Setelah resmi dinyatakan menjadi suami istri, semua orang yang hadir menyaksikan hanya makan bersama di dalam ruang rawat. Puella memesan makanan dari restoran supaya sang Mommy tetap bisa merasakan hangatnya kebersamaan keluarga.
Pesta yang sangat sederhana, mereka memaknai sebuah pernikahan adalah mempersatukan dua orang yang saling cinta. Jadi, meskipun dari keluarga terpandang, tidak pernah mengharuskan menggelar kemewahan. Padahal jelas relasi sangat banyak dan orang penting semua. Namun, tidak ada yang lebih penting daripada kenyamanan. Pernikahan lebih terasa intim ketika cukup dihadiri oleh orang-orang terdekat saja. Lagi pula, keluarga besar Puella tidak haus oleh sanjungan dan pujian, maupun risau jika dibicarakan karena nyaris jarang membuat pesta pernikahan besar-besaran.
Mereka berbincang kecil, membicarakan hal apa saja. Mengalir bagaikan air, setiap ucapan selalu bisa ditimpali dengan candaan. Terlihat hangatnya keluarga itu.
Orsino, si mempelai pria hanya bisa diam dan memperhatikan interaksi di depannya. Sangat jauh berbeda dengan keluarganya yang selalu memikirkan kepentingan masing-masing.
Sementara Puella, dia duduk di kursi samping ranjang pasien. Menggenggam tangan sang Mommy yang sejak tadi hanya diam tanpa ikut memberikan tanggapan.
“Mom senang?” tanya Puella. Pernikahannya berlangsung karena ia ingin membuat orang tua lega telah berhasil menyaksikan putri satu-satunya dimiliki oleh pria yang sudah diberikan kepercayaan penuh.
“Ya, sangat bahagia. Jadi, jika suatu saat nanti aku tiba-tiba tak kuat menahan sakit lagi, bisa pergi dengan tenang,” jawab Deavenny. Suara sangat lirih tak bertenaga.
Puella menarik tangan dalam genggamannya itu sedikit ke atas. Meletakkan telapak yang terasa dingin ke pipinya. “Pasti sembuh, Mom. Kau belum melihat aku hamil dan melahirkan, masih perlu menyaksikan cucu hadir ke dunia. Jadi, harus bertahan lebih lama, oke?”
Deavenny cukup mengulas senyum tanpa mengiyakan. Perihal usia, tidak ada yang tahu kapan akan berakhir. Bisa saja satu detik kemudian Tuhan memintanya pulang, atau masih lebih lama lagi. Kematian adalah misteri, tak bisa diprediksi. Setidaknya, ia mencoba bertahan demi putrinya.
Waktu pun mulai sore. Tapi, tidak ada yang beranjak pergi dari sana. Semua masih senang berbincang walau kebanyakan lesehan di lantai. Sampai dokter yang baru saja masuk untuk memeriksa pasien pun terkejut.
“Bukan maksud saya untuk mengusir keluarga pasien. Tapi, tolong hargai yang sedang sakit, beliau butuh istirahat. Apa lagi di sini sangat ramai. Jadi, jika mau menjenguk, bisa besok lagi, ya.” Dokter pun meminta semuanya bubar. Memang sudah diberi tahu jika ruangan pasiennya akan digunakan untuk menikah. Tapi, tidak sangka jika sampai sore. Apa lagi menyaksikan yang ada di atas ranjang tak berdaya itu nampak semakin sayu.
“Oh ... maafkan kami, selalu lupa waktu jika sudah berkumpul,” ucap Puella. Dia lalu meminta keluarga agar pulang saja.
Satu persatu orang pun berpamitan. Kini ruang rawat itu menjadi sunyi. Hanya tersisa Puella, Orsino, Marvel, Deavenny, dan dokter yang sedang memeriksa.
“Kalian berdua pulang juga, sudah ada daddymu yang menjaga di sini,” pinta Deavenny.
“Yakin tidak mau dijaga aku dan menantu baru Mommy?” tanya Puella. Ia menaikkan selimut yang sempat merosot ke bawah saat keluarga memeluk untuk berpamitan.
Deavenny mengangguk yakin. Akhirnya pengantin baru itu pun meninggalkan ruang rawat juga.
Orsino membawa sang istri menuju apartemennya. Selama memiliki hubungan dengan Puella, wanita itu tak pernah dibawa ke tempat tinggal tersebut. Gaya berpacaran mereka terlalu sehat, hanya sebatas gandengan dan ciuman saja, tak lebih.
“Jadi, di sini kau tinggal selama ini?” tanya Puella saat melangkah melewati pintu.
“Ya, maaf jika tidak besar. Perusahaanku tidak sesukses milik keluargamu. Bahkan bisnis ekspedisiku juga sedang banyak masalah,” jelas Orsino. Meletakkan koper berisi barang sang istri ke dalam kamar.
