Pasal VII : Keputusan Lainnya

Entah apa yang terjadi di Aquila Mansion tapi aku yakin itu bukan hal baik. Chris menatapku curiga sejak aku mendapat panggilan. Aku mengabaikan tatapan Chris lalu masuk ke dalam mencari Aquila. Gadis yang kucari sedang duduk di kursi tinggi dengan laptop terbuka di depannya.

“Kau sudah terima pesan dari Harry?” tanya Aquila saat menyadari keberadaanku.

“Saya baru saja akan bertanya pada Anda,” jawabku. Masih dalam keadaan duduk Aquila memutar tubuhnya menghadap padaku. Alisnya bertaut tanda tak suka.

“Berhenti bicara formal, kau sudah bagian dari tim,” ucap Aquila tak suka.

“Baiklah, A,” kataku sedikit kaku kemudian tersenyum --yang juga kaku.

“Sepertinya kita butuh pakaian, siapkan mobil,” perintah Aquila manis. Aku mengangguk lalu pergi. Aku turun ke bawah menuju kamar sopir. Aku mengetuk beberapa kali pintunya. Tak ada jawaban, mungkin dia tertidur. sopir keluarga Walsh selalu berbeda-beda hingga aku selalu lupa nama mereka terlebih mereka tak fasih berbahasa Inggris maupun Indonesia. Aku membuka pintu dan menemukan pria itu terbaring telungkup di lantai. Aku menghampirinya membalik tubuhnya. Sialan! sopir ini diracuni.

“Chris!” teriakku memanggil Chris.

Kini sopir tadi terbaring di UGD rumah sakit terdekat. Chris sedang mengurus administrasi sedangkan Aquila menelpon Aquila Mansion. Dokter menyatakan bahwa pria ini keracunan. Apapun yang terjadi disini, aku yakin pasti ada hubungannya dengan apa yang terjadi Aquila Mansion. Aku menatap sopir ini beberapa saat memikirkan kemungkinan yang dapat terjadi.

Sebuah ponsel yang disodorkan padaku menarik diriku keluar dari pikiranku sendiri. Ini ponsel Aquila. Sebuah gambar, bukan, ini foto. Disana Aquila sedang mengambil gambar Chris dengan Menara Eiffel sedangkan aku berdiri di belakang mereka. Ini bukan hal baik. Aku menatap wajah gadis di depanku. Wajah kakunya menahan marah. Dahinya berkerut tanda tak suka. Aku keluar mencari Chris.

“Kita diikuti,” kataku saat bertemu Chris yang sedang mengurus administrasi.

“Siapa?” tanya Chris namun tetap fokus mengisi lembaran di depannya.

“Entahlah,” jawabku sedikit frustasi. Aku menyisir rambutku ke belakang.

“Aku akan membawa Aquila keluar Perancis, kau tetaplah disini mencari orang yang membuntuti kita,” kataku memutuskan rencana yang harus diambil.

“Kau yakin Aquila menyetujuinya?” tanya Chris sambil menyerahkan lembaran yang sudah terisi ke petugas di depannya.

“Dia harus menyetujuinya,” jawabku lalu pergi kembali ke Aquila.

Kini aku mengemudikan mobil membawa Aquila ke batas utara Perancis. Gadis itu hanya diam di sampingku sedari tadi. Chris akan melaporkan keadaan di Paris setiap ada yang mencurigakan. Aku sendiri sudah mengirimkan pesan pada Harry untuk mencarikan tempat yang aman, hanya saja atasanku itu belum memberi jawaban. Sebuah denting dari ponselku membuyarkan lamunan Aquila. Gadis itu melirik ponsel yang diletakkan begitu saja di atas dasbor.

“Bisa kau membukanya?” pintaku lembut. Gadis itu mengambil ponsel di atas dasbor.

“Ini dari Harry, kau hanya perlu menyeberang menggunakan kapal ferry ke Inggris, Harry mengirimkan orang untuk menjemput kita nanti,” jawab Aquila sambil menatap ponselku. Aku mengangguk menanggapinya.

