Pasal XVI - Ada Sesuatu di Jogja

Jogjakarta. Aku tak pernah berpikir akan kembali menginjakkan kaki di kota ini lagi setelah hari keberangkatanku ke Korea, apalagi setelah kejadian kebakaran itu. Tempat ini tak jauh berbeda dari terakhir kali aku melihatnya, hanya beberapa bangunan tinggi yang menambah isi kota. Aku selalu kesal dengan matahari terik yang membakarku setiap siang tapi entah mengapa kini aku sangat menyukainya. Jogja akan selalu menjadi tempat yang membekas untukku.

Auriga tak membuang waktu setelah menemukan petunjuk selanjutnya. Maka disinilah aku kini. Jogjakarta. Aku memang besar di Jogja tapi aku tak pernah ke pantai ini sekalipun. Auriga sedari tadi mengamati ombak yang berlomba-lomba memakan pasir hitam di depannya. Aku tak tahu apa yang dicari pria itu. Aku juga tak tahu apa yang harus dicari. Petunjuknya hanya pantai ini.

Air yang mulai berjatuhan dari langit tidak membuat Auriga bergerak dari tempatnya. Aku mengambil payung hitam dari dalam mobil kemudian menghampiri Auriga. Pria yang bersebelahan denganku kini sama sekali tak bergerak. Tatapan kosongnya lurus ke depan menatap sendu lautan yang semakin mengerikan. Auriga mengambil alih payung.

“Pergilah, kamu off hari ini,” perintah Auriga. Aku terdiam di tempatku bingung. Aku diliburkan? Kemudian Auriga menyodorkan sebuah kartu.

“Pakai uang yang ada disini,” tambah Auriga kemudian berjalan ke rumah pantai yang ada sedari tadi memandangi kami meninggalkan aku sendirian di tengah hujan. Ini seperti adegan di film-film romantis dimana seorang kekasih minta putus, sungguh menyedihkan.

Air yang turun mulai membasahi tubuhku. Kakiku melangkah menjauhi bibir laut perlahan. Segera aku menuju jalan besar kemudian menaiki taksi pertama yang melintas. Tubuhku sudah terlanjur basa kuyup saat masuk ke taksi. Aku melepas jas yang basah karena hujan. Udara dingin mulai membuatku menggigil. Mobil mulai berjalan membelah derasnya hujan siang ini.

Sopir menghentikan lajunya di sebuah toko pakaian. Setelah membayar, aku segera turun lalu melangkah masuk ke toko. Butik pakaian pria. Aku jarang membeli pakaian tapi kali ini aku perlu membeli karena aku tak membawa apapun. Seorang wanita menyambutku saat aku masuk ke butik ini. Segera aku melangkah ke bagian pakaian kasual. Detail pakaian-pakaian yang dipajang sungguh mempesona. Seperti hoodie abu yang kupegang saat ini, ada kantong tambahan yang tidak terlihat di dalamnya. Cukup unik.

Aku langsung menggunakan pakaian yang kubeli -mengingat seluruh pakaianku basah. Hoodie abu dengan bawahan celana denim hitam. Aku berjalan menyusuri pertokoan hingga mencapai penginapan kecil di ujung pertokoan. Aku tak perlu tempat menginap yang terlalu mewah, asalkan aku bisa tidur, kurasa itu sudah cukup.

Suhu ruangan terasa lebih dingin dari seharusnya, aku membiarkan tubuhku merasakan kasur untuk sesaat sebelum aku ditarik ke dunia nyata lagi. Mataku terpejam dengan pikiran yang berkeliaran tanpa ujung. Misteri Nyonya Aretta memang sangat rumit. Aku tak mengerti bagaimana awalnya hingga aku terjebak dalam misteri keluarga Walsh. Lebih baik aku membereskan pakaianku.

Pakaian tadi aku keluarga dari paper bag-nya kemudian aku mulai melepas label harganya. Desain label harga ini cukup elegan. Aku baru tahu ada merek lokal ini. AAA, galaksi pakaian milikmu. Aku mengumpulkan kertas-kertas tebal itu lalu membuangnya ke tempat sampah. Setelahnya aku melempar tubuh ke atas kasur menikmati cuaca dingin kota Yogyakarta. Aku menoleh memandang kaca yang menampilkan air yang berjatuhan dari langit. Di luar pasti masih dingin. Aku memejamkan mata yang kemudian dininabobokan oleh suara air yang menetes dari atas.

Mengingat masa lalu bukan hal yang salah, jadi disinilah aku kini, panti asuhan yang merawatku selama dua tahun. Tidak banyak yang berubah dari tempat ini. Bangunan lama yang masih kokoh dengan perawatan yang seadanya. Ini bukan panti asuhan besar dengan donatur yang gila-gilaan. Hanya panti asuhan kecil dengan fasilitas seadanya. Anak-anak kecil berlarian dengan riang di halaman depan yang rimbun. Beberapa remaja terlihat menjemur pakaian di sisi lain bangunan.

