Pasal IX : Tanpa Nama

Aku menyadari satu hal baru kali ini. Setiap sopir keluarga Walsh tidak pernah memperkenalkan diri mereka. Orang-orang itu hanya mengantar keluarga Walsh ke tempat tujuan tanpa mengetahui tujuan tuan mereka. Keluarga Walsh juga tidak tahu nama sopir mereka. Keluarga Walsh hanya perlu jasa mereka tanpa perlu tahu nama mereka. Ini berarti, sopir itu tidak terlalu diperhitungkan. Mereka tidak tahu hal-hal penting, dan rahasia maka dari itu dengan mudahnya mereka mencari sopir. Berbeda dengan pengawal, dan pekerja lainnya. Orang-orang itu tanpa penghormatan. Tanpa diingat. Tanpa nama.

“Mobil SUV hitam mengikuti kita,” ucap sopir yang ada di sebelahku. Aku melirik kaca spion memastikan. Dari kaca depan mobil belakang aku dapat melihat empat orang menggunakan setelan jas rapi. Ini belum berakhir rupanya.

“Apa ada senjata disini?” tanyaku pada sopir di sebelahku.

“Ada revolver di dasbor depan,” jawabnya. Aku membuka dasbor. Ada kotak P3K, tempat kacamata, dokumen, dan sebuah revolver.

“Tak ada peluru tambahan?” tanyaku lagi saat revolver sudah di tanganku.

“Tidak, aku bukan pasukan khusus jadi aku hanya diberi senjata seadanya,” ucap sopir di sebelahku menjelaskan. Aku mengecek isinya. Ada enam slot namun tinggal empat peluru yang tersisa. Aku hanya memiliki empat kesempatan. Seharusnya aku tidak meninggalkan barang-barangku di mobil kemarin.

Aku membuka jendela mengintip mobil di belakang. Mereka ada tepat di belakang, mungkin sekitar dua meter di belakang. Aku mengeluarkan tubuhku menumpukan punggung pada pintu mobil. Kutarik pelatuk sekali. Peluru meluncur mengenai lampu depan mobil. Kemudian kutarik sekali lagi hingga mengenai roda depan. Seketika laju SUV hitam itu oleng kemudian melambat. Aku masuk kembali ke mobil. Aku terus mengamati mobil itu lewat kaca spion hingga mobilku melewati tikungan.

“Apa kita akan ke pelabuhan?” tanyaku saat suasana sudah lebih santai. Sopir di sebelahku hanya mengangguk. Aku mengambil ponsel melaporkan apa yang baru saja terjadi pada Harry.

**Robert Prayanto **

**Ada mobil yang mengikuti\, aku menembak mobil mereka menggunakan revolver yang ada di mobil. **

“Bangunkan aku jika terjadi sesuatu,” perintahku sebelum aku tidur. Kepalaku sudah terlalu pusing untuk tetap terjaga. Sebelum benar-benar tidur, aku menoleh ke belakang memastikan Aquila. Gadis itu terlelap di salah satu sisi kursi.

Aku terbangun sendiri karena suara benturan yang keras. Sopir di sebelahku menatap jalanan di depannya. Aku melihat ke arah yang sama. Di depan terdapat antrian mobil yang tak terlalu panjang jadi truk yang menggelinding di depan dapat terlihat jelas olehku.

“Ada apa?” tanya Aquila dari belakang dengan suara parau.

“Sepertinya kecelakaan,” jawabku kemudian membuka pintu mobil lantas keluar. Aku memasukkan revolver ke celana bagian belakang kemudian berjalan mendekati truk yang menghalangi jalan itu. Beberapa petugas menghalangi siapapun mendekat. Dari jauh aku dapat melihat seorang pria bersimbah darah yang sedang dikeluarkan dari truk itu. Aku bernafas sedikit lega. Ini bukan ulah orang-orang kartel. Aku berjalan kembali ke mobil. Cukup lama kami sudah berhenti. Aquila yang terbangun dari tidurnya menatap keluar mobil melalui jendela.

Aku dapat duduk dengan tenang hingga sebuah mobil SUV silver berhenti di belakang kami. Aku mengecek lewat spion. Mereka orang kartel. Jas yang membalut tubuh mereka sama. Aku tidak mengerti bagaimana orang-orang kartel itu mampu mengejar kami.

“Di belakang kita adalah orang kartel. Apapun yang terjadi, bawa Aquila ke tempat aman,” perintahku berbisik pada sopir. Aku kembali menatap spion, mengamati SUV silver itu. Aku mengambil kembali revolver di dasbor. Tinggal dua peluru. Sopir di sebelahku langsung menancap gas saat truk sudah disingkirkan. Benar saja SUV silver di belakang berusaha mengejar mobil kami. Aku harus segera menyingkirkan mereka. Aku mengamati keadaan sekitar melalui spion. Di belakang terlalu banyak mobil, aku tidak mungkin menembak lagi seperti SUV sebelumnya.

