“Aretta memang hebat.” Tante Cia menerawang angannya sendiri lantas berdiri masuk ke kantornya. Tak lama dirinya keluar dengan sebuah amplop coklat.
“Ternyata Aretta menyusun rencana yang sangat tertata, dugaannya tak pernah meleset sedikitpun,” ucap Tante Cia kagum dengan senyum sumringah. Aku menerima amplop itu dengan pikiran yang masih mengambang.
“Jadi Nyonya Aretta sudah merencanakan semua ini?” Tanyaku berusaha mengerti.
“Berikan ini pada Auriga, dia akan mengerti apa yang harus dilakukannya,” ucap Tante Cia tanpa menjawab pertanyaanku. Setelahnya aku kembali pamit. Aku tak kembali ke hotel kali ini, aku menuju ke rumah pantai tempat Auriga bermalam.
“Sudah kukatakan kau off hari ini kan?” Auriga menyemprotku dengan omelan saat membuka pintu. Wajahnya terlihat lesu. Sepertinya dia benar-benar frustasi. Aku menyodorkan amplop coklat yang diberi oleh Tante Cia tadi. Amplop itu masih tersegel rapat.
“Kau bisa mengirimkannya lewat surel!” Bentak Auriga lagi.
“Ini dari ibumu, Nyonya Aretta, pemilik merek AAA,” ucapku tegas. Auriga memiringkan kepalanya tak mengerti lalu mengulurkan tangan menerima amplop coklat itu.
“Dari mana kau mendapatkannya?” tanya Auriga dengan tatapan menyelidik.
“Tante Cia, pengurus Panti Asuhan,” jawabku lagi.
“Kau mengenalnya?” tanya Auriga sambil membuka perlahan amplop itu.
“Aku dua tahun di Panti Asuhan.”
“Apa kau Altair?” tanya Auriga santai masih dengan membuka amplop perlahan.
“Itu nama tengahku,” jawabku santai. Itu memang benar. Aku memiliki nama lengkap Robert Abner Altair, dan Prayanto ditambahkan saat aku diadopsi. Jawabanku tadi menghentikan gerakan tangan Auriga. Pria di depanku ini mendongak menatapku dengan tatapan yang gelap. Aku tak mengerti apa arti tatapan itu. Apa Auriga tahu jika dulu ibunya ingin mengadopsi diriku? Apa ada kisah lain dibaliknya?
“Ada yang salah?” tanyaku sedikit gelisah.
“Ah! Robert A.A. Prayanto! Mengapa aku tidak menyadarinya?” seru Auriga membuatku lega. Amplop terbuka lantas Auriga menarik selembar kertas. Rupanya itu sebuah foto. Sebuah pemandangan matahari tenggelam yang tak asing bagiku. Lautan yang mirip dengan lautan di luar sana. Tak ada yang berbeda. Auriga mengamati foto itu dengan dahi berkerut.
“Kita harus pergi ke tempat itu?” tanyaku. Auriga mengabaikan ucapanku dengan terus menatap foto itu. Beberapa kali Auriga menghembuskan nafas, mungkin dirinya mulai putus asa.
“Apa dia akan datang saat matahari terbenam?”
“Jika dia datang setiap matahari terbenam, seharusnya aku sudah menemuinya hari ini,” jawab Auriga kesal. Lagi-lagi Auriga menghembuskan nafas kasar.
“Atau mungkin ini adalah matahari terbit?” tanyaku tidak yakin. Auriga mengangkat pandangannya dari foto itu kemudian menatapku dalam.
…
Kini aku duduk di balkon rumah pantai sambil menyesap perlahan secangkir teh hangat. Dari sini aku dapat mengamati Auriga yang berada di pantai menunggu matahari terbit. Langit masih gelap, ombak terus menggulung pasir hitam di pesisir laut. Seperti gelapnya saat ini, pikiranku kalut menunggu. Bagaimana jika perkiraanku salah? Bagaimana jika Nyonya Aretta tidak muncul? Bagaimana jika Nyonya Aretta sebenarnya sudah meninggal? Astaga! Aku baru sadar kini, mengapa aku tidak menanyakannya pada Tante Cia tadi. Aku mendadak merasa bodoh.
Beberapa kali aku tertidur menunggu Auriga. Pria itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Seharusnya sebentar lagi matahari terbit. Aku dapat melihat bahwa Auriga mengantuk terbukti dari dirinya yang menguap beberapa kali. Aku tak mengerti mengapa Auriga memilih untuk menunggu di pantai yang sangat dingin.