Seorang wanita di akhir lima puluh menghampiriku dengan senyum lebar. Dia Tante Cia. Beliau sudah aku anggap keluarga sendiri. Pancaran matanya masih sama seperti hari pertama aku datang kesini. Tante Cia lantas memelukku erat. Aku tertawa sambil balik memeluknya. Wanita ini kemudian menggandengku untuk masuk ke bangunan. Tempat inilah yang menjadi saksi hari-hari kelam yang aku lewati. Untunglah Mama, dan Papa datang menjadikanku orang yang lebih baik. Aku kembali menerawang hari-hari yang pernah aku lewati itu.

Seorang anak laki-laki duduk di ujung ruangan bersama boneka panda kecil dengan tatapan tak tenang. Cia, pengurus tempat itu mendatanginya lalu mengajaknya ke taman depan dimana anak-anak berlarian riang. Anak laki-laki itu terus bersembunyi dibalik tubuh Cia. Menyadari ketakutan bocah kecil ini, Cia berjongkok sehingga tubuh mereka setara. Anak laki-laki menunduk saat berhadapan dengan Cia. Pengurus tempat itu pun tersenyum kemudian mengelus kepala anak laki-laki di depannya. 

Hari-hari pertama terus seperti itu. Saat yang lainnya bermain, anak laki-laki itu akan duduk di kursi dengan boneka panda miliknya. Rupanya itu tak ditakdirkan untuk selamanya. Seiring berjalannya hari, anak laki-laki itu mulai terbiasa dengan lingkungan barunya. Seakan beban yang di pundaknya telah terangkat, tawa anak itu kembali mengisi awan-awan. Kakinya berlarian di taman depan bersama anak lainnya. 

Dua tahun dengan mudahnya berlalu, anak laki-laki itu menjadi seperti anak lainnya. Berlarian di taman dengan riang seperti hari-hari sebelumnya. Ini akan menjadi kali terakhirnya berlarian di tempat ini karena siang ini, anak laki-laki itu akan memiliki keluarga baru. 

Terdengar membingungkan memang. Biar aku menjelaskannya. Anak laki-laki itu, Robert, akan segera mendapat nama baru di belakangnya. Dua tahun yang lalu, anak laki-laki itu datang dengan trauma karena melihat kedua orang tua kandungnya dibunuh. Kini, Robert akan mendapat keluarga baru, dan memulai semuanya dari awal. 

Ruangan tempat aku duduk saat ini masih sama. Ada sofa kecil berwarna coklat muda. Dindingnya bahkan seakan tak memudar. Tempat ini benar-benar membuatku bernostalgia. Tante Cia kembali dengan sebuah cangkir di masing-masing tangannya. Senyum di wajahnya tak pernah lepas sejak melihatku di gerbang. Wanita ini tetap cantik seakan tak menua.

“Tante kira kamu nggak bakal kembali lagi kesini,” ujar Tante Cia sambil menepuk pahaku pelan. Aku hanya tersenyum menanggapinya.

“Yona sama Kenan?” tanya Tante Cia lagi. Yona, dan Kenan ada orang tua angkatku yang meninggal di Korea di hari kelulusanku. Aku menunduk sambil menarik napas berat.

“Mereka meninggal di Korea,” ucapku berat. “Kebakaran,” tambahku lebih berat lagi. Wajah Tante Cia langsung berubah setelah mendengarnya. Tante Cia menepuk pundakku berusaha memberi kekuatan. Aku tersenyum lemah kepada Tante Cia. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Dahiku mengkerut saat melihat kardus yang tersusun rapi di ujung ruangan. Di kardus itu terdapat logo yang sangat familiar di mataku. Itu logo pakaian yang aku kenakan tadi.

“Sepertinya pemilik brand itu sangat baik,” ucapku sambil menunjuk kardus-kardus itu.

“Ah, kami adalah teman baik, sepertinya Yona juga kenal seingatku.” Tante Cia berusaha mengingat. Aku tersenyum lalu menunduk memikirkan percakapan apa yang seharusnya terjadi.

“Jadi sekarang kamu kerja apa?” tanya Tante Cia lagi.

“Pengawal,” jawabku sedikit malu.

“Bukannya kamu ambil kuliah di Korea?”

“Habis lulus aku ambil sekolah pengawal,” aku menjelaskan. Tante Cia mengangguk-angguk menanggapi.

“Kamu disini sampai kapan?”

“Tergantung atasanku,” jawabku seadanya. Aku benar-benar tak tahu sampai kapan aku akan disini. Jika Auriga memerintahkan untuk kembali ke Inggris malam ini, maka aku akan pulang.

