Pasal X : Bangun dari Mimpi

“Baru saja aku merasakan hidup di alam mimpi yang indah, kini aku dibangunkan secara paksa. Rasanya mimpi itu berlangsung sangat singkat. Ingin diriku marah karena mereka mengganggu mimpi indahku tapi pekerjaan tetap pekerjaan.”

...

Pagi ini aku bangun dengan perasaan lebih baik walaupun itu berbanding balik dengan tubuhku yang sangat remuk. Di sebelah meja kerja terdapat troli kayu yang penuh dengan makanan. Aku meregangkan tubuhku. Beberapa kali terdengar suara tulangku yang sepertinya kelelahan. Aku turun dari kasur menghampiri troli kayu itu sambil terus menggerak-gerakkan tubuhku. Ada catatan kecil di atasnya.

**Terima kasih sudah bekerja dengan baik. Nikmati hari liburmu setidaknya tiga hari kedepan. **

-Aquila

Aku meletakkan surat itu ke atas meja kerja lantas beralih ke makanan. Sirup maple kutuangkan ke atas pancake yang sangat menggoda ini. Dengan tetap masih berdiri, aku memotong pancake itu kemudian menyuapkan ke dalam mulut. Ini seperti mimpi indah. Mungkin tiga hari kedepan akan menjadi mimpi indah bagiku. Aku mandi setelah perutku terisi. Kembali aku melemparkan tubuh ke atas kasur menikmati pagi dimana aku tak harus melakukan apapun. Ombak alam mimpi kembali menyeret diriku. Rasanya sangat menyenangkan dapat bermalas-malasan. Sebagian besar hari ini kuhabiskan membaca buku di rooftop bangunan utama.

...

Seperti perkataan Harry, aku akan dipanggil lagi oleh Auriga. Saat ini aku kembali duduk di sofa perpustakaan persis seperti sebelum-sebelumnya. Matahari seakan mengintip dari sela-sela gorden, bertanya-tanya apa yang dua anak manusia ini kerjakan. Lampu di perpustakaan dimatikan sebagian memberi suasana teduh. Auriga duduk di depanku dengan segelas anggur merah. Laki-laki ini kembali dengan sikap saat pertama kali bertemu. Angkuh, dan dingin. Pria di depanku ini duduk dengan salah satu kaki disilangkan ke atas kaki lainnya.

“Kau sudah bekerja keras minggu ini, terimakasih sudah menjaga adikku,” Auriga membuka suara.

“Saya berusaha melakukan yang terbaik,” balasku sopan dengan menunduk berusaha menghindari kontak dengan matanya yang mengerikan saat ini.

“Aquila mungkin akan beristirahat beberapa hari, kamu bisa beristirahat juga selagi Aquila hanya di rumah,” Auriga melanjutkan ucapannya. Aku mengangguk kemudian tersenyum sopan. Auriga meletakkan gelasnya ke atas meja kemudian memajukan tubuhnya. Aura mengintimidasi menyeruak keluar dari tatapannya. Bau wewangian menambah aura mengerikan dari dirinya.

“Ah, aku sudah membuat driver licence untukmu, kau bisa menggunakan mobil sendiri tanpa sopir,” Auriga kembali berbicara.

“Terimakasih,” ucapku sopan.

“Bagaimana dengan Chris?” tanya Auriga lagi. Astaga! Aku melupakan itu. Aku belum berbicara dengan perempuan itu sejak hari Chris mengabarkan sopir yang kabur.

“Saya akan menghubunginya nanti,” kataku berusaha tetap tenang.

“Aku meminta hal ini sebagai bos tapi juga temanmu,” ucap Auriga dengan nada sangat rendah nyaris berbisik. Aku menatap matanya. Ada sedikit luka di sana.

“Tolong jaga Chris, dia….dia….orang penting,” lanjut Auriga dengan luka di matanya. Aku mengangguk sopan.

“Kau boleh keluar,” usir Auriga halus. Aku bangkit lalu keluar dari perpustakaan. Segera aku merogoh kantong celanaku mengambil ponsel. Dering nada sambung seakan menjadi nyawaku. Aku bernafas lega saat nada dering berakhir.

“Chris!” seruku.

“Oh, hello? Chris is still alive, right Chris?” ucap suara berat licik di seberang sana. Sial! Aku bahkan kesulitan menelan ludah. Aku menutup panggilan itu lalu menerobos perpustakaan.

“Chris….” ucapku terengah di ambang pintu. Auriga diam tak bergerak menunggu kelanjutan ucapanku.

“Dia….disandera,” lanjutku. Auriga langsung berdiri dari duduknya. Selamat tinggal mimpi indah tiga hari.

“Kita harus bagaimana?” tanya Harry cemas.

“Apa arti dari email ini?” tanyaku sambil menunjuk layar di yang dihadapi Visil.

“Sebelum fajar, kediaman Walsh di Perancis, Auriga datang untuk membayar,” ucap Visil tiba-tiba. Aku menatapnya sambil menaikkan satu alis.

“Ini bahasa spanyol,”

“Setahuku mereka menggunakan bahasa Perancis,” ucap Harry.