“Kita harus masuk ke kota terdekat untuk mengacaukan mereka,” kataku pada sopir. Laki-laki di sebelahku langsung mengangguk. Setelah setengah jam akhirnya ada palang bertuliskan Amiens terlihat. Berulang kali mobil berbelok. Jalanan terlewat sepi sehingga memudahkan orang kartel itu mengejar mobil kami.

“Berhentilah di perempatan depan, kita bertemu lagi disini dalam setengah jam,” ucapku.

Aku, dan Aquila turun kemudian menghilang ke dalam tempat makan. Aku mengambil tempat duduk yang paling dekat dengan pintu masuk sedangkan Aquila memesan makanan. Orang kartel itu hanya parkir tanpa ada tanda-tanda untuk turun. Akan sulit untuk kabur jika mereka tetap di dalam mobil. Aku mengeluarkan ponselku melihat peta. Seharusnya aku bisa menggunakan pintu belakang kemudian bertemu sopir di sisi lain dari tempat makan ini. Aku bangkit dari kursi kemudian menyusul Aquila.

“Bungkus saja, kita akan keluar lewat pintu belakang,” kataku. Aquila kemudian berkata kepada pelayan yang lagi-lagi dengan bahasa asing. Aku langsung berjalan setelah Aquila menerima kantong plastik yang berisi makanan pesanannya. Aku keluar menggunakan pintu yang berlawanan dengan pintu aku masuk tadi. Benar saja, kini aku berada di sisi lain dari gedung. Aku harap sopir itu belum terlalu jauh.

“Kita diikuti,” bisik Aquila lalu melirik kaca spion salah satu mobil yang terparkir. Benar! Di belakangku kini ada tiga orang berjas hitam. Ini cukup aneh. Mereka terang-terangan mengejar tapi tak sedikitpun berusaha menangkap.

“Apa ini tidak aneh?” tanyaku pada Aquila.

“Apa?” tanyanya balik tidak mengerti.

“Mereka mengejar kita tapi tidak berusaha menangkap,” jelasku.

“Kau membawa pistol! Jika terjadi baku tembak, kartel akan lebih terekspos,” jelas Aquila.

“Lalu kita harus bagaimana?” tanyaku.

“Jangan ke tempat sepi,” jawab Aquila lalu menyeberang jalan. Aquila langsung berlari setelah menyeberang. Aku mengejar langkah Aquila yang kemudian berhenti di mobil kami tadi. Aquila langsung membuka pintu sopir; seorang pria langsung jatuh dengan bersimbah darah. Aquila seketika menjerit dan mundur beberapa langkah. Sialan! Sopir kami dibunuh. Aku segera menarik pergelangan tangan Aquila berlari tanpa arah. Aku mencari gang-gang sempit yang tak memungkinkan dilewati dengan mobil. Sesekali aku mengecek apakah orang kartel masih mengikuti aku atau tidak. Langkahku menuju sebuah toko serba ada kemudian jongkok di balik rak-rak. Aku dapat mendengar nafas terengah Aquila di sebelahku. Tiga orang kartel itu masuk. Aku berdiam beberapa saat kemudian mengendap keluar yang diikuti oleh Aquila. Aku berlari kecil masuk ke gang yang cukup jauh dari toko tadi kemudian berhenti dan bersembunyi di balik bak sampah besar. Nafasku, dan Aquila sama-sama terengah. Aku mendongak sambil memejam untuk menetralkan nafas. Aku menoleh untuk mengecek Aquila. Gadis di sebelahku ini menatap kosong tembok di depannya.

Aku mengambil kantong plastik dari tangannya kemudian mengambil salah satu burger di dalamnya. Pembungkusnya kubuka setengah lalu menyodorkan pada Aquila. Gadis di sebelahku ini hanya menatap burger yang kusodorkan. Merasa tak direspon, aku menyodorkan ke depan mulut Aquila. Gadis itu mulai membuka mulutnya, dan melahap makanan di depannya. Aku bangkit setelah suapan terakhir ke dalam mulutku. Aku membuang bungkus makanan ke dalam tempat sampah di sebelahku.

“Harry menyuruh kita ke pelabuhan secepatnya, kita harus mencari bus untuk kesana,” ucap Aquila. Kali ini tak ada sedikitpun Aquila yang tegas, dan menyebalkan. Raut wajahnya sangat lelah.

“Kau bicara dengan Harry?” tanyaku memastikan.

