“Mar …? Kamu sehat?” Harris memandang tangannya yang dicengkeram Mar dengan sangat erat. Itu pertama kali asisten rumah tangga yang tiga tahun belakangan menjadi babysitter putrinya berani menyentuhnya.
“Bantu saya, Pak.” Mar menggunakan kesempatan itu untuk memandang Harris dari dekat. Ia sedang mengira-ngira tinggi Harris sebenarnya. Kalau dibanding dengan tinggi Mar, tentu saja pria itu jauh lebih tinggi. Tapi kalau Harris berjalan di sebelah tubuh Gita, tidak akan terlalu jauh. Untuk seorang perempuan, Gita bisa dibilang memiliki tinggi ideal. “Pak Harris mau mendengar penjelasan saya, kan?”
Harus mau. Cuma tanda tangan aja apa susahnya? Enggak diminta menanggung pengobatan. Semua biaya masih ter-cover asuransi meski dengan kamar kelas standar. Ayolah, Harris ….
Harris berdeham. Pelan-pelan memindahkan tangan Mar yang mencengkeram lengannya. “Saya bantu…saya bantu. Pelan-pelan aja bicaranya.” Sedikit meringis Harris mundur selangkah untuk memindai tampilan Mar. Pegawainya itu bertingkah aneh, tapi dari segi penampilan tidak ada yang berbeda. “Yang baru kamu sebutkan tadi siapa?”
“Saudara saya,” jawab Mar.
“Biasanya kamu nggak begini.” Wajah Harris memperlihatkan kebingungan.
Mar merasa bagian belakang kausnya ditarik. Saat itu pula ia ingat soal pesan Jaya untuk menjaga pekerjaan ibunya. Mar berdeham pelan.
“Saya … mau membawa Bapak untuk menemui saudara saya.” Mar mundur selangkah, lalu menautkan tangannya di depan perut. Ia sedikit membungkuk dengan wajah bijak bak pelayan kerajaan. Menurut Gita yang berada dalam tubuh Mar, begitulah seharusnya seorang pelayan bersikap. Apalagi dilihat dari jenis mobil Harris. Pria itu pasti tinggal di rumah mewah dan biasa diperlakukan dengan penuh hormat. “Mari ikuti saya, Pak.” Mar kembali setengah membungkuk. Harris mengangguk dengan wajah ngeri.
Selama Mar berjalan di depan Harris, Jaya berusaha menjajari langkah ibunya. Terlihat seperti ada hal yang dikhawatirkanbocah laki-laki itu. Sampai mereka bertiga kembali tiba di depan salah satu ruang ICU yang berisi Gita. Ia sengaja mendekati pintu kaca agar Harris mengikutinya. Ia dengan sangat berharap Harris melihat dari dekat.
“Saudara kamu?” Harris memandang Mar, tapi belum mendekat ke dinding kaca.
“Sejak dulu saya sangat-sangat mengagumi Gita. Anaknya baik, supel, ceria, optimis, juga cantik. Satu aja kekurangannya. Gita itu sedikit mudah terpengaruh. Apalagi mengingat kondisinya kemarin …. Si berengsek itu ….” Mar tak sanggup meneruskan ucapannya. Hatinya kembali terasa seperti ditusuk.
Kali itu kesedihannya memandang tubuh Gita yang tertidur di balik dinding kaca bukan drama untuk memikat rasa penasaran Harris. Air mata Mar menggenang di pelupuknya.
Andai nggak bisa masuk ke tubuhku lagi, kira-kira apa yang terjadi dengan tubuh asliku? Apa aku mati?
Air mata Mar menetes. Pertanyaan yang sama tetap menghantui.
“Mar? Maaf. Setelah bertahun-tahun kamu bekerja di rumah saya, saya juga baru tau kalau kamu punya saudara. Bukan bermaksud tidak peduli. Tapi ….” Harris melangkah mendekati Mar tanpa memperhatikan sosok di dalam ICU. “Apa yang bisa saya lakukan?” Harris melirik jam di pergelangan tangannya.
“Menurut keterangan, mereka bilang Gita melakukan percobaan bunuh diri. Tapi buat saya yang tau bagaimana Gita, rasanya nggak mungkin. Gita memang sedikit impulsif, tapi kalau bunuh diri enggak mungkin. Dia nggak akan mau masuk berita dengan alasan konyol. Apalagi ibunya punya penyakit darah tinggi.” Mar menjelaskan dengan suara tertahan.
Aku harus bisa mengendalikan diriku atau laki-laki ini bisa kabur. Kalau dia kabur, Mar bisa kehilangan pekerjaan.
Dari jarak sedekat itu, Mar menilik wajah Harris sepuas-puasnya. Tanpa mengurangi rasa hormatnya pada istri Harris, dengan berat hati ia harus mengatakan kalau pria itu ganteng dan memesona. Hidungnya kecil dan mancung. Rambutnya tersisir rapi mengilap karena pomade yang wanginya tidak membuat sakit kepala. Rahangnya tegas terbingkai dengan cambang yang menutupinya.