Matahari sudah sepenuhnya naik, dan tidak ada tanda-tanda kedatangan seseorang. Auriga duduk di pasir. Aku tidak dapat melihat raut wajahnya karena dia duduk menghadap ke laut. Kurasa tanpa melihat wajahnya aku tahu bahwa dia pasti sedang tidak baik-baik saja. Rasa kecewa itu pasti ada. Aku memutuskan untuk turun menghampiri Auriga. Belum juga diriku melangkah keluar pintu utama, seorang wanita duduk di samping Auriga. Aku tersenyum melihatnya. Auriga menyandarkan kepalanya pada pundak wanita itu. Dia pasti Nyonya Aretta. Aku dapat melihat kasih sayang ibu yang tulus. Aku memutuskan untuk kembali ke balkon.
…
Aku tak tahu apa yang terjadi, apa yang dibicarakan, atau bahkan dimana Auriga serta ibunya menghabiskan hari. Kemarin, Auriga pergi bersama ibunya berdua, menghabiskan sehari penuh sedangkan aku berdiam diri di rumah pantai. Sebagian waktu aku habiskan untuk tidur. Aku bangun hanya untuk makan, dan mandi.
“R, pengawal pribadi Tuan Auriga.” Aku mengenalkan diri pada Nyonya Aretta. Perempuan yang terlihat terlalu muda untuk umurnya itu tersenyum manis sambil menjabat tanganku. Nyonya Aretta memiliki wajah khas orang Indonesia dengan rambut hitam panjang. Meski sudah tidak muda, pesonanya bisa meluluhkan siapapun. Kini aku tahu darimana pesona Aquila berasal.
“Kamu Altair,” ucap Nyonya Aretta masih dengan senyum terpasang.
“Jaga anakku baik-baik,” titahnya serius sambil menatap ke dalam bola mataku. Aku dapat merasakan keseriusan permintaannya itu.
“Saya akan melakukan yang terbaik,” ucapku kemudian tersenyum.
“Ah, bukan Auriga, Aquila, jaga Aquila baik-baik,” ucap Nyonya Aretta membenarkan. Aku berkedip beberapa kali berusaha mencerna. Itu bukan lagi tugasku.
“Aku dengar kau menyukai Aquila, maka jagalah dia,” ucapnya berbisik. Auriga keluar dari balik ruangan sambil membawa tas miliknya.
“Kita harus pergi sekarang!” Perintah Auriga. Aku bangkit kemudian mengikuti langkah Auriga keluar bangunan.
Suara bising pesawat mendominasi pendengaranku. Banyak orang yang berdiri mengamati orang lain yang masuk ke tempat keberangkatan. Bandara tidak bisa dibilang sepi tapi ini tidak seramai biasanya. Langkah Nyonya Aretta berhenti sampai gerbang terakhir dia bisa mengantar. Auriga memilih pesawat komersil untuk kembali ke Inggris jadi kami harus melakukan berbagai prosedur selayaknya orang lainnya. Sebelum masuk, Auriga menghampiri ibunya itu, memeluknya erat. Cukup lama mereka berpelukan. Aku dapat melihat mata Auriga yang mulai meneteskan air. Auriga berjalan mendahuluiku setelah melepas pelukan. Punggungnya menjauh tanpa ada niatan berbalik. Aku membungkuk memberi hormat sekalian berpamitan. Setelahnya aku berbalik hendak menyusul Auriga.
“Altair!” Panggil Nyonya Aretta. Aku berpaling menghadapnya, membiarkan Auriga meninggalkanku.
“Kau perlu penjelasan,” ucapnya sambil menampilkan senyum manis di bibirnya. Nyonya Aretta lalu menarik sebuah amplop putih dari dalam tas yang dijinjingnya. Aku menerima amplop itu lalu memasukannya ke ransel di punggungku.
“Kalau begitu saya pamit,” ucapku dengan sedikit membungkuk memberi hormat. Nyonya Aretta mengelus puncak kepalaku lembut.
“Tolong perjuangkan Aquila jika kau benar-benar mencintainya, jangan pedulikan Auriga,” ucap Nyonya Aretta lagi. Ada sebuah perasaan hangat yang mengalir di dadaku saat mendengar itu. Aku tersenyum lalu memeluk Nyonya Aretta.
“Terima kasih,” ucapku terisak. Tiba-tiba air mata mengalir begitu saja. Aku melepas pelukan itu kemudian menyusul Auriga.
“Kalian membahas Aquila?” Tanya Auriga saat kami sudah duduk di dalam pesawat. Auriga, dan aku duduk bersebelahan. Laki-laki itu memilih untuk duduk dekat jendela sedangkan aku dekat jalan. Tidak ada kehangatan dari cara bicaranya.