“Chris bisa bahasa spanyol, pasti Chris yang mengetiknya,” suara Auriga yang tiba-tiba muncul.

“Ini berarti mereka hanya mengincar Anda, Sir,” ucapku. Auriga mengerutkan dahinya menatap mataku tak mengerti.

“Jumlah mereka lebih banyak tapi tidak berusaha menangkap Aquila kemarin. Mereka mengikuti hanya untuk memancing Anda keluar. Sekarang mereka menyuruh Chris mengetik pesan pada kita. Itu tandanya mereka tidak memiliki rencana apapun selain membawa Anda,” aku menjabarkan.

“Kalau begitu bagaimana?” tanya Harry.

“Kami harus datang bersama Anda,” ucapku sambil menatap Auriga.

“Lalu bagaimana rencanamu?” tanya Auriga. Aku diam sejenak memikirkan berbagai macam kemungkinan yang bisa dilakukan. Karena aku tak kunjung  memberi jawaban, Auriga keluar ruangan.

Saat ini aku berada di ruang IT bersama Visil, dan Harry. Visil sedang berusaha melacak keberadaan terakhir Chris melalui ponselnya sedangkan Harry menghubungi pengawal untuk berkumpul. Aku frustasi memikirkan semua ini. Aku menyisir rambutku ke belakang. Suara ketikan tangan Visil ditambah percakapan Harry seakan backsound yang tepat untuk kalutnya pikiranku. Ruangan ini menambah rasa frustasiku. Aku memutuskan keluar ruangan, menghirup udara segar. Keberadaan Auriga di depan pintu mengagetkan diriku. Pria itu menatap kosong ke depan. Lorong yang kosong menambah kesan mengenaskan. Auriga menengok menatap diriku.

“Kau menjadi kepala tim dalam misi ini,” ucap Auriga lemas.

“Maaf,” ucapku menyesal.

“Tidak, tidak, tugasmu melindungi Aquila bukan Chris, kau sudah melakukan yang baik,” kata Auriga tidak menerima maafku. Auriga berjalan ke arahku lalu merangkul pundakku, menuntun langkahku ke sofa di ruangan lain. Auriga melemparkan dirinya ke sofa kemudian aku ikut duduk di sebelahnya.

“Ini salahku juga Ayah, mereka ingin aku tapi gagal jadi Aquila, dan Chris menjadi korban,” ucap Auriga dengan nada yang sangat rendah. Aku mengerti perasaan itu. Dua gadis yang sangat disayanginya harus menjadi korban karena perbuatannya, dan mengenaskannya perbuatannya adalah perbuatan baik.

“Lokasi terakhir Chris sudah ditemukan,” ucap Harry yang baru saja masuk ruangan.

“R akan menjadi kepala tim, kalian berangkatlah sekarang!” perintah Auriga lalu meninggalkan ruangan.

Baru saja aku merasakan hidup di alam mimpi yang indah, kini aku dibangunkan secara paksa. Rasanya mimpi itu berlangsung sangat singkat. Ingin diriku marah karena mereka mengganggu mimpi indahku tapi pekerjaan tetap pekerjaan. Aku harus kembali kepada kenyataan bahwa kerjaku 24 jam kali 7 hari. Apa yang aku kerjakan tidak sekedar menjadi pengawal yang melindungi tuannya. Aku menjadi orang yang harus maju paling depan saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ini semua pengabdian. Aku bahkan baru seminggu resmi bekerja tapi diberi kepercayaan sebesar ini. Terkadang kepercayaan itu membebani pundakku. Aku merenungkan semua ini di atas pesawat yang membawaku kembali ke Paris di tengah malam bulan Juni.

Sebuah mobil membawaku ke rumah yang menjadi tempatku singgah sebelumnya. Hanya aku, dan Harry. Tengah malam Paris ternyata tetap indah. Sorot lampu yang membuat bangunan-bangunan lawas tampak mewah, langit gelap tanpa bintang, dan bulan yang menemani perjalanan.

Aku berjalan di belakang Harry memasuki bangunan. Walaupun aku ketua tim, Harry yang akan menghadapi terlebih dahulu, mengingat aku tidak menguasai bahasa asing. Anak buah Harry lainnya menunggu sekitar dua ratus meter dari sini.

Ini yang kuhadapi. Ruang dapur yang nyaris tak berbentuk. Pintu menuju rooftop yang sudah tak berbentuk, serta bercak darah dimana-mana. Chris diikat pada kursi di depan kompor. Wajah gadis itu benar-benar pucat, ada beberapa luka di wajahnya. Sudut bibirnya sobek. Matanya yang kecil terlihat hampir tak mampu terbuka. Rambut hitamnya terikat berantakan. Seorang pria dengan tampilan garang duduk di atas meja dapur dengan angkuh. Harry bersitegang dengan orang di depannya.

“Mereka ingin Auriga kemari,” bisik Harry padaku.

“Katakan padanya Auriga dalam perjalanan kemari,” perintahku tanpa melepas pandangan dari Chris.