Kenapa yang baik, kaya dan ganteng gini harus suami orang, sih? Dan kenapa juga dari tadi nggak mau liat ke dalam ruangan? Padahal ada Gita cantik yang menunggu.
Mar berdecak kesal. Harris belum juga menoleh ke dalam ruangan ICU. Pria itu malah mendatangi meja perawat dan berbicara dengan serius. Mar terlalu terkesima melihat bagaimana Harris bicara sampai tak sempat mendekat hingga pembicaraan itu selesai dan pria itu terlihat menandatangani sesuatu.
“Saya sudah menandatangani jaminan untuk saudara kamu. Kamu bisa mengambil barang-barang pasien dan menyimpannya sementara menunggu kondisinya membaik. Jadi … saya harap kamu bisa segera kembali ke rumah dan membantu menjaga Chika buat saya. Besok saya ada rapat penting, Mar.” Suara Harris yang berat dan tenang membuat ucapan yang harusnya terdengar sebagai permohonan malah terdengar seperti perintah di telinga Mar.
“Baik, Pak,” sahut Mar.
“Pagi tadi cara kamu bicara tidak seperti ini, Mar. Kamu sadar kalau kamu … beda?” Dengan satu tangan di kantung celananya, Harris kembali berdiri memindai babysitter putrinya.
Dia cuma peduli soal Mar yang harus balik kerja jagain anaknya. Nggak peduli soal saudara Mar yang nasibnya nggak jelas. Semua orang memang kayak gitu. Selalu menganggap semua urusannya yang paling penting sampai lupa berempati.
Mar mengangkat bahu. “Berubah? Enggak tau, tuh. Kayaknya biasa aja. Makasih karena udah mau tandatangani jaminan rumah sakit. Saya ambil barang-barang Gita sekarang.” Mar meninggalkan Harris di depan ICU dan mendatangi meja perawat.
“Silakan,” kata Harris, menepikan tubuhnya memberi ruang pada Mar.
Setelah Harris menandatangani jaminan rumah sakit itu, Mar tak membutuhkan waktu lama mendapatkan barang-barang Gita. Tangannya sudah menenteng bungkusan saat kembali ke hadapan Harris.
“Sudah, nih, Pak. Makasih banyak. Saya pulang ke rumah. Mau makan dulu sama Jaya. Yuk, Jay,” ajak Mar pada Jaya setelah mengangguk sekilas pada Harris. Tingkah pelayan kerajaan tadi hilang seketika. Dengan satu tangan menenteng bungkusan dan tangan lainnya menggandeng Jaya, Mar pergi meninggalkan Harris yang belum menguasai situasi itu sepenuhnya.
Padahal apa salahnya dia ngeliat keadaan gue lebih dulu. Asli sombong banget jadi orang. Mentang-mentang kaya.
Mar terus berjalan meninggalkan ICU. Meninggalkan Harris yang masih berdiri di depan ICU. Sepeninggal Mar, Harris berputar mendekati dinding kaca. Dengan dua tangan berada di saku celana, Harris berdiri semakin mendekat. Ia sudah bertanya soal Gita dan melihat semua barang-barang yang ditinggalkan wanita itu.
Sales Manager? Baru tau kalau Mar punya saudara yang bekerja di kota besar. Dilihat dari sudut mana pun tidak ada kemiripan. Apa Mar hanya mengaku-ngaku?
Menjatuhkan diri? Jatuh tidak sengaja? Atau didorong seseorang? Dia bukan penduduk sini. Sedang apa di sini?
Harris kembali diam. Teringat penjelasan perawat soal perempuan bernama Gita yang mengalami gegar otak cukup parah namun untungnya tidak mengalami perdarahan yang membuatnya harus dioperasi. Semua kondisi Gita stabil. Hanya menunggu wanita itu tersadar sambil memperhatikan semua asupan yang ia butuhkan. Harris memperhatikan rambut Gita yang hitam panjang dan membingkai wajah manisnya di bantal.
Perawat tadi berpesan, “Hari ini belum bisa masuk ruangan, besok bisa kembali dikunjungi.”
Harris menghela napas panjang. “Cantik,” ucapnya pelan lalu berputar meninggalkan ruang ICU.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
ℤℍ𝔼𝔼💜N⃟ʲᵃᵃ࿐ⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
seandainya gita yg berada dlm tubuh mar mendengarkan ucaoan Harris apa ga lnsg selebrasi🤣🤣🤣🤣
#baca ulang tuk yg kesekian kalinya klo lg kangen Kan njus🤭🤭🤭
2025-03-16
0
Haryati Kurniawan
jadi ingat mas Bara 😍
2024-12-07
0
Aks424🤍
🤣🤣🤣🤣
ketika Gita telah kembali ke raganya,, lalu ingat adegan ini apa Gita gk meringis malu.. 🤭🤭
2025-01-25
0