“Masalah apa? Kau bisa cerita padaku karena sekarang kita sudah menjadi suami istri. Berbagilah kesulitan bersama.” Puella kian mendekati sang pria. Ia peluk sosok yang sepertinya sedang banyak pikiran itu, dari belakang. Rasanya nyaman, bagai memiliki rumah baru. “Siapa tahu aku bisa membantumu.”
Orsino menggeleng, masih enggan bercerita. “Nanti saja, sekarang kita mandi dulu, lalu istirahat. Badan pasti lelah, kan?” Mengurai tangan yang melingkar di perutnya, lalu memutar tubuh hingga keduanya saling berhadapan. “Mau mandi bersama?” tawarnya.
“Em ....” Puella menggeleng pelan. Dia tidak biasa berbagi kamar mandi berdua. Tahu jika Orsino kini resmi menjadi suami. Tapi, tetap saja akan terasa aneh karena belum terbiasa. “Sendiri-sendiri dulu, ya?”
“Oke, sesuai kemauanmu.” Orsino membawa Puella keluar kamar, dan menunjukkan tempat untuk mandi berada di luar. “Yang di dalam sedang bermasalah saluran pembuangannya. Jadi, sementara di sini dulu.” Sembari membuka pintu.
“Tidak masalah.” Puella tidak langsung masuk ke dalam. Tapi, dia mencari tempat duduk sebentar. “Aku harus lepas kaki palsunya, yang basah cukup aku saja, ini tidak perlu.”
Baru kali ini Orsino melihat Puella tanpa kaki. Sekarang dia tahu kalau bagian kiri hanya memiliki paha, tak ada lutut maupun betis. Lumayan miris juga. Segera menghampiri untuk memberikan bantuan. “Pegang tanganku, Pu.”
Sayangnya, ditolak oleh Puella dengan gelengan kepala. “Jangan pandang aku dengan sorot mata iba, Ors. Mungkin aku memang tak memiliki fisik sempurna, tapi ke kamar mandi sendiri dengan satu kaki masih bisa.”
“Yakin?”
“Ya, aku hidup seperti ini sudah dua puluh enam tahun. Jadi, semua bisa karena terbiasa.” Puella pun menunjukkan.
Berdiri hanya dengan kaki kanan, awalnya sedikit mau limbung karena belum seimbang, tapi setelah merentangkan tangan, bobot tubuh jadi lebih tenang. Puella pun sedikit mengangkat ujung gaun supaya tidak menghalangi pergerakannya.
“Lihatlah, Ors.” Puella mulai melompat kecil, sampai ke pintu barulah ia berpegangan pada bagian bingkainya. “Bisa, kan?”
Puella hanya ingin memberi tahu bahwa tidak perlu terbebani meski memiliki seorang istri berkaki satu. Dia tidak akan menyusahkan. “Kita itu sama-sama manusia, hanya cara bertahan hidupnya saja yang berbeda.” Setelah mengucapkannya, ia masuk ke dalam dan mengunci pintu.
...........
Pengantin baru itu sudah sama-sama berpakaian santai. Memakai kaos dan celana pendek. Orsino mendadak dapat panggilan, lalu berpamitan untuk kerja sebentar. Jadi, dia meminta waktu supaya tidak diganggu terlebih dahulu. Pria itu keluar dari apartemen setelah memastikan jika Puella tidak masalah ditinggal seorang diri, tanpa mengganti pakaian yang lebih rapi.
Baru resmi menikah pagi tadi, kini Puella tidak ditemani suami. Tapi, beruntunglah karena ia sangat pengertian. Setiap orang memiliki kepentingan masing-masing, apa lagi Orsino pergi karena urusan pekerjaan.
“Sambil menunggu dia pulang, aku masak saja, supaya saat Orsino kembali bisa langsung makan,” gumam Puella. Lagi pula sekarang sudah pukul tujuh malam.
Puella itu cukup fisik saja yang berbeda, tapi dia bisa melakukan segalanya. Memasak juga sering membantu koki di mansion. Menjadi berbeda bukanlah alasan untuk tak memiliki semangat hidup. Jadi, berkutat di dapur sangatlah lihai.
Saat memotong bahan-bahan yang sudah ia siapkan di atas meja, telinga mendengar ada dering ponsel. Puella berhenti sebentar, lalu bergerak mengambil alat komunikasi genggamnya.
“Siapa, ya?” gumam Puella. Nomor tidak dikenal, belum pernah ia simpan.
Awalnya mau didiamkan saja. Tapi, ternyata panggilan pun kembali masuk. Akhirnya, ia putuskan untuk menekan logo bulat berwarna hijau.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
himmy pratama
nukha sll membuat teka teki yg bikin penasaran .. siapa ya yg tlp
2024-04-26
0
anonim
awas Ors kalau kamu mempermainkan pernikahanmu bersama Puella...kau hadapi keluarga besarnya Puella mampus kau
2023-07-30
2
Rifa Endro
hhh !!! kamu akan menyesal suatu hari nanti karena memanfaatkan kondisi Pue yg cacat ini Ors !!!
2023-07-21
1