗🤗
2024-10-01
0