“Iya,” jawabku sambil menunduk. Aku sedikit tak enak mengingat Auriga tidak menyetujui.
“Aku tidak ingin memiliki saudara ipar yang merupakan pengawalku sendiri.” Auriga menyerukan isi pikirannya, dan itu cukup mengganggu pikiranku. Hubunganku, dan Aquila memang tidak ada kejelasan tapi aku yakin bahwa perasaanku, dan Aquila sama. Kuharap begitu. Aku tak menjawab ucapan Auriga yang terakhir. Tiba-tiba aku teringat surat dari Nyonya Aretta. Aku mengambilnya dari dalam ransel. Nyonya Aretta menulis surat ini dengan tangannya. Cukup panjang, itu yang timbul di benakku saat pertama kali melihatnya.
…
Jogja, 13 Oktober 2009
Yang Terkasih Altair.
Ini Aretta. Aku sangat bahagia saat melihatmu, kebahagiaan itu masih sama saat aku melihat fotomu yang masih bayi, melihat dirimu yang berada di Panti Asuhan. Aku senang kau tumbuh dengan baik. Seharusnya aku mengadopsimu dulu tapi aku tidak melakukannya. Aku bersyukur akan hal itu karena pada akhirnya aku memiliki anak perempuan yang kau cintai. Auriga memang tidak merestui kalian, aku harap kau tidak membencinya. Jika kau benar-benar mencintainya, tolong perjuangkan gadis kecilku itu.
Mungkin kau perlu tahu mengapa aku memutuskan untuk meninggal bunuh diri sebagai Sriwahyuni Aretta. Alasanku itu berhubungan dengan orang tua kandungmu. Aku, Ibumu, dan Cia adalah sahabat di SMA. Kami masih terlalu muda untuk mengambil tindakan gila ini. Saat itu ibumu sudah bertemu dengan cintanya sedangkan aku belum, dan aku sulit untuk mempercayainya jadi aku memutuskan untuk berkorban untuk ibumu, lagipula dia pria kaya. Aku menggantikan ibumu yang seharusnya dijodohkan dengan Thomson jadi ibumu bisa hidup bahagia dengan ayahmu tapi sayang Thomson tidak menyukainya sehingga Thomson menyuruh orang membunuh mereka. Aku harap kau tidak membenci Thomson setelah membaca ini. Tetaplah menjadi Altair yang sama.
Thomson mengetahui bahwa aku masih hidup tapi sengaja menyembunyikannya dari Auriga, dan Aquila. Kini mereka sudah dewasa, kurasa memang sudah waktunya mereka mengetahuinya. Aku sangat merindukan kedua anak itu. Aku tidak akan kembali ke Inggris selamanya jadi tolong jaga kedua orang itu dengan baik. Aku benar-benar percaya padamu. Kalian bertiga adalah kesatuan bagiku, AAA.
Aku jadi ingat alasanku memberi nama Aquila pada gadis kecil itu. Aquila merupakan salah satu rasi bintang dari 88 lainnya. Kau dapat melihatnya dari bumi. Rasi Aquila berada di langit gelap dekat dengan sabuk bima sakti. Aquila digambarkan sebagai elang, dan seekor elang biasanya terbang bebas di angkasa. Burung yang besar, kuat, bebas, dan berani. Dalam mitologi Yunani sendiri Aquila membawa Ganymede terbang ke gunung Olympus. Tak sampai disitu. Elang Aquila juga membawa mengangkut petir Zeus. Sungguh menakjubkan. Rasi Aquila memiliki Altair sebagai bintang yang paling cerah, dan juga bintang Altair terletak paling dekat dengan bumi. Tanpa Altair, Aquila tidak akan indah, aku sangat yakin itu. Bagaimana jika Aquila tidak memiliki Altair-nya? Entahlah. Aku tidak pernah menemukan Aquila tanpa Altair. Bukankah nama Aquila memiliki arti yang sangat indah? Aku tidak berpikir bahwa Aquila benar-benar bertemu dengan Altair. Aku harap kau adalah Altair dari Aquila, gadisku. Because you are the brightest of Aquila.
Aku sudah menulis cukup banyak sepertinya. Semoga penjelasan ini dapat menenangkan dirimu. Tetaplah menjadi Altair. Nikmati harimu!
Dialeni Wahyu
.Aretta
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Mommy 2
Like 🥰
Salam dari
- Terjebak Diantara Dua Hati
- PANGGIL AKU MAS!
Semangat terus dan sehat selalu 🤗
2020-09-12
1
Eka azzahra
maaf baru bisa mampir☺️
Next Thor 🙋
#ArabellaMaheswari
2020-09-12
1