Sedikit tentang yang sedang diselidiki. Aku bekerja disini bukan untuk menyelidiki hal-hal seperti ini pada awalnya tapi seiring berjalannya waktu aku menjadi seorang detektif pribadi. Tak masalah, toh, aku menikmatinya. Ini analisis yang kubuat. Aku menggambarkan Little Namja adalah jembatan untuk teka-teki Sriwahyuni Aretta. Saat jembatan ini sudah ditemukan seharusnya jalan menuju Sriwahyuni Aretta lebih mudah. Mantan Nyonya Walsh itu pasti masih hidup, aku sangat yakin itu. Semuanya terlalu tertata untuk dijalankan oleh orang suruhan. Aku memang tidak tahu jalannya akan seperti apa setelah menyeberangi jembatan tapi aku yakin ini adalah petunjuk awalnya.
“Hanya seperti itu,” ucap Visil kesal. Headset yang menempel di kepalaku memutar suara Lyan Andrea yang bergumam tak jelas dengan nada yang sama. Ini benar-benar menyebalkan. Lyan Andrea hanya menyanyikan nada-nada tak jelas. Aku kembali memutar rekaman yang didapat.
“Ting ting ting ting ting ting ting,” itu adalah bunyi berapa kali Lyan menekan password. Ini tandanya ada tujuh angka. Yang benar saja! Tidak mungkin aku mencoba satu per satu. Tujuh angka saja cukup aneh. Biasanya password menggunakan enam atau delapan angka. Mengapa ini tujuh?! Aku menyisir rambutku dengan jari karena frustasi. Kepalaku terasa sakit hanya dengan memikirkan ini. Aku butuh udara segar.
Langkahku seakan berjalan sendiri menuju rooftop. Nada nyanyian Lyan Andrea terus menggema di kepalaku. Ini benar-benar menyebalkan. Aku berdiri di tengah rooftop sambil memejamkan mata menikmati udara malam musim gugur yang berhembus. Saat aku kembali membuka mata, langit di atas gelap tanpa bintang. Bau air mulai menguasai indra penciumanku. Sepertinya akan turun hujan malam ini. Malam ini laut di sekitar pulau juga tak bersahabat sama sekali. Gelombang tinggi berlomba-lomba untuk mencapai bibir pulau. Aku menengadahkan kepalaku menghirup banyak-banyak udara.
“Apa kau menyesal sekarang?” sebuah suara mengagetkanku. Aku segera menoleh, dan menemukan Aquila disampingku. Wajahnya pucat tanpa riasan. Aku tak menjawab pertanyaan gadis itu.
“Hem? Kau menyesal karena memilih Auriga?” tanya Aquila lagi. Aku melempar pandang ke lautan lepas. Ucapan Aquila menyentil sedikit akal sehatku. Apa aku menyesal?
“Aku masih menerimamu jika kau ingin kembali,” ucap Aquila lembut.
“Tapi sebisa mungkin jangan menyesalinya,” ucap Aquila lagi. Aku menoleh padanya, menatap wajahnya yang pucat. Matanya bersinar lebih cerah dari biasanya. Pasti hari-hari yang dijalaninya akhir-akhir ini sedang baik.
“Jika kau menyesal, keputusanmu akan terasa salah. Kau baru belajar mengambil keputusan, aku tidak ingin kau berpikir bahwa keputusanmu salah, tidak ada keputusan yang salah, hanya jalan untuk menuju hasilnya sedang yang berat,” lanjut Aquila lalu tersenyum. Senyuman itu sangat manis. Aku belum pernah melihat senyuman itu sebelumnya. Aku ikut tersenyum, bukan karena Aquila tersenyum tapi karena ucapannya. Aquila benar. Keputusan tak pernah salah. Jalan menuju hasilnya sedang berat. Keputusan terasa salah jika aku berhenti di tengah jalan yang berat. Maka dari itu aku tidak boleh berhenti.
“Kau suka lagu London Bridge?” tanya Aquila lagi tiba-tiba.
“Aku tidak tahu lagu itu, aku baru tahu ada judul lagu seperti itu bahkan” jawabku jujur. Aku memang baru tahu ada judul lagu seperti itu.
“London Bridge is falling down,” Aquila bernyanyi. Tunggu nadanya seperti nyanyian itu. Aku menoleh, menatap Aquila dengan dahi berkerut.
