Aku masih duduk di sofa dengan Chris saat Aquila terbangun tengah malam. Chris tertidur di sebelahku saat itu terjadi. Aquila menggerak-gerakkan tangannya kemudian menyalakan lampu di atas nakas. Dirinya membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Aku bangkit dari sofa.
“Anda perlu bantuan?” aku menawarkan bantuan. Aquila terdiam beberapa saat memandangku.
“Aku lapar,” jawabnya dengan suara parau nyaris tak terdengar.
“Ada yang ingin Anda makan, akan saya carikan,” aku menawarkan bantuan lagi.
“Entahlah, ini sudah tengah malam,” jawab Aquila lalu menghembuskan nafas.
“Buatkan apa saja yang ada di dapur,” ucap Aquila lagi setelahnya. Aku mengangguk lalu pergi ke dapur.
Aku sengaja membuat daput tak terlalu terang. Hanya cahaya kuning di atas kompor serta cahaya dari luar yang masuk lewat kaca. Aku tak punya banyak pilihan untuk dimasak saat ini. Aku akan membuat roti bakar dengan isian coklat. Aquila berjalan perlahan memasuki dapur saat aku mulai membakar roti di atas pan. Gadis itu masih lemas saat mencoba duduk di atas kursi tinggi.
“Perlu saya bantu?” aku menawarkan bantuan lagi. Aquila menatapku sesaat lalu mengangguk. Aku berdiri di sebelahnya lalu memegang tangannya membantunya duduk dengan benar di atas kursi tinggi. Setelah itu aku kembali memanggang roti.
“Mengapa kau memilih menjadi pengawal?” tanya Aquila tiba-tiba memecah kesunyian. Aku hanya terdiam, tertunduk, memikirkan jawaban yang tepat. Cukup sulit mengatakan perihal orang tua yang meninggal dalam kecelakaan tragis ke orang lain. Itu seakan membuka luka lama.
“Jika itu terlalu pribadi, tak perlu kau katakan.” kata Aquila lagi.
“Orang tua saya meninggal di sebuah kebakaran.” kataku lalu tersenyum tipis. Tak menyakitkan seperti yang aku kira.
“Apa impianmu sebelumnya?” tanya Aquila lagi berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Saya tidak memilikinya,” jawabku. Itu benar. Masuk sekolah seni bukan sepenuhnya keinginanku. Ada campur tangan ibuku di dalamnya.
“Aku melihat resume milikmu, kau pergi ke sekolah seni di Korea. Kau ingin jadi idol?”
“Tidak,” jawabku sekali lagi. Aquila menatapku sesaat. Bukan tatapan sinis seperti biasanya. Ini tatapan sendu namun tetap tegas.
“Apa masuk ke sekolah pengawal merupakan keputusan pertama yang kau buat?” tanya Aquila dengan nada berhati-hati. Pertanyaan Aquila seakan menohok diriku. Aku terbangun dari duniaku yang sepi. Aquila benar. Tanpa sadar aku tersenyum tipis lalu air mata mulai mengalir ke pipiku. Walau cahaya di sini remang-remang, aku yakin Aquila tetap dapat melihatku dengan jelas. Aku menyelesaikan roti bakar Aquila lalu memberikan padanya. Gadis itu tertegun melihatku. Aku berbalik hendak kembali ke kamarku di lantai bawah.
“Tetaplah disini!” tutur Aquila lembut.
“Aku tidak suka makan sendirian,” kata Aquila lagi. Aku berbalik kemudian berdiri di samping meja tempat Aquila makan. Gadis itu perlahan memakan roti di piringnya.
“Ambilah anggur di kabinet itu!” perintah Aquila. Aku mengangguk kemudian mengambil salah satu anggur di kabinet atas dapur. Aku membuka untuknya lalu menuangkannya ke gelas.
“Ambil gelas satu lagi! Temani aku minum!” perintah Aquila lagi. Aku mengambil gelas satu lagi kemudian menuang anggur ke gelas itu. Aku memberikan gelas di tangan kanan pada Aquila. Gadis itu menerima lalu mendentingkan gelas itu pada gelasku kemudian mengangkatnya lantas menyesapnya. Aku ikut mengangkat gelas itu lalu menyesapnya sedikit.