“It’s R, take Auriga here,” bisikku pada pergelangan tangan.

“Apa yang mereka inginkan?” tanyaku pada Harry.

“Mereka ingin balas dendam, mereka tidak terima kartel mereka diringkus,” jawab Harry. Aku menyimpulkan mereka ingin nyawa Auriga atau Thomson. Dengan membawa salah satu kelemahan dua pria itu, Keluarga Thomson akan turun tangan, dan saat itulah mereka akan membunuh. Sungguh keji.

“Saat Auriga tiba, minta mereka melepas Chris,” perintahku lagi pada Harry.

“It’s Fifth Agent, Auriga arrived,” suara di telingaku terdengar. Aku berbalik, turun ke lantai bawah untuk menjemput Auriga.

Auriga segera naik ke lantai atas bersamaku. Pria itu memejamkan mata beberapa saat setelah melihat Chris. Pria di sebelahku ini membentak orang kartel dengan bahasa asing. Aku dapat melihat pimpinan kartel itu takut dengan Auriga. Segera pria kartel itu memerintahkan bawahannya melepas Chris. Auriga maju mendekati Chris lalu memapahnya.

“It’s R. All of you can leave the place,” bisikku lagi pada pergelangan tangan.

“Three,” bisikku saat Chris mulai melangkah dari tempatnya.

“Two,” bisikku lagi saat Chris, dan Auriga berjalan ke arahku.

“One,” lanjutku saat atasanku berdiri sejajar denganku. Seketika itu juga orang-orang kartel menodongkan senjata pada Auriga. Aku bergeser melindungi Auriga.

“Now!” perintahku saat Auriga sudah di ambang pintu. Setelahnya keadaan sangat kacau. Bawahan Harry segera memenuhi ruangan. Suara letusan pistol terus terdengar. Beberapa orang terkena tembakan di lengan. Beberapa terkena pada rompi anti peluru mereka. Dalam hitungan detik orang-orang kartel mulai bertumbangan.

Aku menarik Harry ikut keluar dengan Auriga. Orang-orang kartel itu tak akan bisa keluar dari bangunan itu karena penuh dengan pengawal Keluarga Walsh. Harry segera masuk ke kursi pengemudi, sedangkan aku ke kursi penumpang depan. Auriga, dan Chris sudah di kursi belakang. Aku dapat mendengar dengan jelas tuanku itu menenangkan Chris dengan bahasa yang sepertinya hanya mereka berdua mengerti.

Saat ini aku duduk di kasur rumah sakit. Dokter memeriksa punggungku yang tertembak. Beberapa peluru akan bersarang pada tubuhku jika saja rompi itu tidak menahannya. Tersisa beberapa memar di punggungku. Bukan masalah besar kurasa. Aku memakai kembali setelan jas setelah dokter selesai memeriksa. Aku berjalan menuju tempat Chris berbaring.

Auriga tetap di samping Chris sedari tadi. Tak sedikitpun tuanku itu meninggalkan gadisnya bahkan saat Chris tertidur seperti ini. Auriga menatap Chris yang tertidur. Tatapannya tak berubah sedikitpun, bahkan Auriga tak sadar akan kehadiranku. Harry sedang mengurus administrasi untuk memindahkan Chris ke Aquila Mansion.

“Chris bisa dipindahkan sekarang,” ucap Harry yang tiba-tiba datang. Auriga menengok mencari asal suara. Pria itu mengedipkan mata seakan baru saja ditarik dari mimpinya. Auriga lalu mengangguk.

Aku tiba di Aquila Mansion saat matahari sudah muncul di timur. Dapur gedung utama sudah sibuk saat aku masuk. Segera aku berjalan menyusuri bangunan ini untuk mencapai sayap kanan. Aku tak sabar kembali pada kasur. Aku benar-benar lelah saat ini.

Matahari sudah kembali menyinari lorong yang menghubungkan bangunan utama, dan sayap kanan. Aku dapat melihat Aquila bersandar di tembok depan kamarku. Aku berdiri beberapa saat mengamati gadis itu. Walaupun kepalanya menunduk, aku dapat melihat raut wajahnya yang lelah. Gadis ini tetap menawan, dan aku yakin akan tetap seperti itu.

Aquila menoleh menyadari keberadaanku kemudian membenarkan berdirinya. Aku semakin dapat melihat raut wajah yang tidak biasa. Aku menatap matanya dalam. Entah apa yang gadis itu pikirkan. Mungkin bingung melihat pengawalnya dengan pakaian lusuh. Dasi yang sudah terlepas simpulnya, dua kancing teratas kemeja yang terbuka, dan juga rambut yang berantakan. Seharusnya aku duduk manis di dalam kamar, dan datang saat Aquila membutuhkan.

“Apa yang terjadi?” tanya gadis itu dengan nada yang….khawatir, mungkin, entahlah.

“Chris dijadikan tahanan,” jawabku dengan nada lelah.

“Lalu bagaimana sekarang?” tanya Aquila lagi.

“Dia di kamarnya, Chris….”

“Bukan dia! Kamu, R!” seru Aquila memotong ucapanku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!