Tak ada yang bisa menjawab semua pertanyaan Gita yang bersembunyi dalam tubuh Mar saat itu. Hal yang paling disesalinya adalah kenapa ia harus pergi ke daerah itu dan berdiri dekat jembatan.
Sekali lagi ia menunduk memandang tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Gita menggeleng dengan sorot hampa.
Kalau benar jiwanya terjebak dalam tubuh seorang wanita bernama Markisah, lalu ke mana jiwa Mar yang sesungguhnya? Apa berada di dalam tubuhnya yang pingsan tadi? Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Bagaimana kalau ia tidak bisa masuk ke tubuhnya lagi? Apakah itu akan menjadi kematian yang sesungguhnya?
Kini Gita menatap ke jalanan yang menyisakan suara ambulans.
"Aku bisa menjenguk diriku sendiri," ucap Gita saat teringat bahwa rumah sakit tempat ia dibawa hanyalah sebuah rumah sakit daerah yang mudah didatangi kapan saja. Apalagi katanya ia cuma pingsan. Gampang, pikirnya. Rasanya lebih penting mengurus apa yang terjadi dengannya saat itu ketimbang mengurus tubuhnya yang jelas-jelas dirawat oleh tenaga kesehatan. Namun, tiba-tiba ia terlonjak. "Gimana kalau rumah sakit nelfon Ibu? Rumah sakit bakal bilang aku bunuh diri?" Gita dalam tubuh Mar yang kalut mulai mondar-mandir di dekat jembatan yang mulai ditinggalkan warga.
"Bu!" Panggilan Jaya kembali menyadarkan Gita bertubuh Mar.
"Kamu sebentar manggil Ibu, sebentar ngomong pake aku-kamu. Jadi laki-laki harus konsisten," kesal Gita, menyentak kaki-kaki gemuknya yang beralas sandal jepit pink ke tepi jalan. Jaya terdiam dan kembali waspada.
"Oke. Sebenarnya aku sedih karena nggak bisa ngomong sama ibuku yang asli. Tapi kalau harus konsisten aku panggil kamu dengan Ibu. Sebagai jin kamu pasti senang, kan?" Jaya memasukkan kedua tangannya ke saku celana pendek dan berjalan mengitari tubuh Mar.
Selama beberapa menit Jaya dan Mar berjiwa Gita saling mengamati. Jaya menggaruk dagunya sesekali, sedangkan Mar mengerucutkan bibir.
"Kalau dilihat Ibu memang bukan Ibu," kata Jaya pada akhirnya. "Ibu nggak pernah berdecak gitu. Nggak pernah ngeluh. Ibu penyabar. Walau Ibu pendek, Ibu nggak pernah lompat-lompat kayak tadi. Ibu juga nggak akan berani narik celananya bapak supir ambulans tadi. Boro-boro. Ibu pasti nggak berani. Cara ngomong juga beda. Aku bisa memastikan kalau Ibu kerasukan jin. Bisa jadi kerasukan jin jembatan karena semua orang tau kalau hampir dua tahun Ibu sering ke jembatan itu. Gimana? Apa analisaku udah tepat?"
"Nanya aku?" Mar menunjuk wajahnya dengan telunjuk lalu memandang telunjuknya itu. "Telunjuknya gede amat. Kalau ke sini bisa masuk nggak, sih?" Mar menjejalkan telunjuknya ke hidung.
Jaya sontak menepuk lengan Mar. "Udah, cukup. Jangan robek hidung ibuku. Kembalikan badannya dengan kondisi baik. Jangan malah dirusak," gerutu Jaya.
Mar mencibir. "Aku jin ya?"
"Jadi kamu apa?" Jaya kembali serius. Kali ini ia berharap Mar bisa menjawabnya dengan benar.
"Aku juga nggak tau aku ini apa. Setelah dikhianati ... aku kira bisa jadi brand ambassador klinik kecantikan. Nyatanya malah berakhir di sini." Mar memandang sepasang tangan gemuknya. "Kalau keluar dari badan ibumu, aku rasa aku bakal mati beneran." Raut wajah Mar berubah muram.