“Mulai sekarang abaikan larangan dalam kontrakmu, itu perintah!” kata Aquila tegas. Aku mengerjap beberapa kali meyakinkan diriku bahwa ini nyata.
…
Sekarang aku berbaring di kasur. Aku memikirkan perkataan Aquila tadi. Baru saja aku menyelesaikan laporanku. Aku menuliskan juga perkataan Aquila tadi. Aku tak pernah membayangkan menjadi pengawal akan serumit ini. Aku tak sepenuhnya menyesali itu, aku hanya memikirkan apakah keputusanku hari itu benar atau tidak. Perkataan Aquila terlalu benar untuk aku hindari. Aku baru sekali membuat keputusan dalam hidupku. Aku memejamkan mata berusaha untuk tidur.
Jam sudah menunjukan pukul tujuh saat aku bangun. Matahari mengintip dari sela-sela jendela. Aku bergegas bangun lalu ke kamar mandi. Segera aku mengenakan setelan jas kemudian keluar kamar. Aquila sudah duduk di meja yang semalam. Chris berada di depannya memasak sarapan. Aquila sendiri menggunakan laptop entah apa yang dikerjakannya. Saat menyadari kehadiranku, Aquila mendongak.
“Ganti baju mu, gunakan baju casual!” perintah Aquila kemudian kembali ke laptopnya. Aku kembali ke kamar lagi mengganti setelan jas dengan kaos putih, dan celana selutut. Aquila sedang makan saat aku kembali. Chris berada di sebelahnya menikmati makanan yang sama. Aquila melirik lalu menunjuk kursi di sebelahnya dengan dagu. Aku berjalan ke kursi yang dimaksud Aquila lalu duduk. Aku memakan isi piring yang ada di hadapanku perlahan.
“Apa kalung ini cocok untukku?” tanya Aquila pada Chris.
“Kalung dari Auriga?” tanya Chris balik pada Aquila.
“Eh-em,” jawab Aquila sambil mengunyah makanannya.
“Itu sangat cocok untukmu,” jawab Aquila sambil melirik kalung Aquila. Pandanganku ikut pada kalung itu. Liontinnya menggambarkan elang. Warna emas yang menyatu dengan berlian. Terlihat sangat mewah. Cocok untuk Aquila.
“Kau sudah selesai makan, Chris?” tanya Aquila melihat Chris mulai mengangkat piring kosong ke bak cucian.
“Sudah, nona,” jawab Chris sopan sambil tersenyum tipis.
“Bacakan jadwalku hari ini,” perintah Aquila yang diangguki oleh Chris
“Tolong jangan panggil aku nona lagi, kau juga R! Aku lebih muda dari kalian!” protes Aquila dengan sedikit merajuk. Tidak ada Aquila yang angkuh, dan sangar.
“Baiklah, A (dibaca : ei), biar aku bacakan jadwalmu hari ini,” kata Chris lagi sambil tersenyum geli. Setelah meletakkan piring kotor di tempatnya, Chris mengambil ponsel dari sakunya lalu membacakan jadwal temu Aquila hari ini.
…
Jadwal pertama hari ini adalah bertemu dengan pemilik perusahaan teknologi. Sebuah rumah makanan tiongkok menjadi tempat bertemu. Aku berada di ruangan yang sama dengan Aquila, dan pengembang teknologi itu jadi aku dapat mendengar perkataan mereka dengan jelas namun tak satu kata pun aku dapat mengerti. Cukup membosankan hanya duduk menunggu orang lain. Chris duduk di depanku dengan tenang. Aku dapat melihat dari tatapannya bahwa Chris menyimak pembicaraan kedua orang yang berbeda meja itu.
“Apa yang mereka bicarakan?” tanyaku tanpa basa-basi. Chris sedikit terkejut lalu menatapku.