“Kau tidak tahu lagu itu? Mengapa dari tadi menyanyikan nadanya?” tanya Aquila terlihat kesal. Aku menatap Aquila lama. Bukan itu poinnya. Bukan karena Aquila terlihat kesal tapi nyanyiannya. Jadi nyanyian Lyan Andrea memang ada lagu aslinya? Apa hanya aku yang berpikir bahwa mungkin saja password-nya adalah melodi lagu itu? Ini bukan sebuah kebetulan bukan? Ini bisa saja terjadi. Aku mundur perlahan kemudian turun kembali ke ruang IT.
Hanya ada Visil saat aku masuk ke ruang IT. langkahku berhenti di sebelah Visil yang sibuk dengan laptop di depannya. Aku mengeluarkan ponsel mencari lagu yang dimaksud Aquila tadi. Ini dia melodi yang aku butuhkan. 5 6 5 4 3 4 5. Aku menyodorkan ponselku pada Visil. Pria itu hanya melihat ponselku lalu menatapku sinis.
“Aku sudah mencobanya, dan itu salah,” ucap Visil datar lalu kembali sibuk dengan laptopnya. Aku memejamkan mata kemudian menghembus nafas kesal.
“Sepertinya password-nya berbeda,” ucap Visil tiba-tiba sambil memandang laptopnya tajam.
“Maksudmu?” tanyaku menuntut.
“Password untuk membuka pintu, dan membuka website yang menyimpan data itu, sepertinya berbeda” jelas Visil. Aku menyisir rambut menggunakan tangan karena frustasi. Ini sungguh rumit.
“Jadi yang kita lakukan sia-sia?” tanyaku sarkas lalu berjalan menuju pintu.
“Bukan salahku bukan jika seperti ini?” ucap Visil tak terima. Aku berhenti saat hampir menyentuh pintu keluar. Aku berbalik menatap Visil dalam.
“Lalu salahku?!” bentakku tak terima. Visil terdiam menatap ke arahku. Tunggu. Pria itu sepertinya tidak menatapku. Aku mengerutkan dahi kemudian berbalik mencari apa yang dilihat Visil. Itu Auriga. Bosku berdiri dekat pintu entah sejak kapan.
“R, ikut aku,” perintah Auriga angkuh. Aku menghela nafas kemudian mengikuti langkah Auriga ke perpustakaan bangunan utama.
“Duduklah!” perintah Auriga saat sampai di perpustakaan. Auriga sendiri berjalan menuju salah satu rak kemudian duduk di sofa depanku. Auriga membuka map hitam lalu melemparkannya ke atas meja yang memisahkan kami.
“Itu catatan yang aku buat selama enam tahun terakhir. Aku sudah menyelidiki keberadaan Mama selama itu, ini teori yang aku buat, aku rasa kau perlu tahu ini sebelum melanjutkan,”
“Aku tahu kau pasti frustasi, percayalah aku lebih frustasi selama enam tahun terakhir,” lanjut Auriga lalu melempar pandang ke sembarang arah.
“Apa kau boleh tahu mengapa kau mencarinya?” tanyaku.
“Aku hanya mengikuti naluri seorang anak yang besar tanpa sosok ibu,” jawab Auriga. Aku yakin bukan itu alasan Auriga. Pasti ada sesuatu yang lebih.
“Dan juga, wasiat terakhir yang merujuk pada Hedrig Melton, ada sesuatu yang aneh, hubungan Papa dan Mama memang tidak baik tapi mengapa dia lebih memilih orang lain ketimbang keluarganya sendiri,” lanjut Auriga. Sudah kuduga pasti ada hal lainnya. Aku menunduk menatap lembar catatan yang Auriga berikan. Lembar demi lembar berisikan kejadian-kejadian yang sudah aku ketahui. Tidak terlalu banyak membantu. Aku terdiam berusaha menarik benang merah yang terhampar di depanku.
“Boleh aku menarik kesimpulan?” tanyaku. Auriga menatapku lalu mengangguk.
“Nyonya Sriwahyuni Aretta adalah pendiri Little Namja, dan beliau sengaja membuat Little Namja untuk memancing orang agar mencari keberadaannya, Hedrig Melton serta Andrea adalah kaki tangannya,” ucapku menyimpulkan.
“Mana mungkin?” tanya Auriga lalu mendengus geli.
“Bukankah hubungan Walsh, Melton, dan Andrea terbilang baik sebelum kejadian itu?” tanyaku. Auriga menatapku dalam lalu mengangguk.
“Itu tandanya Nyonya sudah memperhitungkan bahwa suatu saat Melton akan dipaksa bicara, dan saat itulah dia akan membocorkan petunjuk pertama,” lanjutku. Auriga terdiam terlihat berpikir.