"Jadi di mana ibuku?" Wajah Jaya juga ikut sedih.
"Bisa jadi ibumu di dalam tubuh wanita cantik yang dibawa ke rumah sakit tadi. Namanya Gita." Mar kembali memandang jalanan kosong.
"Wanita cantik?" Jaya ikut memandang jalanan.
"Iya. Wanita cantik bernama Gita. Kalau beruntung kamu bisa ngobrol dengan dia nanti. Semoga ibumu nggak terbangun di tubuh itu. Ibumu bisa sombong punya tubuh sesempurna itu."
Jaya mencibir. "Ibuku nggak pernah sombong. Ibuku bilang nggak ada yang bisa disombongkan di dunia ini."
"Sekarang aku ibumu. Bisa aku buat jadi wanita sombong. Mau?" Mar palsu terkekeh lalu sedetik kemudian terdiam. "Aku baru ingat mau mengerjakan sesuatu. Aku pergi sekarang. Kamu pulang, gih!"
Jaya dengan sigap menahan lengan Mar. "Ibu harus masuk kerja."
Mar menggeleng. "Sorry. Nggak bisa. Aku perlu duit. Aku harus pulang ngambil duit. Kamu liat berapa isi dompet tadi, kan? Mau makan apa pakai uang segitu?"
Jaya belum melepaskan tangan Mar. "Ibu nggak boleh dipecat dari rumah Pak Harris. Gajinya lumayan dan Ibu udah lama kerja di sana. Bantu ibuku," mohon Jaya dengan raut memelas. "Kalau kamu bukan ibuku, bantu Ibu sementara ini. Pak Harris punya anak perempuan yang dekat dengan Ibu. Kasian anak perempuannya. Ibu selalu ngomong gitu."
"Aku bakal balik ke sini. Enggak lama. Kalau nggak ada uang, Nek Minah matre itu nggak bakal mau jagain adik kamu. Gimana?" Mar setengah mengejek.
"Kalau kamu ngejek aku begitu, aku makin yakin kamu bukan ibuku. Boleh pergi asal aku ikut." Jaya bersikukuh tidak melepaskan tangan Mar.
Gita menghela napas. Tidak ada cukup waktu untuk berdebat dengan Jaya yang keras kepala. Lagipula sejak Jaya bicara dengannya, entah kenapa Gita merasa Jaya bisa menjadi orang yang ia percaya. Setidaknya untuk saat itu. "Boleh ikut. Asal kamu panggil aku Tante Cantik," pinta Mar.
"Oke, Tante cantik. Kita berangkat sekarang?" Mata Jaya berbinar.
Mar memandang penampilan Jaya sebelum berjalan ke arah stasiun. "Pakaian kamu nggak ada yang lain? Baju begitu harusnya nggak dipakai lagi."
"Bajuku sedikit. Pakai ini juga udah syukur," jawab Jaya kalem. "Ini sebenarnya mau ke mana? Rencana Tante Cantik apa?"
Mar menepuk-nepuk kepala Jaya seraya tersenyum. "Cerdas. Kamu cerdas. Begini memang baik. Kamu harus cerdas menyesuaikan diri dengan lingkungan. Aku yakin kamu bakal jadi orang sukses. Duit ibumu yang sedikit ini mau aku pakai buat ongkos taksi ke rumah sakit. Kita harus cepat. Aku perlu ponsel dan dompet Gita. Semoga masih ada," ujar Mar, mempercepat langkahnya.
Kalau soal ingatan, Gita tidak hilang ingatan. Ia mengingat dengan jelas semua hal sampai ia tiba di tubuh wanita beranak dua yang pekerjaannya asisten rumah tangga. Gita ingat ia datang dari stasiun dan berjalan keluar setelah memberi makan seekor kucing.
Bersama Jaka, Gita kembali masuk stasiun. Berharap bertemu induk kucing itu untuk meyakinkan dirinya. Dan benar saja. Saat ia memutari bagian teras seekor induk kucing tidur dengan dua anaknya yang menyusu. Mar berjongkok memandang kucing dari dekat. Tangannya mulai membelai kepala kucing.