“Tentang ruang dengan teknologi tertinggi, sepertinya A akan membuat Little Namja,” jawab Chris berbisik lalu kembali fokus menyimak pembicaraan lagi.
“Aku tak mengerti yang mereka bicarakan tapi kurasa A hanya ingin mencari tahu sandi Little Namja,” kataku menyampaikan pendapat.
“Lalu untuk apa A bertanya soal cara membangun, dan biaya?” tanya Chris tak terima sedikit merendahkan.
“Untuk mengetahui detail dari ruangan itu, basa-basi diperlukan,” ucapku tak mau kalah. Chris tak membalas ucapanku. Dirinya kemudian diam kembali menyimak pembicaraan meja sebelah.
“Apa kau pergi kemarin ada sangkut pautnya dengan Little Namja?” tanya Chris.
“Sedikit tapi lebih banyak mengenai Nyonya Walsh,” jawabku santai.
“Kau tak pernah bertemu dengannya tapi memanggilnya nyonya,” Chris berkomentar.
“Apa kau tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan ibu mereka?” tanyaku lagi.
“Tidak ada yang benar-benar tahu,” jawab Chris lalu diam menatap ke meja.
“Hanya Hedrig Melton yang tahu,” tambah Chris sambil menatap dalam mataku.
Setelah setidaknya dua jam di dalam restoran tiongkok itu, akhirnya Aquila selesai. Saat ini gadis itu berjalan-jalan di tepi sungai Seine. Paris dengan udara musim panasnya merupakan perpaduan yang tepat. Aquila beberapa kali berhenti untuk mengambil foto dengan kameranya setelahnya mengamati layar kecil dengan satu dua kali tersenyum. Kepribadian itu lebih cocok untuk Aquila ketimbang sosok yang angkuh. Berbeda dengan Aquila, Chris tampak sendu. Sorot matanya kosong menatap sungai Seine.
“Chris!” panggil Aquila dari jarak yang cukup jauh. Chris menengok ke Aquila. Wajahnya langsung berubah cerah dengan senyuman lemah di bibirnya. Chris berlari kecil menghampiri Aquila. Sekarang Chris memotret Aquila dengan pemandangan Menara Eiffel.
“Kau tak mau berfoto dengan Eiffel? Kau bahkan juga tak berfoto dua tahun yang lalu saat kemari. Kau harus berfoto! Ayo! Aku akan memotret!” seru Aquila seperti gadis pada umumnya. Chris pernah kemari dua tahun yang lalu. Apa itu penyebab tatapan kosongnya? Entahlah. Hanya dirinya yang tahu.
Hari ini aku tak melakukan apapun lagi. Tak ada jadwal apapun lagi setelah menara Eiffel. Saat ini Chris dan Aquila berada di rooftop sedangkan aku sendiri di kamar meneliti foto-foto yang belum sempat aku lihat kemarin. Di depanku ada dua laptop. Yang satu milik Aquila, gadis itu memintaku memindahkan foto dari kamera ke laptopnya. Laptop lainnya adalah milikku.
Sebuah foto menarik perhatianku. Itu adalah foto seminggu yang lalu dimana aku, dan Auriga naik ke kapal pesiar untuk berangkat ke Amerika. Lyan Andrea akan menemui Auriga di tengah laut. Untuk apa mengikuti Auriga? Siapa yang menjadi targetnya? Sepertinya semua keluarga Walsh. Itu tandanya Andrea, dan Walsh memang bermusuhan. Mereka akan saling menusuk. Terlihat berteman di depan, dan menusuk di belakang.
Sebuah denting mengalihkan pandanganku. Itu berasal dari laptop Aquila. Sudah selesai rupanya. Aku mengambil kartu memori kemudian mematikan laptop Aquila. Aku keluar kamar sambil membawa laptop milik Aquila. Aku berjalan ke rooftop untuk menemui dua perempuan itu. Aku dapat mendengar pembicaraan keduanya dari tangga menuju rooftop. Aku diam sesaat sebelum membuka pintu. Aku mencoba memperjelas pendengaranku.