“Selama beberapa hari Little Namja tidak ada pergerakan, dan baru ada pergerakan tadi pagi, dan itu saat Aquila datang mengunjungi Andrea,” Auriga ikut mengurutkan petunjuk.
“Tadi pagi Aquila ke Little Namja?” tanyaku kaget karena baru menyadarinya.
“Itu seakan-akan Little Namja dibuat hanya untuk menjamu Walsh kemudian merekam semua pembicaraan Walsh dengan Andrea,” Auriga masih sibuk mengurutkan benang merah.
“Aretta’s style,” gumam Auriga lalu menyeringai.
“Jadi apa yang harus kita lakukan?” tanyaku.
“Kita pergi ke Little Namja tanpa Andrea. 5654345,” perintah Auriga.
…
Aku kembali mengikuti langkah Auriga menyusuri lorong bawah tanah menuju Little Namja. Aku sadar ini bukan sebuah kebetulan jika pintu masuk kafe tidak dikunci sama sekali. Penjaga yang bertugas juga sama sekali tidak mencegah kami masuk. Mungkin saja pemilik kafe ini Sriwahyuni Aretta. Mungkin juga dia sedang menyaksikan apa yang kami lakukan dari balik layarnya.
Tanpa ragu Auriga memasukan tujuh angka melodi itu. Tujuh kali suara denting piano terdengar kemudian pintu kaca terbuka di depanku perlahan terbuka. Ruangan yang semula gelap seketika terang. Auriga melangkah masuk dengan yakin, begitu pula aku. Tembok kaca seketika berubah menjadi putih. Pintu jalan masuk seketika menutup sendiri.
“Welcome to Little Namja, congratulations you have solved the first clue!” sebuah suara robot wanita menggema di ruangan mengejutkanku juga Auriga.
“Apa kita dipermainkan?” tanyaku berbisik pada Auriga.
“Kita sendiri yang masuk ke dalam permainan Aretta,” balas Auriga dengan pandangan menyelidik ke tembok putih. Tembok putih mulai berubah menampilkan sebuah video lama. Layar menunjukan dua anak kecil. Yang satu laki-laki, yang lainnya perempuan. Sepertinya itu adalah Auriga, dan Aquila. Aquila masih sangat kecil, berbanding terbalik dengan Auriga yang sudah beranjak remaja. Gadis kecil itu sungguh menggemaskan dengan pipinya yang gembul. Rambut Aquila berwarna coklat saat masih kecil. Aku yakin rambut pirang keabuan miliknya sekarang adalah hasil salon. Aquila kecil tertawa lepas beberapa kali saat kincir yang dipegangnya berputar. Keduanya berlarian di tepi pantai. Bukan pantai tenang dengan pasir putih. Pantai ini jauh dari kata tenang, bahkan menurutku tidak cocok untuk bermain dua anak kecil itu. Ombak laut benar-benar tidak bersahabat, begitu juga angin yang berhembus seakan ingin membawa kedua anak kecil itu terbang.
Tak ada Aquila dengan kepribadian mengerikan. Di layar itu Aquila terlihat polos, dan bebas. Apakah aku bisa melihat Aquila yang sekarang sebebas itu? Ah, bukan. Apakah aku bisa membuat Aquila kembali mengeluarkan kepribadiannya yang itu? Terasa sangat tidak mungkin tapi aku akan mencobanya. Aku menatap Auriga yang tersenyum bahagia menatap layar di depannya. Aku nyaris melupakan keberadaan Auriga. Pria ini tidak merestuiku sebagai atasan namun merestui sebagai teman. Apa itu artinya aku harus meninggalkan pekerjaan ini jika aku mau mengencani Aquila? Aku perlu memikirkannya lagi sebelum benar-benar mengambil keputusan. Akan aku deskripsikan bagaimana perasaanku ini di lain waktu karena aku tak ingin terganggu. Aku harus profesional.
“Jogjakarta,” ucap Auriga masih tetap menatap layar. Auriga memasukan kedua tangannya ke saku celana bahan sambil menyeringai puas. Inilah petunjuk selanjutnya. I think the bridge has been solved, then what’s next?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Mommy 2
BoomLike dan Rate 5 sudah mendarat cantik
Salam dari cerita aku :
"Terjebak Diantara Dua Hati"
"PANGGIL AKU MAS!"
Semangat thor 🤗🤗🤗
2020-09-10
1
Eka azzahra
Semangat Thor🙋
Next
2020-09-05
2
Noejan
Hadirrr
like yg tertinggal👍
2020-09-05
2