Puella tidak mau berburuk sangka pada suami sendiri. Landasan pernikahan adalah saling percaya. Seharusnya begitu. Tapi, semakin lama, pikirannya mulai bercabang. Sedikit demi sedikit terpengaruh oleh setiap fakta yang diucapkan oleh mertuanya.
Puella benci memiliki hati yang buruk. Dia tidak mau terpengaruh. Tapi, setiap hari setelah menikah, Orsino sering pulang tengah malam. Itu terjadi selama satu minggu ini. Jarang mengirimkan pesan dan berinteraksi dengannya lagi.
Justru saat masih menjadi sepasang kekasih, komunikasi mereka lebih instens. Mungkin karena tidak tinggal dalam satu ruangan yang sama.
Tiap pagi Puella diantarkan ke rumah mertuanya. Orsino memintanya untuk berhenti mengambil hati Mommy Melly. Namun, tidak sejalan dengan keinginannya yang mau diterima menjadi menantu dengan lapang dada. Pulangnya selalu naik taksi karena suaminya tidak ada kabar jika dihubungi. Entah apa yang dilakukan Orsino sampai sudah malam pun belum ada waktu senggang.
“Mom, aku pamit pulang. Taksinya sudah menunggu di depan,” ucap Puella pada mertuanya yang duduk di sofa dan sedang menikmati tontonan dari netflix.
Mommy Melly sudah tidak memaksa Puella untuk memanggil Nyonya. Mungkin telah lupa juga dengan permintaan itu. Tapi, terlihat dari raut wajah jika ia muak dengan panggilan yang diberikan. “Mam Mom Mam Mom, tidak sudi aku memiliki anak cacat sepertimu!” Selalu begitu reaksinya.
Namun, Puella tetap membiasakan untuk memanggil begitu. Siapa tahu hati mertuanya perlahan bisa berdamai dengan keadaan. “Taksiku sudah di depan,” beri tahu sekali lagi.
Terlihat kepala wanita dengan rambut berantakan dan jelek seperti karakter Ursula dalam film salah satu drama musikal buatan Disney. Melly melongokkan kepala hingga melewati batas sandaran sofa tempatnya bersantai. “Tidak dijemput Orsino, ya?” Itu bukan kalimat iba atau khawatir karena menantu pulang sendiri. Tapi, lebih ke arah mengejek.
“Orsino sibuk, Mom. Aku bisa pulang sendiri juga.” Puella meraih tas yang diletakkan pada dapur sejak pertama kali datang. Ia berjalan menuju pintu. Sudah tidak ada lagi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Masak untuk makan malam mertuanya juga telah disiapkan sejak tadi.
Saat Puella berhasil membuka pintu belakang taksi yang dipesan, tubuh tidak segera masuk karena ada suara yang membuatnya harus bertahan sejenak. Mertuanya ternyata mengikuti sampai di pintu dan kini sedang berdiri angkuh dengan kedua tangan terlipat di dada.
Melly menertawakan Puella dengan riang dan penuh ejekan. “Aku kalau jadi kau—”
Puella segera menyanggah. “Belum tentu kuat juga menjalani kehidupan dengan berkaki satu. Jadi, jangan bayangkan jika hidup seperti aku.” Suaranya lembut supaya mertuanya bicara lebih hati-hati. Setiap perkataan adalah doa. Maka, lebih baik mengucapkan yang bagus-bagus saja.
Melly mencebikkan bibirnya sinis. Sok menceramahi. Dia semakin sebal dengan wanita pilihan anaknya. Berkaki satu saja belagu. “Suka-suka aku mau berucap apa. Kau tak ada hak mengatur!” peringatnya supaya Puella tidak melewati batas.
Puella cukup tersenyum. Menanti apa yang akan dikatakan oleh mertuanya lagi sampai menyusul keluar. Atau mungkin hanya mau menghina dirinya? Rasanya sudah sangat kebal. Apa pun kalimat menyakitkan tidak lagi mampu menggores dan membuat luka di hatinya.
“Ku sarankan kau itu lebih sadar diri. Orsino tidak mau menjemput bahkan sampai larut malam begini. Kau pikir karena apa?”
“Dia sibuk bekerja mencari uang untuk menghidupi keluarganya,” jawab Puella dengan segala pikiran positif.
“Salah! Karena dia muak melihatmu yang cacat. Lalu, lebih baik mencari yang sempurna saja di luar sana. Untuk apa memelihara wanita sepertimu? Membuat malu saja.” Melly menertawakan puas setelah berhasil menghina untuk kesekian kali.
“Aku bukan hewan yang harus dipelihara,” sanggah Puella, masih menggunakan konotasi sopan dan tidak menyolot. Begitu caranya membela diri, tidak perlu membalas dengan otot ataupun bicara hingga urat leher keluar.
Melly kesal sendiri menghadapi Puella. Dia ingin menjatuhkan mental wanita itu. Tapi, sampai sekarang belum berhasil juga. Setidaknya sampai stres dan berujung menyerah. Kakinya memutar tubuh, masuk ke dalam dan membanting pintu dengan sangat keras.
Barulah Puella masuk ke dalam taksi dan menuju apartemen Orsino. Sampai di tempat tinggal, ia belum mendapati suami pulang.
Duduk di kursi ruang makan, Puella mengeluarkan ponsel untuk mengirimkan pesan pada Orsino. Memberi tahu bahwa ia sudah pulang dan menyiapkan makan malam di atas meja.
Tubuh Puella sangat lelah. Dia memilih untuk tidak menunggu suami sampai pulang. Merebahkan tubuh di ranjang dan mulai memejamkan mata.
Entah pukul berapa. Puella merasakan kalau ada seseorang ikut berbaring di belakang punggungnya. Mungkin Orsino. Dia pun terbangun dan membuka mata. Merubah posisi supaya bisa melihat siapa orang yang baru saja tidur itu. Benar, suaminya.
Dalam cahaya yang sangat minim, Puella bisa melihat guratan lelah dan kening mengkerut seperti menandakan sedang banyak pikiran. Tangan terulur untuk menyentuh rahang yang ditumbuhi bulu-bulu yang mulai panjang. “Kau mabuk lagi?” tanyanya saat menghirup aroma alkohol.
Orsino mengangguk. “Minum sedikit,” jawabnya tanpa membuka mata atau memeluk sang istri. Dia justru meringkuk sendiri dan menarik selimut yang sedang menutupi tubuh Puella.
“Kenapa sekarang kau sering pulang dalam kondisi setengah sadar?” Tidak salah ‘kan jika Puella ingin tahu tentang kehidupan Orsino yang sekarang terasa berubah? Dahulu saat masih menjadi kekasih tidak pernah mabuk dalam kurun waktu berturut-turut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
himmy pratama
ors punya WIL..makanya GK pernah pulang awal Krn wes capek dgn yg satunya..cpt lah sadar pu bahwa sdg di manfaatkan
2024-04-26
0
❤️⃟Wᵃf🤎⃟ꪶꫝ🍾⃝ͩDᷞᴇͧᴡᷡɪͣ𝐀⃝🥀ᴳ᯳
Diee habis pulang dari ngawin. 😌😌
2023-10-09
0
Ndin (Seichiko17)
Jangan2 di Ors itu tidak perkasa lagi 🫢
2023-08-30
0