“....apa kau yakin itu keputusan terbaik?” ini suara Chris. Entah apa yang dikatakan sebelumnya, aku tak mampu mendengarnya dengan jelas.
“Dia memiliki kemampuan yang luar biasa,” ini suara Aquila.
“Aku juga berpikir begitu,” kata Chris membenarkan ucapan Aquila.
“R….dia berbeda,” kata Aquila berkata dengan nada kosong.
“Bagaimana jika R mengecewakan?” tanya Chris.
“Berarti kita salah,” jawab Aquila ringan lalu terkekeh kecil. Chris ikut terkekeh setelahnya.
“Apapun keputusannya tiga bulan nanti, kita harus menghormatinya. Itu keputusannya,” kata Aquila lagi.
“Baiklah, dia bagian dari kita sekarang,” kata Chris menyimpulkan. Aku masuk beberapa saat setelah pembicaraan keduanya selesai. Aku menyodorkan laptop pada Aquila yang diterima olehnya kemudian. Aku segera berbalik hendak kembali ke lantai bawah.
“R!” panggil Aquila. Aku menengok menanggapi panggilannya.
“Duduklah!” perintah Aquila sambil menunjuk kuris kosong di depannya. Aku berbalik kemudian duduk di kursi yang ditunjuk Aquila.
“Aku yakin kau pasti menyadari bahwa pekerjaanmu bukan sekedar pengawal bukan?” tanya Aquila. Aku mengangguk menanggapinya.
“Saat masa percobaan tiga bulanmu selesai, kau pasti akan ditawarkan akan bekerja untukku atau Auriga untuk sembilan bulan setelahnya,” kata Aquila.
“Lalu?” aku
“Aku harap kau memilih untuk bekerja untukku tapi aku menghormati setiap keputusanmu nantinya, kau harus mulai memikirkannya,” lanjut Aquila. Aku mengangguk mengerti. Setelahnya Aquila turun ke bawah meninggalkan aku, dan Chris. Aku menatap menara Eiffel cukup lama. Udara di atas sini cukup sejuk membuat siapapun betah berlama-lama.
“Aku harap kau memilih Aquila tiga bulan lagi,” ucap Chris membuka percakapan. Aku tersenyum lalu mendengus.
“Mengapa?” aku cukup penasaran dengan alasan Chris mengatakan itu.
“Aku tidak sekuat, dan secerdik dirimu,” jawab Chris lalu tersenyum.
“Apapun keputusanku nanti, aku akan berakhir memecahkan misteri Nyonya Walsh, dan sandi Little Namja,” aku berkata pada langit. Chris tertawa mendengar itu.
“Kau benar, kita harus memecahkan itu, aku lebih cocok dipanggil detektif ketimbang pengawal,” komentar Chris. Kini aku yang tersenyum. Ponselku berdering. Aku melihat siapa penelponnya. Ini dari Harry Tomblor, kepala pengawal Aquila Mansion. Panggilannya mati saat aku hendak mengangkatnya. Notifikasi lain muncul. Ini pesan singkat dari Harry. Aku membukanya
Harry Tomblor
Jangan kembali ke Aquila Mansion untuk sementara waktu, tetaplah di Paris.
…
Apapun keputusanku nanti aku akan tetap berakhir harus memecahkan dua hal tadi. Chris benar, kita berdua lebih cocok disebut detektif ketimbang pengawal. Tiga bulan lagi aku akan membuat keputusan kedua dalam hidupku. Atau mungkin aku akan membuat keputusan kedua sebelum hari itu datang. Aquila sudah membebaskan diriku dari larangan di kontrak bukan? Aku harap apapun itu nanti, akan menghasilkan yang terbaik. Aku rasa Aquila mulai membuka pintu. Ini pertanda baik kurasa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Mommy 2
aku mampir lagi
2020-08-18
1
Mei Shin Manalu
Like lagi...
2020-08-12
1
Eka azzahra
Arabella Maheswari hadir Thor😁🙋
semangat yah😘di tunggu updatenya 😊👍
2020-08-07
1