“Tadi aku mengirim pesan padanya, kita harus tetap ke pelabuhan,” jelas Aquila. Aku mengangguk lalu membiarkan Aquila jalan lebih dulu.

Bus yang menuju Calais tak selalu ada. Aku harus menunggu setidaknya dua jam hingga bus berangkat. Untunglah perjalanan ke Calais sangat lancar. Empat jam aku harus duduk di dalam bus. Aquila terus menatap keluar bus sebelum akhirnya terlelap di sebelahku. Aku tak tahu apakah diriku masih diikuti atau tidak maka dari itu aku tidak membiarkan diriku terlelap.

Setelah perjalanan yang panjang, akhirnya aku bisa naik ke kapal. Untunglah aku datang di jam yang tepat jadi aku tak perlu menunggu kapal datang. Aquila memilih untuk berdiri di dek menikmati udara sore. Aku berdiri berjarak di belakang Aquila. Aku hanya mengamatinya dari jauh. Semua yang terjadi pasti melelahkan, biarkan gadis itu menikmati waktunya sendiri. Pakaian yang kami gunakan masih sama dengan pakaian yang kami kenakan saat meninggalkan rumah Anna. Cukup mengenaskan. Setidaknya setelah ini, semuanya akan kembali seperti biasa, aku harap.

Matahari perlahan dimakan oleh lautan. Langit yang mulai berwarna merah muda dengan jingga di garis laut. Ini sangat indah. Udara sore memainkan rambut pirang keabuan Aquila. Sesekali juga angin menerbangkan poniku yang kemudian mengekspos jidatku. Perjalanan dari Calais menuju Dover memerlukan waktu dua jam. Cukup lama. Aku tiba saat matahari sudah benar-benar tenggelam. Lautan cukup gelap.

“Itu Lyra,” ucap Aquila saat menikmati segelas coklat panas disampingku.

“Itu rasi bintang Lyra,” ucap Aquila lagi. Aku tak membalas; aku hanya menyesap isi gelasku.

“Cantik,” puji Aquila pada rasi bintang.

“Bukankah rasi Aquila lebih bagus?” tanyaku menanggapinya. Aquila terkekeh kemudian meminum kembali isi gelasnya.

Saat turun dari kapal, Harry menyambut kedatangan kami. Dua mobil sudah menunggu di depan kapal. Harry langsung menghampiri kami kemudian langsung memeluk Aquila. Mereka lebih cocok sebagai ayah dan anak. Setelahnya aku naik mobil bersama Harry sedangkan Aquila naik mobil lainnya. Kali ini tak ada sopir. Hanya aku, dan Harry. Pria di akhir umur 40 itu yang mengemudikan mobil.

“Kau tak perlu lagi menulis laporan,” ucap Harry saat di dalam mobil.

“Baiklah,” ucapku kaku.

“Kau akan dipanggil Auriga setelah ini, entah malam ini atau besok,” tambah Harry masih dengan menyetir. Aku mengangguk menanggapinya.

Seperti perkataan Harry, aku dipanggil lagi oleh Auriga hanya saja ini sudah sore. Saat ini aku kembali duduk di sofa perpustakaan persis seperti sebelum-sebelumnya. Matahari sore seakan mengintip dari sela-sela gorden apa yang dua anak manusia ini kerjakan. Lampu di perpustakaan dimatikan sebagian memberi suasana teduh. Auriga duduk di depanku dengan segelas anggur merah. Laki-laki ini kembali dengan sikap saat pertama kali bertemu. Angkuh, dan dingin. Auriga duduk dengan salah satu kaki disilangkan ke atas kaki lainnya.

“Kau sudah bekerja keras minggu ini, terimakasih sudah menjaga adikku,” Auriga membuka suara.

“Saya berusaha melakukan yang terbaik,” balasku sopan.

“Aquila mungkin akan beristirahat beberapa hari, kamu bisa beristirahat juga selagi Aquila hanya di rumah,” Auriga melanjutkan ucapannya. Aku mengangguk kemudian tersenyum sopan. Auriga meletakkan gelasnya ke atas meja kemudian memajukan tubuhnya. Aura mengintimidasi menyeruak keluar dari tatapannya. Bau wewangian menambah aura mengerikan dari dirinya.

“Ah, aku sudah membuat driver licence untukmu, kau bisa menggunakan mobil sendiri tanpa sopir,” Auriga kembali berbicara.

“Terimakasih,” ucapku sopan.

“Bagaimana dengan Chris?” tanya Auriga lagi. Astaga! Aku melupakan itu. Aku belum berbicara dengan Chris sejak hari Chris mengabarkan sopir yang kabur.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!