Perjalanan ke Calais cukup panjang membuat Aquila terlelap di sebelahku. Sepanjang jalan aku hanya melihat bentangan ladang hijau. Tak jarang beberapa hewan ternak menyeberang jalan membuatku perlu lebih waspada. Tidur Aquila mulai terusik saat matahari mulai tenggelam.

“Bisa kita berhenti sebentar? Aku perlu makan,” kata Aquila.

“Baiklah, aku akan mencari kota terdekat,” jawabku.

“Ah, benar! Kita tidak melewati kota,” seru Aquila.

“Anda ingin makan apa?” aku menawarkan.

“Berhentilah bersikap formal,” kata Aquila melirik aku tak suka.

“Kau ingin makan apa, A?” tanyaku lagi dengan bahasa yang lebih santai.

“Berhenti dimanapun tempat makan yang buka,” jawab Aquila.

“Baiklah,” jawabku masih fokus pada jalanan.

Aku tak tahu dimana ini tapi yang pasti ini masih di Perancis. Aku berhenti di sebuah tempat makan. Dari depan dapat terlihat bahwa tempat ini dikelola sebuah keluarga. Sekitarnya masih ladang hijau, hanya ada bangunan ini di sepanjang jalan. Saat masuk ke dalam, ruangan ini sangat nyaman, seperti kembali ke rumah. Aquila pergi ke kasir memesan makanan sedangkan aku duduk di meja. Aku tak mungkin memesan sendiri karena aku tak bisa bahasa Perancis. Sebuah notifikasi masuk ke ponselku. Ini dari Harry.

Harry Tomblor

Jangan kembali sekarang, tetaplah di Perancis. Pergilah dari satu kota ke kota lain setiap hari. Mereka dapat melacak mu.

“Dari Harry?” tanya Aquila saat duduk di depanku.

“Kau juga dapat?” tanyaku balik pada Aquila.

“Akan ada tempat kecil tujuh kilometer dari sini, Breteuil,” kata Aquila tanpa menjawab pertanyaanku. Aku hanya diam. Bagaimana cara orang-orang itu melacak kami? Ponsel kami terlalu canggih untuk dilacak.

“Apa yang kau pikirkan?” tanya Aquila tiba-tiba yang menarik aku dari pikiranku.

“Menurutmu, bagaimana mereka dapat melacak kita?” aku mengajukan isi kepalaku.

“Ah, benar! Entahlah,” jawab Aquila.

“Ponsel kita tidak bisa dilacak kecuali oleh Harry, apa mungkin orang dalam?”

“Sopir itu?”

“Ini sulit,” jawabku frustasi. Aku menyisir rambutku ke belakang menggunakan tangan. Lampu tiba-tiba mati. Sang kasir segera keluar dari tempatnya berkata kalimat yang aku tak mengerti kemudian memberikan lilin ke setiap meja.

“Ini sering terjadi,” kata Aquila saat seorang pelayan meletakkan lilin diatas meja kami. Liontin Aquila memantulkan cahaya lilin membuat mataku silau. Aku bergeser sedikit menghindari pantulan liontin kalung milik Aquila.

“Ini dari Auriga,” kata Aquila mendadak.

“Ha?” kataku kaget.

“Liontin ini dari Auriga,” kata Aquila lagi lalu menatap kalungnya.

“Kau sudah mengatakannya tadi pagi,” jawabku cuek. Dahinya berkerut kemudian. Apakah aku salah bicara? Gadis itu terus menatap liontinnya.

“Ada apa?” tanyaku. Gadis itu menyentuh liontin yang digunakan lalu membalik menunjukan sisi yang tidak kulihat. Ada lampu merah yang berkedip lemah. Kurasa itu alat penyadap. Aku berdiri kemudian ke belakang Aquila. Aku melepas kalung itu kemudian kembali ke kursiku, meletakkan liontin ke atas meja. Aku menempelkan jari telunjuk ke depan bibir menyuruh Aquila untuk tidak bersuara. Tanganku mengambil pisau lipat serbaguna di balik jas. Aku menarik pisau keluar dari benda logam ini. Tangan lainnya kugunakan untuk menahan liontin, dan yang lainnya mencungkil berlian keluar dari tempatnya.

