Pasal II : Welcome to Hell

“Ini pengawal baru itu?”

“Iya, Nona. Kau dapat memanggilnya….”

“R! Panggil aku R.” aku memotong ucapan Chris.

“Baiklah, R!” kata gadis itu dengan menekan namaku. Diletakkan buku itu ke atas meja. Gadis itu turun dari meja makan kemudian berjalan mendekat padaku. Gadis itu berjalan angkuh dengan melipat kedua tangannya di depan dada.

“Aku Aquila.” kata gadis di depanku dengan angkuh namun anggun. Pupil coklat besar itu seakan berusaha untuk membuatku takut.

“Aku yakin pekerjaanmu adalah mengikuti kemana saja aku pergi. Hari ini aku ingin bertamasya ke hutan. Kau dapat mengikutiku dari jauh. Jangan suruh aku pulang.” kata gadis itu lalu berjalan melewatiku, dan Chris.

“Welcome to hell!” kata Chris pelan, dan rendah. Aku melirik Chris, perempuan itu mengeluarkan seringai jahat. Chris mennyusul Aquila keluar ruangan.

Kini aku berjalan mengikuti gadis itu dari jauh. Chris berjalan berdampingan dengan Aquila di depanku. Hutan ini terletak tepat di belakang rumah. Bukan hutan lebat nan membahayakan. Hanya hutan kecil di pinggiran laut. Aku memikirkan ucapan Chris yang terakhir di ruang makan utama tadi. Jadi mereka berdua akan menjadi neraka bagiku. Wajah Aquila tak cocok memerankan karakter itu begitu juga Chris. Aku harus mengakui keduanya memiliki wajah yang manis tapi mengapa mereka lebih memilih untuk memasang wajah angkuh nan garang. Aquila, dan Chris terlihat akrab. Mereka berjalan berdua di depanku seakan sudah saling mengenal lama. Apa mungkin keduanya tidak ingin ada pengawal tambahan?

Aku terus memikirkan kemungkinan yang terjadi saat kedua gadis itu memilih untuk berdiam di pinggiran pulau sambil bermain pasir putih. Jas hitam Chris di lepas lalu dibiarkan disampirkan pada salah satu pohon. Aku duduk di bawah pohon yang agak jauh dari kedua perempuan itu.

Dari kejauhan aku melihat seorang pelayan paruh baya berjalan mendekat. Seingatku namanya Arum. Wanita itu memberikan keranjang kayu padaku. Aku melirik keranjang kayu yang dikirim pelayan dari rumah. Aku membuka wadah itu. Ini makanan Indonesia, opor ayam. Aku mengambil sendok dari dalam keranjang kemudian memakan opor ayam ini perlahan sambil tetap memperhatikan kedua perempuan itu dari jauh.

Angin sore perlahan bertiup. Bau air laut semakin terasa. Matahari bersiap untuk tenggelam di barat sana. Dari jauh aku melihat Aquila tertidur sambil bersandar pada pohon di tepi pantai. Kedua perempuan itu tidak menunjukan tanda-tanda akan pulang cepat. Saat matahari sudah nyaris menghilang, Chris berjalan menghampiri aku.

“Kau harus menggendongnya masuk.” kata Chris sambil membawa jas di salah satu tangannya. Aku bangkit lalu menghampiri Aquila. Tunggu, ada yang salah. Chris tidak sinis, dan angkuh seperti tadi. Pasti ada yang salah. Aku mengamati Aquila beberapa saat. Gadis ini benar-benar tertidur. Aku mencoba berpikir, mencari hal yang salah. Ah! Mereka mencoba menjebakku. Mereka berusaha membuatku melanggar kontrak. Aku berbalik kembali ke Chris. Aku memasukkan tanganku ke kantong celana.

“Kembalilah ke rumah, ambilkan selimut, dan bantal! Aku tidak bisa menggendongnya tanpa izin.” perintahku pada Chris. Perempuan ini mengerutkan dahi menatapku tak percaya. Benar! Mereka mencoba menjebakku. Chris kemudian mengangguk, dan pergi.

Aku mengamati Aquila yang masih terlelap. Kurasa mereka sudah memiliki pola untuk mengusir pengawal yang ditugaskan ayahnya. Kontrak itu tidak murni dari Thomson semua, pasti ada campur tangan Aquila. Mengapa mereka berusaha mengusir pengawal yang diberikan?

Chris datang membawa bantal, dan selimut. Aku menyuruh Chris menyelimuti Aquila. Aku tetap di tempat ini sedangkan Chris kembali ke rumah. Sebentar lagi jam makan malam, seharusnya gadis ini sudah berada di meja makan untuk jamuan bersama keluarganya. Aku membuat api unggun di dekat Aquila untuk menjaga diri tetap hangat.