Ternyata aku memang nggak pindah dunia. Aku terjebak antara hidup dan mati. Tapi kenapa harus terjebak di tubuhnya Mar?
"Memang bukan ibuku. Ibuku takut kucing," gumam Jaya. "Gimana kalau Ibu nggak balik lagi?" Jaya ikut tercenung.
Tak sampai semenit, induk kucing yang dibelai Mar terbangun. "Kamu masih ingat aku, kan?" tanya Mar. Induk kucing malah terlonjak mendengar suaranya. "Ini aku, lho ... yang ngasih makan kamu siang tadi. Baru sebentar udah lupa." Mar menepuk pelan kepala induk kucing.
Induk kucing yang sempat syok akhirnya ikut diam.
"Kamu kaget liat dan denger suara Mar, ya? Suaranya memang mencicit kayak tikus. Tapi kayaknya Mar ini orang baik," jelas Gita dengan suara Mar yang memang kecil mencicit. Ia lalu terkekeh-kekeh.
Mendengar ucapan Mar, Jaya melengos sedetik dengan melihat ke tempat lain. Namun anak laki-laki itu gantian terlonjak. Ia beradu pandang dengan seorang pria yang ketika itu juga mendatanginya dengan wajah kesal.
"Kamu ngapain di sini?" Samsul memukul pelan kepala Jaya. "Kamu juga di sini? Enggak jadi mati kamu?" Samsul berdiri berkacak pinggang menunjuk Mar.
Gita yang terjebak dalam tubuh Mar berdiri perlahan. Dengan rambut ikalnya yang dipotong pendek dan mengembang, wajah bulat dan pipi tembam, sorot mata takut bercampur amarah tak bisa disembunyikan. Mar menelan ludah.
“Harusnya kamu pergi kerja. Kamu pasti ke jembatan lagi, kan? Awas kalau kamu sampai dipecat. Kubunuh kamu!” Tangan Samsul terangkat hendak menempeleng Mar.
Mar tidak terima tangan itu melayang di atas kepalanya. Dengan cepat ia menangkap dan mencampakkan tangan itu. “Lo kira lo aja yang bisa bunuh orang? Cuci tangan pake sabun sebelum lo berani megang-megang gue. Najis!” Mar meraih tangan Jaya dan membawanya pergi dari depan Samsul.
Jaya yang terkesima masih menganga dalam gandengan Mar. Bocah laki-laki itu benar-benar takjub. “Tante cantik keren …,” seru Jaya.
“Siapa laki-laki itu? Anak Nek Imah? Itu bapakmu? Itu suaminya Mar?” Gita dalam tubuh Mar terus berjalan keluar stasiun dan naik ke sebuah taksi yang parkir di luar pagar. “Kita ke rumah sakit daerah, Pak. Sekarang!” pinta Mar.
“Benar, Tan. Itu bapakku yang doyan mukul dan raja judi online. Anak Nek Imah. Kenapa, Tan?”
Mar diam saja. Ia sedang memikirkan bagaimana kalau Mar dan Jaya tahu bahwa pria bernama Samsul itu yang merampok dan mendorongnya ke sungai?
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
buretha
semenjak nemu novel kak njus, sekarang ekspektasi penulis novel harus setara kak njus. dan itu susah bgt nyari nya. ubek² novel di list rangking baca 1-3 bab eh ujung² nya balik lagi ke novel kak njus. ga bisa move on, keren pokoknya 😍
2023-06-20
343
𓆉︎ᵐᵈˡ•●◉✿💜⃞⃟𝓛Vivie✿◉●•
dih tante cantik dengan postur tubu Markisah, nanti kesanya kePeDe-an lo Mar kalau ada orang lain yg dengar🤣🤣🤣
2024-12-12
0
𓆉︎ᵐᵈˡ•●◉✿💜⃞⃟𝓛Vivie✿◉●•
🤣🤣aku baca dengan gaya omongan tini😀😀 bisa masuk gak tu jarinya? 😂😂ngupilll Git???
2024-12-12
0