“Lebih baik kita bermalam ke Esquennoy malam ini,” ucap Aquila sambil menatap lekat tanganku yang sedang mencungkil liontinnya. Sepertinya Aquila sedang berusaha mengacaukan informasi yang diterima siapapun dibalik alat penyadap ini.

“Bukankah itu lebih jauh?” tanyaku berusaha mengikuti skenario Aquila.

“Kita bisa tiba disana sebelum tengah malam,” jawab Aquila.

“Baiklah, aku akan mencari hotel dengan ponselku,” ucapku lagi sebelum akhirnya liontin itu terbuka. Benar saja ada alat penyadap di dalam liontin ini. Aku mengambil lempengan hitam kecil itu kemudian mematikannya.

“Untuk apa Auriga melakukan ini?” tanya Aquila.

“Dimana Auriga membeli liontin ini? Apa kau tahu?” aku mengungkapkan isi kepalaku lagi.

“Ah! Pemilik kartel senjata itu!” seru Aquila kemudian menatap mataku dengan binar bahagia.

...

Saat ini aku berkendara menuju Breteuil. Aquila sibuk berbincang dengan Auriga dengan bahasa yang sama sekali aku tak mengerti. Sepertinya gadis itu membicarakan perihal isi liontin yang aku keluarkan tadi. Sedari tadi Aquila berbicara sambil memegangi lalu melirik liontinnya sesekali.

Breteuil tidak seperti Paris. Breteuil lebih kecil. Kota ini tidak semegah Paris. Saat memasuki kota ini, aku tidak perlu waktu lama untuk menemukan bangunan dengan tulisan motel di atasnya. Aku tidak mungkin mencari hotel berbintang di kota ini. Aquila turun lebih dulu kemudian memesan kamar, sedangkan aku pergi mengisi bensin di pom bensin terdekat. Aku turun untuk membayar di minimarket yang ada. Suasana cukup mencurigakan saat aku masuk ke tempat ini. Ada pembeli lainnya disini hanya saja mereka….mencurigakan. Aku pergi ke rak yang dekat dengan orang itu. Ini terlalu larut untuk melihat aksesoris, dan orang itu menatap rak aksesoris sejak aku tiba. Aku berjalan ke rak makanan yang ada di balik rak aksesoris. Aku berjongkok pura-pura melihat rak paling bawah.

“I’m done, the bugging installed in the room,” suara handy talkie milik orang itu. Jadi mereka musuh. Aku mengambil beberapa makanan lalu membawanya ke kasir. Setelah selesai membayar aku segera mengendarai mobil kembali ke motel. Aquila yang berdiri di depan pintu utama segera masuk saat aku berhenti di depannya. Aku segera menancap gas untuk keluar dari kota ini.

“Kau juga melihat salah satu dari mereka?” tanyaku setelah beberapa meter dari motel itu.

“Aku mendengar pembicaraan mereka saat aku berjalan ke resepsionis,” jawab Aquila. Aku menepi kemudian mengambil ponselku.

Robert

Kita harus membahas rencana kita menggunakan pesan

Aquila membuka ponselnya lalu menengok ke arahku. Aslinya dinaikan satu lalu membalas pesanku.

Aquila

Menurutmu mereka masih menyadap kita?

Aku mengangguk mengiyakan maksud Aquila. Jika memang alat penyadap yang dipasang hanya satu seharusnya mereka pergi ke Esquennoy bukan ke Breteuil. Aquila kemudian melepas satu per satu perhiasan yang digunakannya. Anting di kedua telinganya, dua cincin, gelang di tangan kanan juga gelang kakinya. Semua perhiasan mahal itu dibungkus dalam selembar tisu lalu dibuang keluar jendela.

Aquila

Bagaimana jika alat penyadap itu ada di mobil ini?

Robert

Kita harus berjalan kaki

Setelah melihat jawaban terakhirku Aquila melotot. Berjalan kaki memang bukan ide bagus tapi itu satu-satunya jalan menghindari orang kartel yang ingin balas dendam. Aquila lalu membuka pintu, dan turun. Aku mengikutinya berjalan. Kami berdua hanya membawa diri, dompet, dan ponsel.

 

“Kita akan kemana?” tanyaku.