Aquila mulai terusik dari tidurnya. Beberapa kali tubuhnya bergerak membuat selimutnya tersingkir. Gadis itu mulai membuka mata. Beberapa kali matanya berkedip mengumpulkan nyawa. Gadis itu menggerakkan lehernya seakan berusaha menyingkirkan sesuatu.

“Kenapa kita masih disini?” tanya gadis itu dengan suara parau. Tidak ada Aquila yang angkuh atau sinis.

“Karena kau tertidur, dan tidak mau diganggu.” jawabku enteng. Gadis itu masih mengerjapkan mata lagi kemudian perlahan bangun. Aquila berjalan menuju rumah dengan beberapa kali mendengus sebal. Aku membereskan selimut, dan bantal yang digunakan tadi lalu mengikuti Aquila pulang. .

Setelah makan malam aku kembali ke kamar. Sekarang pukul sepuluh. Aku melepas jas yang kugunakan lalu melemparnya ke sofa kecil di sebelah jendela. Aku mengambil map biru yang diberikan Chris padaku tadi pagi. Aku belum sempat membacanya. Aku duduk di atas kasur lalu membacanya perlahan. Kertas pertama berisi biodataku, kertas kedua merupakan resume yang kukirim saat melamar disini, dan kertas ketiga berisi tugas-tugas yang harus kupenuhi.

...

Tugas Pengawal Utama VIP

Melaksanakan Surat Perjanjian Kerja yang sudah ditandatangani.

Mengikuti kemanapun VIP kecuali kamar pribadi, kamar kecil, dan saat bersama keluarga inti Walsh.

Menjaga jarak saat VIP menginginkannya.

Mengutamakan keselamatan VIP diatas keselamatan diri sendiri.

Membuat laporan harian yang kemudian dikirim kepada Harry sebelum pukul 23.59, pengecualian bila ada kerja lembur.

...

Hanya lima tugas. Empat praktek, dan satu tertulis. Aku harus menulis laporan sekarang sebelum batas waktu. Aku menatap komputer yang ada di ruangan ini. Segera aku menyalakan komputer itu lalu mengetikkan semua kegiatan Aquila hari ini.

...

Ini keesokan harinya. Sekarang aku di perpustakaan lagi. Kali ini aku tidak menemui Thomson ataupun Harry. Aku menemui Augaria Walsh. Dia adalah anak pertama. Umurnya dengan Aquila berjarak sepuluh tahun. Aku baru mengetahui itu kini.

“Aku hanya ingin menyapa pengawal baru adikku.” kata Augaria membuka percakapan sambil meletakkan map biru ke atas meja. Sepertinya itu laporan yang kubuat tadi malam. Augaria berbeda dengan Aquila. Wajah pria ini memang terkesan dingin jadi aku tak terlalu aneh dengan sikap angkuhnya.

“Biasanya pengawal Aquila akan melakukan kesalahan pada hari pertama mereka.” kata Augaria sambil memainkan gelas anggurnya. Logat Augaria jauh dari kata baik. Pria ini memiliki logat asli Inggris sehingga terlihat aneh mendengarnya berbicara bahasa Indonesia.

“Saya berusaha melakukan yang terbaik.” kataku lalu tersenyum canggung. Augaria menyeringai sinis lalu menyesap anggur nya sedikit.

“Mereka memiliki banyak cara untuk membuatmu mundur sebelum tiga bulan.” kata Augaria sambil menatap gelasnya. Aku mengangguk canggung.

“Sebentar lagi Ellie akan berangkat, kau sebaiknya keluar sekarang.” kata pria di depanku ini sambil menatap mataku dalam.

“Baik, saya pamit.” kataku kemudian bangkit dari sofa. Aku berjalan ke pintu.

“Oh ya, R. Panggilkan Christina untukku.” tambah Augaria saat aku memegang gagang pintu. Aku mengangguk lalu keluar ruangan. Chris ada di depan pintu saat aku keluar.

“Kau dipanggil.” kataku. Wajah Chris berubah tegang. Pupilnya membesar beberapa saat. Aku mengerutkan dahi heran. Mengapa Chris begitu kaget? Chris berusaha menetralkan kembali wajahnya. Perempuan itu mengangguk kemudian masuk ke perpustakaan sedangkan aku berjalan ke lantai dua rumah utama untuk menemui Aquila. Aku mengetuk pintu kamar Aquila beberapa kali.

“Masuk!” suara dari dalam sana mengijinkan. Aku membuka pintu di depanku. Yang pertama kulihat adalah sofa. Ini lebih mirip ruang tamu ketimbang kamar. Aquila muncul dari balik tembok masing menggunakan kimono coklat berbahan satin. Aku mengerti. Kasur, dan ruang duduknya dipisahkan oleh tembok.

“Kita berangkat sekarang, Nona?” tanyaku sesopan mungkin.