Tak banyak yang aku bicarakan dengan Tante Cia tadi. Aku pamit setelah matahari tenggelam. Mungkin ini saat yang baik untuk menjelajahi Jogja di malam hari. Malioboro. Salah satu destinasi wajib saat kau pergi ke Jogja.

Malioboro masih sama seperti dulu. Jalanan padat dengan manusia. Para pedagang dengan gencar menawarkan barang-barang dagangan mereka. Aku tak tertarik untuk membeli apapun, aku hanya ingin merasakan suasana ini. Sudah lama rasanya aku tak menikmati suasana khas Indonesia ini. Dipayungi oleh awan hitam di atas sana, tempat ini semakin ramai.

Setelah melewati jalanan yang penuh, dan sesak, aku memutuskan untuk berdiam diri di kafe kecil yang masih di kawasan Malioboro. Aku memilih untuk duduk di dekat jendela yang menampilkan jalanan malam Jogja itu. Aku ditemani secangkir kopi hangat serta roti yang terlihat sangat lembut. Jogja selalu meninggalkan sesuatu bagiku. Selalu ada sesuatu di Jogja. Ponselku berdering. Nama Auriga terpampang jelas. Aku menekan ponselku, menerima panggilan itu.

“Carilah informasi tentang merek AAA,” ucap suara di seberang sana lalu langsung menutupnya. Aku menurunkan ponsel dari telingaku perlahan. Seakan baru tersadar tentang detail kecil yang tidak aku hiraukan sejak datang ke Jogja.

Hoodie dengan detail yang unik. Seharusnya aku menyadarinya. Detail pakaian Aquila, dan Aretta. Keduanya memiliki detail kantong yang unik, seharusnya aku menyadari itu. Merek pakaian. Apa mungkin ini singkatan ketiga nama? Aretta, Aquila, dan Auriga. Bagaimana aku tidak menyadari ini? Aku merasa bodoh seketika. Pikiranku terbutakan dengan hari libur yang indah. Aku tertarik kepada kenyataan bahwa aku kesini bukan sekedar liburan.

Aku bangkit dari tempat nyaman ini kembali ke Panti Asuhan. Tante Cia mengenal pemilik merek AAA dengan baik bukan? Aku rasa itu akan sangat membantuku. Bangunan sudah tertutup saat aku kembali. Hanya beberapa lampu yang menyala. Tante Cia duduk di teras bangunan sambil membaca buku dalam diam. Aku perlahan berjalan mendekati beliau. Menyadari kehadiranku, Tante Cia mendongak lalu tersenyum. Aku membalas senyumannya.

“Maaf, Tante, malam-malam ganggu,” ucapku tak enak. Tante Cia tetap tersenyum lalu menepuk tempat kosong di sebelahnya memintaku untuk duduk. Aku kemudian duduk di sebelah Tante Cia.

“Apa yang bisa Tante bantu?” tanya wanita ini ramah.

“Aku perlu ketemu sama pemilik brand AAA,” ucapku semakin tak enak.

“Tunggu, kamu bekerja untuk anak Walsh?” tanya Tante Cia sedikit terkejut. Aku mengangguk sambil menatap wajah Tante Cia.

“Sebuah kebetulan yang tidak Tante pikirkan sebelumnya,” ucap Tante Cia yang semakin menimbulkan pertanyaan di benakku.

“Dulu Aretta yang bawa kamu kesini.” Tante Cia mulai bercerita seakan mengingat masa lalu. “Aretta sebenarnya ingin adopsi kamu tapi Thomson terlalu angkuh untuk memiliki anak orang lain, jadi dia bawa kamu kesini kemudian merekomendasikan Yona buat adopsi kamu,” ucap Tante Cia melanjutkan ceritanya.

Aku tak pernah mengetahui bahwa Aretta ingin mengadopsiku dulu. Tapi aku bersyukur Thomson melarang Aretta karena jika Aretta mengadopsiku dulu, aku tak akan bisa memiliki Aquila sama sekali. Percayalah alasanku mengikuti langkah Auriga tidak semata-mata karena aku bekerja untuknya. Ada sebuah titik dimana aku menyadari bahwa aku melakukan ini untuk Aquila juga.

Lagi dan lagi. Jogja selalu memiliki kenangan untukku. Jogja selalu memberikan kenangan tersendiri yang membentuk diriku.  Kali ini Jogja memberikan misteri yang perlu aku pecahkan. Mungkin bukan seluruhnya menjadi bebanku untuk memecahkan misteri itu tapi aku pasti mengambil bagian untuk memecahkannya. Selalu ada sesuatu di Jogja.

Terpopuler

Comments

Mommy 2

Mommy 2

Like 😍
semangat 🤗🤗

2020-09-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!