“Entahlah,” jawabnya sambil menaikkan pundak lalu menghembuskan nafas.

“Mengapa mereka mengejar kita?” aku bertanya.

“Papa membuat mereka tertangkap. Papa sengaja membeli senjata secara ilegal untuk mendapatkan informasi setelahnya melaporkan mereka semua. Auriga juga terlibat. Auriga memberi penawaran yang sangat bagus sehingga mereka menghadiahinya kalung itu,” Aquila mulai bercerita bagaimana ini semua terjadi.

“Lalu kita harus seperti ini sampai kapan?” tanyaku lagi.

“Biasanya dua hari saja cukup tapi Auriga tadi berkata bahwa kartel ini sangat besar, Auriga sendiri tidak tahu sampai kapan nyawa kita berdua terancam, mereka lebih cerdik dari kartel lainnya,” jawab Aquila dengan nada pasrah.

“Sebenarnya kita akan kemana?” tanyaku lagi saat menyadari langkah kami mulai memasuki hutan.

“Auriga pernah membeli sebuah tanah di Breteuil, semoga kita menemukan rumah kecil itu,” jawab Aquila santai. Menyusuri hutan di tengah malam bukan ide bagus. Saat ini kami berdua harus tetap berjalan di jalan setapak yang tak menentu arahnya. Jalanan hanya diterangi dengan cahaya dari ponsel. Aku, dan Aquila berjalan dalam diam menunduk ke bawah memastikan kaki kami tidak keluar jalur. Aku pada akhirnya bernapas lega saat melihat cahaya redup dari kejauhan. Sepertinya itu rumah kecil yang dimaksud Aquila. Aquila mengetuk beberapa kali pintu rumah. Aku tak dapat melihat apapun dari sini. Sekitar benar-benar gelap. Seorang wanita tua keluar dari  balik pintu. Beberapa kali wanita itu berkedip.

“Nona Aquila!” seru wanita itu lalu memeluk Aquila hangat. Gadis yang dipeluk itu tersenyum lalu membalas pelukan wanita tua itu.

“Siapa laki-laki ini, Nona?” tanya wanita tua itu.

“Saya Robert, pengawalnya,” aku memperkenalkan diri. Wanita tua itu mengangguk paham. Sepertinya wanita tua ini sangat akrab dengan Aquila.

“Dia adalah istri pengawalku yang pertama, suaminya meninggal saat bertugas, maka dari itu Auriga membeli lahan disini untuk dikerjakan,” kata Aquila saat hanya kami berdua di ruang tamu.

“Dia terlihat sangat baik,” aku berkomentar

“Kau belum menemui anak perempuannya, dia sangat menawan,” kata Aquila lagi sambil tersenyum.

Hari ini aku membuat tiga keputusan sekaligus. Ternyata keputusan lainnya yang aku buat lebih cepat dari yang kukira. Pertama saat aku memutuskan untuk membawa Aquila, dan meninggalkan Chris di Paris. Kedua adalah saat aku memutuskan untuk mengamati lebih dahulu orang mencurigakan di minimarket, dan yang ketiga saat aku memutuskan untuk berjalan kaki mencari tempat bermalam dengan Aquila. Terdengar klise memang tapi bagiku membuat keputusan dalam waktu yang singkat tanpa mempertimbangkannya dengan orang lain adalah hal yang hebat. Mengapa? Karena aku baru melakukannya sekali sebelumnya.

Kau tahu hal-hal yang menurutmu sepele terkadang menjadi adalah hal besar bagi orang lain. Kau tidak perlu benar-benar merasakannya. Cukup menjadi penonton, dan tersenyum melihatnya. Itu lebih berharga.

Terpopuler

Comments

Mei Shin Manalu

Mei Shin Manalu

Biar makin semangat aku ksih 8 like untuk Author ♥️... Semoga tulisannya dpt diterima pembaca ya...

Mmpir juga ke novelku yaa... Aku tunggu feedbacknya... Danke 😊

2020-08-12

1

⃟nyingッ

⃟nyingッ

Lanjut Thor

2020-08-11

1

Eka azzahra

Eka azzahra

di tunggu updatenya 😊
netx🔥🔥

2020-08-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!