“Tunggu aku di bawah.” jawab Aquila sinis. Aku segera keluar dari kamar Aquila lalu turun ke bawah. Speed boat sudah menunggu, bukan yang kupakai kemarin. Ini berbeda, ukurannya lebih besar. Aku penasaran mengapa mereka lebih memilih tinggal di pulau pribadi seperti ini yang merepotkan jika ingin berpergian.

Aquila keluar dari rumah bersama Chris. Aquila menggunakan gaun biru tua sedikit di atas lutut dengan luaran mantel sewarna. Kacamata hitam menambah kesan elegan padanya. Topi hitam, dan tas jinjing abu yang digunakannya menambah kesan berkelas kerajaan Inggris. Penampilan Aquila sangat sempurna. Chris mengenakan jas kerjanya, seperti biasa.

Perjalanan menuju pulau utama Inggris memerlukan waktu setidaknya dua puluh menit. Aquila berdiri di dek belakang sendirian. Chris berada di ruang kendali bersama kapten kapal. Aku mengamati gadis itu mencegah hal tidak diinginkan terjadi seperti percobaan bunuh diri, mungkin.

Sebuah mobil sedan sudah menunggu saat tiba di dermaga. Aquila turun dari speed boat lalu melepas kacamatanya. Gadis itu berjalan di belakang Chris ke arah mobil. Chris membukakan pintu untuk Aquila. Aku duduk di depan menemani supir sedangkan Aquila, dan Chris di belakang. Aku belum terlalu mengenal Liverpool, dan ini adalah hari keduaku bekerja. Mungkin aku yang akan mengendarai mobil jika sudah bekerja beberapa minggu.

Mobil berhenti di sebuah pertokoan. Mobil berhenti tepat di depan toko dengan papan nama AB. sepertinya ini sebuah butik. Aquila, dan Chris turun. Aku ikut turun dan mengikuti kedua perempuan ini masuk ke butik. Seorang pegawai menghampiri Aquila sambil menyerahkan berkas. Aku menyimpulkan ini adalah butik milik Aquila. Chris terus mengikuti Aquila naik ke lantai dua.

Aku melihat-lihat sekeliling. Butik ini didominasi warna biru tua, hitam, dan putih. Sebuah patung menarik perhatianku. Patung itu mengenakan gaun yang sama seperti yang digunakan Aquila hari ini. Gaun ini memiliki detail yang indah. Ada kantong di bagian kanan gaun ini. Kantong ini dibuat tak terlihat jadi siapapun tak akan menyadari bahwa ada kantong disini. Mungkin untuk menyimpan barang berharga. Aku tak menyangka gadis 17 tahun mampu mendesain pakaian sebagus ini. Aquila, dan Chris turun dari lantai dua. Keduanya kemudian berjalan keluar. Chris membukakan pintu tapi Aquila tak segera masuk. Gadis itu kemudian berbalik menatapku.

“Ambilkan kacamataku di lantai atas, sepertinya tertinggal.” kata Aquila padaku angkuh. Aku berpikir sejenak. Seingatku Aquila melepasnya sejak di dermaga jadi tidak mungkin tertinggal di atas.

“Kau yakin?” tanyaku sesopan mungkin namun gagal.

“Lalu dimana menurutmu? Di tasku tak ada!” balas Aquila menaikkan nada bicaranya.

“Kantong gaunmu?” balasku menantang. Wajahnya seketika berubah kesal. Aquila lalu tak lagi berkata. Gadis itu masuk ke dalam mobil.

Aku memikirkan maksud Aquila menyuruhku mengambil kacamata yang jelas-jelas dirinya tahu berada di kantong gaunnya. Ada kemungkinan mereka akan meninggalkanku di butik sehingga kedua perempuan itu bebas tapi mengapa? Apa yang membuat mereka tak ingin ada pengawal lain?

Aku berusaha menyambungkan apa yang terjadi di sekitarku. Aquila, dan Chris berusaha untuk menciptakan neraka untukku agar aku tak betah, dan akhirnya mengundurkan diri. Sayangnya sejauh ini aku mampu memadamkan neraka mereka tapi entah neraka di hari-hari mendatang. Aku akan berusaha semampuku memadamkan api mereka. Satu hal yang aku yakini mereka memiliki alasan di balik api yang mereka ciptakan. Walaupun aku berhasil bertahan, aku takut jika mereka sendiri yang pada akhirnya terbakar api ciptaannya.

Terpopuler

Comments

Mei Shin Manalu

Mei Shin Manalu

Aku udh ksih rate 5 lhoo...

2020-08-12

1

Dara Fuji

Dara Fuji

aq mampir ya udah feedback
terima kasih kakak

salam
MANTAN ADALAH JODOH YANG TERTUNDA

2020-08-02

1

Tri ani

Tri ani

aku mampir lagi
feedback ya
semangat

2020-07-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!